Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUANGZHOU, ibu kota Provinsi Guangdong, beberapa tahun lalu dikenal sebagai magnet ekonomi. Jutaan buruh tani dari desa berduyun datang ke wilayah selatan Cina itu, mencari kerja. Namun, selama dua tahun terakhir, kawasan itu mulai meng-alami krisis pekerja.
Sebagian besar pekerja meninggalkan- Guangzhou dan bergerak ke delta Sungai- Yangtze di kawasan Shanghai. Di sana mereka bisa mendapat upah lebih tinggi dan kondisi lebih baik. Migrasi jutaan buruh ini juga dialami dua provinsi tetangga Guangdong, yakni Fujian dan Zhejiang.
Kementerian Tenaga Kerja Cina pun menurunkan tim untuk meneliti masalah di ketiga provinsi itu. Hasilnya: terjadi kelangkaan pekerja di sejumlah wilayah, yang terparah di Guangdong. Pemerintah provinsi melaporkan, ribu-an perusahaan di sini membutuhkan sedikitnya dua juta pekerja untuk bisa berproduksi dengan kapasitas penuh.
Sebab utama migrasi itu adalah upah yang rendah dan kondisi tempat kerja yang buruk. Pengusaha sepatu, boneka, elektronik, garmen, dan plastik harus mampu menjual barang murah dengan cara memangkas upah dan mengeks-plo-itasi jam kerja.
Rata-rata buruh di perusahaan itu be-kerja 10-12 jam per hari, dengan bayaran sekitar 600 yuan—setara dengan Rp 670 ribu—per bulan. Beberapa perusahaan bahkan menerapkan lembur hingga 130 jam per bulan, tanpa bayaran tambahan. Banyak pekerja tak sempat istirahat dan libur. Tak sedikit buruh yang bekerja tanpa kontrak dan jaminan sosial.
Pekan lalu, seperti ditulis AFP, International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) melaporkan ada-nya eksploitasi buruh di balik keajaiban eko-nomi Cina. Di depan Organisasi Per-dagang-an Dunia (WTO), yang untuk pertama kalinya mengkaji kebijakan dagang Beijing sejak Cina masuk WTO pada 2001, ICFTU mengecam asumsi bahwa liberalisasi itu baik untuk rak-sasa ekonomi Asia tersebut.
ICFTU pun membeberkan temuannya atas penanganan buruh di Cina. Di -antaranya jam kerja buruh yang men-capai 60-70 jam per minggu, asrama yang diisi 8-16 orang setiap ruang, upah di bawah US$ 44 per bulan, dan jamin-an kesehatan yang tak jelas.
Tapi, migrasi buruh besar-besaran itu telah berdampak pada posisi tawar buruh. Upah minimum naik signifikan-. Pada 2004, upah sudah naik sekitar 25 persen dibanding tiga tahun sebe-lumnya, terutama di kota besar -seperti -Guangdong, Beijing, dan Shanghai. -Sebagian besar atas dorongan pemerintah.
”Sebelumnya, ada anggapan Cina ke-lebihan tenaga kerja,” ujar Zhang Juwei, Deputi Direktur Institute of Population and Labor Economics di Beijing, seperti dikutip Businessweek.com, pekan lalu. ”Kita harus merevisi. Pasokan buruh di Cina ternyata terbatas,” ia menambahkan.
Semula para pengusaha menganggap kekurangan buruh, yang mulai terasa pada 2004, bersifat sementara. Namun, gelombang perpindahan pekerja dan tuntutan kenaikan upah semakin menjadi kenyataan. Bahkan Citigroup mencatat pada Februari lalu, naiknya upah pekerja di Cina akan berperan terhadap inflasi dunia.
Tren kenaikan upah buruh ini juga mulai merembet pada pengkajian ulang pengusaha untuk memindahkan pabrik. Sejumlah perusahaan Amerika malah mulai berpikir untuk pindah ke negara- lain yang upah buruhnya masih ber-saing, seperti Vietnam dan Indonesia.
”Yang jelas, ada satu titik yang mene-gaskan bahwa ini sudah terlalu mahal-,” kata Michael Barbalas, General Mana-ger Andrew Corp., produsen peralatan jaringan nirkabel. Di perusahaannya, setiap tahun rata-rata upah naik 10 persen.
Namun, di tengah kritik eksploitasi atas buruh, tak bisa dimungkiri bahwa kebijakan terbuka ekonomi Cina telah berhasil mendongkrak pendapatan per kapita sembilan kali lipat sejak 1978. Pada 2003, pendapatan per kapita penduduk kota sudah mencapai 8.472 yuan, atau sekitar Rp 9,5 juta.
Cina adalah satu-satunya negara yang berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia, rata-rata 9 persen per tahun. Jumlah penduduk miskin juga sudah berkurang sepertiga. Data terakhir menyebutkan, jumlah penduduk yang hidup dengan US$ 1 per hari berjumlah sekitar 250 juta jiwa, atau 16,6 persen dari total penduduk Cina yang 1,3 miliar.
Heri Susanto, Businessweek, New York Times, China.org, Xinhua, AFP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo