Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Makar itu Diam-diam, Pakai Senjata

12 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
SriBintang_laput

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga hari mendekam di Rumah Tahanan Narkotika Kepolisian Daerah Metro Jaya, Sri Bintang Pamungkas masih berusaha menebar senyum. Koordinator Jaringan Aksi Lawan Ahok ini berkukuh mengaku tak bersalah ketika Tempo menjenguk dia pada Selasa pekan lalu. Tapi sikap Sri Bintang kepada penyidik belum melunak. Ditangkap pada Jumat pagi dua pekan lalu, Sri Bintang menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Berikut ini petikan wawancara Linda Trianita dan Rezki Alvionitasari dari Tempo dengan Sri Bintang.

Sebelum ditangkap polisi, apa sebetulnya yang Anda rencanakan?

Pada 2 Desember lalu, saya akan ikut aksi damai, salat Jumat di Monumen Nasional. Setelah itu, saya akan ke gedung MPR untuk aksi Gerakan Nasional People Power 2016. Kami akan menyampaikan tiga tuntutan: Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, cabut mandat Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan bentuk pemerintahan transisi. Dengan kembali ke UUD 1945, artinya pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak sah, karena UUD 1945 menyebutkan presiden dipilih MPR.

Karena itu, Anda disebut merencanakan makar?

Saya tidak makar. Makar itu kalau pergerakan diam-diam, pakai senjata. Kami terang-terangan. Rencana aksi itu pun terbuka. Saya beritahukan lewat surat kepada Kapolri dan ditembuskan kepada Kapolda. Kalau makar, pasti kami merebut pemerintahan secara diam-diam.

Anda juga menulis surat untuk Ketua MPR dan DPR serta Panglima TNI?

Iya, itu surat pemberitahuan untuk aksi. Kami akan ke gedung MPR membawa spanduk, bendera, dan selebaran. Surat itu saya tulis pada 28 November lalu. Saya kirim dengan menyuruh orang. Surat untuk Panglima TNI saya antar sendiri ke Cilangkap. Belakangan saya tahu bahwa surat itu dijadikan alat bukti makar.

Ketika merencanakan aksi, Anda berembuk dengan siapa saja?

Saya pernah ke rumah Kivlan Zen untuk diskusi. Kalau dengan Rachmawati, sejak September lalu, saya tiga sampai empat kali ketemu. Saya juga berkomunikasi dengan Habib Rizieq. Saya datang ke pondok pesantren dia di Megamendung, Puncak, Bogor, sekitar empat hari sebelum aksi 4 November lalu. Di sana saya jelaskan rencana kami untuk menuntut kembali ke UUD 1945.

Ada kesepakatan untuk membelokkan sebagian massa aksi di Monas ke gedung MPR?

Tidak ada.

Lalu dari mana massa yang akan Anda bawa?

Anggota saya hanya 15-an orang.... Masak, mau makar?

Polisi menyebut ada aliran dana untuk tersangka makar?

Tidak ada itu.

Sewaktu hendak ditangkap, Anda melawan?

Saya minta polisi bersikap baik, tak usah membentak. Saat itu masih pagi, saya baru selesai salat subuh, sedang ngopi di teras, belum mandi. Jadi saya minta waktu. Mereka mau mengangkat saya. Saya menolak. Datanglah kawan mereka, puluhan orang. Saya langsung dibawa ke Markas Komando Brimob di Depok.

Anda juga menolak menandatangani berita acara pemeriksaan….

Di Mako Brimob, sekitar pukul 10.00, saya mulai diperiksa. Penyidik menjelaskan saya dianggap melanggar pasal 107, 108, 110, dan 160. Saya minta dijelaskan pasal itu tentang apa. Penyidik buka Internet. Saya bilang, "Saya tidak percaya dengan Internet." Penyidik mencari buku. Saya baca hukuman paling ringan dari pasal-pasal itu 15 tahun penjara. Saya tak mau diperiksa. Saya juga memberi mereka syarat antara lain harus ada pengacara. Tak berapa lama, polisi menghadirkan pengacara. Saya tetap tidak mau diperiksa.

Mengapa Anda bersikap tak kooperatif?

Saya merasa tak makar. Saya juga heran mengapa hanya kami bertiga yang ditahan. Padahal malam itu, sekitar pukul 22.00, penyidik meminta saya menandatangani berita acara pembebasan. Tapi penyidik lain bilang, "Nanti saja, bareng-bareng dengan yang lain." Eh, diniharinya, sekitar pukul 03.00, saya dibawa ke tahanan Polda. Ditahan. Saya tanya, "Kenapa?" Kata penyidik, "Ini perintah atasan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus