Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Maklumlah Berdagang Dengkul

Pusat pertokoan dan bisnis Pinang Babaris, Samarinda, ditawarkan kepada pengusaha kaya. Harga terlalu tinggi, peminat minta disediakan fasilitas air minum, jaminan keamanan, telepon jarak jauh.

11 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUSAT pertokoan dan bisnis "Pinang Babaris" Samarinda belum selesai, meskipun tahapannya diresmikan lima tahun silam. "Maklumlah modal dengkul", ujar H. Said Abdurrachman Kepala DPU Kodya Samarinda. "Kita tidak bisa membangun kalau hanya berharap pada APBD", tambahnya. Karena itu ia tidak memasang target kapan pusat perbelanjaan itu selesai. "Melihat keuangannyalah", tukasnya. Soal keuangan ini tampaknya memang rada seret. Petak-petak yang sudah selesai yang diharapkan segera dibeli orang ternyata masih banyak kosong. Padahal dari uang penjualan petak itulah satu-satunya harapan untuk dapat membiayai penyelesaian tahap-tahap berikutnya. Maka dibentuklah tim yang tugasnya antara lain memasarkan petak-petak itu. Lirikan pertama tentu saja pada para pengusaha kayu. Maka keluarlah SK Walikota yang melarang penggunaan rumah untuk kantor perusahaan. Bagi perusahaan yang sudah terlanjur mengontrak bangunan rumah, supaya segera pindah ke Pinang Babaris. Soal belum habisnya kontrak rumah SK itu memberi jalan keluar agar digunakan untuk mess karyawan saja. Para pengusaha prinsipnya memang sudah setuju untuk berkantor di Pinang Babaris, nalnun mengajukan beberapa syarat. Umpamanya harus ada air minum dan jaminan keamanan bagi SSB, itu telepon jarak jauh. "Kita memang sudah mau pasang air minum", kata Azis Said, sekretaris tim yang juga Kasubdit Perekonomian kantor walikota, "namun masih ragu-ragu kalau mereka tidak serius". Azis mungkin benar. Sebab kelihatannya soal pokok keengganan itu berpangkal pada harga yang diang8ap terlalu tinggi. Blok A umpamanya, untuk petak yang berukuran 6 x 12 meter berharga Rp 12 juta lebih. Sedang petak di blok B yang berukuran 6 x 8 meter Rp 8 juta lebih. "Padahal untuk satu perusahaan paling tidak harus dua petak", kata seorang pengusaha. Tapi "coba kalkulasi sebenarnya tidak mahal" jawab Azis. Mahal atau tidak, yang jelas tarif itu Rp 2 juta lebih tinggi dari dua tahun silam. Sebab rupanya tim selalu memasukkan bunga kredit pada kalkulasi hingga semakin lama petak itu tak laku semakin tinggi pula tarifnya. Sebaliknya semakin tinggi kalkulasi semakin enggan orang membelinya. Maka diambillah jalan kompromi: pengusaha diberi kelonggaran untuk mencicil. "Tahap pertama mereka harus bayar 30% dan selebihnya bisa dicicil selama setahun", kata Azis. Hasilnya sudah mulai kelihatan. "Sudah 9 perusahaan lagi yang mendaftar", tambahnya. Tapi ada juga pengusaha yang tak mau repot. Diam-diam dibelinya petak itu meskipun kantornya tetap di rumah. Dan tim tampaknya tak mau tahu. "Yang penting, kan petaknya sudah laku", kata seorang pengusaha. Pembangunan Pinang Babaris ini memang rada unik juga. Tidak jelas sistim apa namanya. Tapi pemborongnya, CV Semoga Raya, bakal menerima 1070 dari keuntungan hasil penjualan petak, seperti dikatakan Azis. Sayangnya Azis tidak mau mengatakan untuk siapa yang 90%nya lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus