PUSAT pertokoan dan bisnis "Pinang Babaris" Samarinda belum
selesai, meskipun tahapannya diresmikan lima tahun silam.
"Maklumlah modal dengkul", ujar H. Said Abdurrachman Kepala DPU
Kodya Samarinda. "Kita tidak bisa membangun kalau hanya berharap
pada APBD", tambahnya. Karena itu ia tidak memasang target kapan
pusat perbelanjaan itu selesai. "Melihat keuangannyalah",
tukasnya. Soal keuangan ini tampaknya memang rada seret.
Petak-petak yang sudah selesai yang diharapkan segera dibeli
orang ternyata masih banyak kosong. Padahal dari uang penjualan
petak itulah satu-satunya harapan untuk dapat membiayai
penyelesaian tahap-tahap berikutnya.
Maka dibentuklah tim yang tugasnya antara lain memasarkan
petak-petak itu. Lirikan pertama tentu saja pada para pengusaha
kayu. Maka keluarlah SK Walikota yang melarang penggunaan rumah
untuk kantor perusahaan. Bagi perusahaan yang sudah terlanjur
mengontrak bangunan rumah, supaya segera pindah ke Pinang
Babaris. Soal belum habisnya kontrak rumah SK itu memberi jalan
keluar agar digunakan untuk mess karyawan saja.
Para pengusaha prinsipnya memang sudah setuju untuk berkantor di
Pinang Babaris, nalnun mengajukan beberapa syarat. Umpamanya
harus ada air minum dan jaminan keamanan bagi SSB, itu telepon
jarak jauh. "Kita memang sudah mau pasang air minum", kata Azis
Said, sekretaris tim yang juga Kasubdit Perekonomian kantor
walikota, "namun masih ragu-ragu kalau mereka tidak serius".
Azis mungkin benar. Sebab kelihatannya soal pokok keengganan itu
berpangkal pada harga yang diang8ap terlalu tinggi.
Blok A umpamanya, untuk petak yang berukuran 6 x 12 meter
berharga Rp 12 juta lebih. Sedang petak di blok B yang berukuran
6 x 8 meter Rp 8 juta lebih. "Padahal untuk satu perusahaan
paling tidak harus dua petak", kata seorang pengusaha. Tapi
"coba kalkulasi sebenarnya tidak mahal" jawab Azis. Mahal atau
tidak, yang jelas tarif itu Rp 2 juta lebih tinggi dari dua
tahun silam. Sebab rupanya tim selalu memasukkan bunga kredit
pada kalkulasi hingga semakin lama petak itu tak laku semakin
tinggi pula tarifnya. Sebaliknya semakin tinggi kalkulasi
semakin enggan orang membelinya.
Maka diambillah jalan kompromi: pengusaha diberi kelonggaran
untuk mencicil. "Tahap pertama mereka harus bayar 30% dan
selebihnya bisa dicicil selama setahun", kata Azis. Hasilnya
sudah mulai kelihatan. "Sudah 9 perusahaan lagi yang mendaftar",
tambahnya. Tapi ada juga pengusaha yang tak mau repot. Diam-diam
dibelinya petak itu meskipun kantornya tetap di rumah. Dan tim
tampaknya tak mau tahu. "Yang penting, kan petaknya sudah laku",
kata seorang pengusaha.
Pembangunan Pinang Babaris ini memang rada unik juga. Tidak
jelas sistim apa namanya. Tapi pemborongnya, CV Semoga Raya,
bakal menerima 1070 dari keuntungan hasil penjualan petak,
seperti dikatakan Azis. Sayangnya Azis tidak mau mengatakan
untuk siapa yang 90%nya lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini