Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Malam Konsolidasi di Kampus Reformasi

Bibit-bibit perlawanan mahasiswa yang berujung pada demonstrasi besar 23-24 September 2019 disemai sejak jauh hari. Universitas Trisakti, yang menjadi salah satu motor gerakan Reformasi 1998, kembali menjadi pusat kegiatan membahas skenario aksi.

28 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mahasiswa dari sejumlah elemen mahasiswa se-Jabodetabek berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 23 September 2019. ANTARA/M Risyal Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG pukul sepuluh malam, keriuhan di lantai dasar Sekretariat Kepresidenan Mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, malah bertambah. Sekitar dua lusin anak muda duduk mengelilingi meja rendah. Dengung celoteh dan tawa mereka bersahutan. Ruangan itu menjadi tempat singgah mereka di sela-sela aktivitas kuliah. “Selesai kelas, mampir sebentar untuk ketemu kawan atau bisa juga diskusi sampai malam,” kata Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dinno Ardiansyah.

Bangunan dua lantai di seberang gerbang kampus di Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, itu menjadi salah satu pusat aktivitas mahasiswa Trisakti. Pintu sekretariat terbuka sepanjang hari. Ruangan beralas karpet di dalamnya tak pernah sepi. Kantor Dinno dan timnya di lantai dua juga menjadi tempat nongkrong anak kampus. “Universitas sudah memfasilitasi. Selama untuk kegiatan mahasiswa, bebas saja,” ujar Dinno pada Kamis, 12 Desember lalu.

Pada malam seperti itu, 80 hari sebelumnya, ruangan sekretariat tersebut lebih hiruk. Tempat itu menjadi bagian sejarah pergerakan mahasiswa nasional yang berujung pada demonstrasi besar di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada 23-24 September 2019. Kampus yang menjadi salah satu motor reformasi Indonesia pada 1998 itu didatangi para mahasiswa dari berbagai kota sehari menjelang unjuk rasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


 

“Itu pertama kalinya kami turun bareng anak UI, sebelumnya hanya kontak biasa.”

 




Pertemuan pada 22 September 2019 itu menjadi konsolidasi akbar mahasiswa. Digelar sejak pukul 4 sore hingga menjelang tengah malam, pertemuan itu dihadiri lebih dari 50 mahasiswa dari 45 kampus. “Sampai ruangan penuh. Ada yang dari Sumatera juga. Beberapa wakil aliansi badan eksekutif mahasiswa juga datang,” kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Manik Marganamahendra.

Mereka membahas cara menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan menolak sejumlah rancangan undang-undang yang bermasalah. Topik kerusakan lingkungan, kekerasan seksual, masalah agraria, dan pelanggaran hak asasi di Papua menyeruak. Para mahasiswa beradu ide membahas rencana aksi protes massal ke DPR. Tak ingin terpecah dalam aliansi berbeda, mereka sepakat membentuk forum bersama. “Dibuat Aliansi Mahasiswa Indonesia untuk meleburkan semuanya,” tutur Manik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



***

 

DEMONSTRASI pada 23-24 September adalah puncak dari rentetan aksi serupa di berbagai kota, seperti Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Kendari, dan Makassar. Bergerak sporadis, para mahasiswa menyemai bibit aksi protes di Jakarta jauh hari sebelumnya. Aksi solidaritas untuk KPK bertajuk “Nyalakan Tanda Bahaya” pada 11 September menjadi lonceng pembuka yang menyatukan mahasiswa Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia, “Itu pertama kalinya kami turun bareng anak UI, sebelumnya hanya kontak biasa,” kata Dinno Ardiansyah.

Juru bicara Poros Revolusi Mahasiswa Bandung, Ilyasa Ali Husni, mengatakan aksi serupa untuk KPK digelar di Bandung. Meski tak bisa bergabung dengan kawan-kawannya di Jakarta, mahasiswa di Bandung antusias menyiapkan aksi mereka. “Ini menyangkut masalah fundamental, yaitu pemberantasan korupsi,” ujar mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu.

Eskalasi meningkat sehari setelahnya, bertepatan dengan uji kelayakan dan kepatutan calon pemimpin KPK, Firli Bahuri, di Komisi III DPR. Gabungan mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, dan Universitas Paramadina bertahan di KPK. Rombongan mahasiswa lain, seperti dari Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indraprasta, bergabung dengan tim Trisakti dan UI merapat ke DPR.

Jajaran kabinet Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Trisakti di Kampus Trisakti, Jakarta, Desember 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W



Di tengah rapat komisi, sebagian mahasiswa melakukan aksi protes dengan membentangkan kertas-kertas berisi huruf menyusun “SOS” alias tanda darurat. Koordinator Kajian dan Negosiator BEM Trisakti Edmund Seko mengatakan gulungan kertas-kertas yang disembunyikan terpisah oleh para mahasiswa itu lolos dari pemeriksaan penjaga. “Kami diusir keluar, tapi setidaknya aksi itu berhasil dilakukan dan tersiar,” kata Edmund, yang ikut membentangkan kertas protesnya.

Dua hari kemudian, di sebuah kafe di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, para mahasiswa kembali membahas rencana protes lanjutan di DPR. Strategi mereka buyar setelah Undang-Undang KPK disahkan pada 17 September. Padahal mereka baru membahas narasi menolak pengesahan revisi Undang-Undang KPK untuk aksi di DPR pada 19 September. Situasi makin pahit kala beredar kabar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kontroversial itu bakal disahkan. “Info itu banyak beredar di beberapa grup jaringan,” ucap Manik Marganamahendra.

Keributan pecah di kalangan mahasiswa. Sebagian mendesak untuk menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara, sementara lainnya berkukuh protes harus digelar di DPR. Sejumlah mahasiswa dari UI, Trisakti, ITB, dan Universitas Indraprasta berencana menggelar unjuk rasa dan meminta bertemu dengan anggota DPR pada 19 September. Mahasiswa UPI yang mendengar kabar itu menyiapkan aksi dukungan mereka di Bandung.

Informasi tentang rencana pengesahan KUHP itu juga menarik minat lebih banyak mahasiswa mengikuti unjuk rasa ke Jakarta. Itu menjadi gelombang pertama dari rangkaian demonstrasi besar yang mengepung parlemen. Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus meriung di depan pintu utama Gedung Parlemen di tepi Jalan Gatot Subroto. DPR bergeming, tapi mahasiswa tak mau beranjak tanpa hasil.

Lebih dari enam jam mereka berkerumun di depan pintu utama hingga akhirnya DPR membuka pintu. Awalnya hanya tim Universitas Trisakti yang diizinkan masuk. Mahasiswa Trisakti menolak. “Kami minta semua perwakilan kampus harus bisa masuk atau tidak sama sekali,” ujar Edmund.

Perwakilan dari 14 kampus akhirnya masuk dan bertemu dengan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. Masuk ke Gedung Parlemen sejak pukul lima sore, tim mahasiswa baru keluar hampir tiga jam kemudian. Mereka membawa catatan tulisan tangan yang ditandatangani tanpa meterai. Catatan itu menyebutkan bahwa aspirasi masyarakat Indonesia yang disuarakan mahasiswa akan disampaikan kepada pimpinan dan semua anggota DPR.

Para mahasiswa juga dijanjikan bertemu dengan DPR mengenai penolakan Rancangan Undang-Undang KPK dan Rancangan KUHP sebelum 24 September. Sekjen Indra Iskandar juga disebutkan akan menyampaikan pesan para mahasiswa kepada Dewan untuk tidak mengesahkan RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, serta RUU Mineral dan Batu Bara. “Kami sampaikan kepada Sekjen DPR, kalau tidak respons, empat atau lima hari lagi kami balik,” kata Dinno.

Demonstrasi bubar menjelang pukul sembilan malam. Tapi mahasiswa tak melupakan janji mereka. Manik mengatakan aksi itu menjadi perhatian karena pengaruh media sosial dan pemberitaan. Banyak yang menghubunginya dan bertanya kapan aksi besar seperti itu digelar lagi. “Dari situ, kami putuskan untuk konsolidasi akbar,” ucap Manik.

Hari itu pula mereka membuka dan menjalin komunikasi intens lewat grup WhatsApp. Grup-grup percakapan di kanal komunikasi terenkripsi lain, seperti Signal dan Telegram, juga digarap. Menurut Edmund, tak ada yang tahu siapa yang membuat grup-grup percakapan itu, tapi semua kontak mereka dari berbagai universitas masuk ke sana.

Pertanyaan soal konsolidasi nasional berseliweran karena batas waktu yang diberikan untuk bertemu dengan DPR kian mepet. Akhirnya undangan konsolidasi pada 22 September pun disebar. Trisakti dipilih menjadi lokasi pertemuan. “Teman-teman semua universitas yang menyusun desain aksinya,” kata Dinno.

Konsolidasi akbar 45 kampus mendiskusikan aksi di SEKRETARIAT Kepresidenan Mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, 22 September 2019. Kepresidenan Mahasiswa Trisakti dan BEM Nusantara



Lebih dari 45 kampus mengirimkan wakilnya ke Trisakti. Sebagian mahasiswa dari luar kota, seperti kelompok Poros Bandung, sampai menginap di Trisakti. Menurut Ilyasa Ali Husni, timnya beranggotakan mahasiswa dari Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan, dan Universitas Langlangbuana. “Semua hasil pertemuan saya sebarkan ke teman-teman di Bandung,” ujar Ilyasa.

Rapat besar itu digelar tertutup. Para mahasiswa mengawasi ketat siapa yang datang karena tak ingin rencana mereka bocor. Mereka bahkan menolak tawaran bantuan dari mantan vokalis Banda Neira, Ananda Badudu, karena ingin aksi mereka berlangsung mandiri. “Logistik sudah oke, untuk beberapa ribu peserta aksi pun kami siap,” kata Edmund.

Semua gawai para peserta rapat dikumpulkan sebelum mereka masuk ruangan. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan kemungkinan ada yang merekam gambar atau video diam-diam lalu menyebarkannya. Semua identitas pun diperiksa ketat.

Tim Trisakti sebenarnya menyediakan petugas khusus untuk mendokumentasikan jalannya rapat. Namun tak ada jaminan isi rapat itu tak bocor ke publik. Mesin penyejuk udara yang rusak membuat pintu ruangan itu terpaksa dibuka agar tak sumuk. Akibatnya, banyak orang yang bisa masuk-keluar ruangan tak terkontrol. Pada akhirnya mereka berusaha memantau keadaan dengan menjaga rekan-rekan sendiri. “Saling kenal kanan-kirinya saja,” ujar Edmund.

Konsolidasi digelar untuk menyamakan persepsi para mahasiswa. Mereka sepakat memulai aksi pada 23 September. Namun banyak kepala rupanya menghasilkan banyak gagasan yang berseberangan. Ada yang mengajukan tuntutan untuk menurunkan Presiden Joko Widodo, menolak pelantikan presiden, sampai membuat mosi tidak percaya kepada Kepolisian Republik Indonesia.

Padahal masalah intinya sudah muncul dalam tujuh poin, serupa tuntutan yang diusung gerakan Gejayan Memanggil dan sudah tersebar di media massa. Koordinator Lapangan BEM Trisakti Azzumar Mansyah mengatakan konsolidasi bisa meredam tuntutan-tuntutan liar yang bisa membahayakan aksi 23 September. “Bisa-bisa malah dituding makar,” kata Azzumar.

Salah satu topik yang paling sengit dibahas adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurut Difa Shafira, Koordinator Bidang Sosial Politik BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, banyak anggota rapat yang salah kaprah soal RUU ini karena informasi sumir dan dianggap bertentangan dengan Pancasila. Sebagian peserta rapat tak siap karena belum memiliki kajian internal.

Meski memiliki latar belakang dan organisasi berbeda, para mahasiswa itu lebih mudah bekerja sama seusai konsolidasi. Rapat malam itu selesai dengan menyepakati wadah aksi bernama Aliansi Mahasiswa Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang menyatukan mereka malam itu. Pertama, mereka setuju bahwa KPK harus diselamatkan. Kedua, sejumlah RUU bermasalah harus segera dibereskan. “Dan DPR yang mengabaikan tuntutan publik dan mahasiswa ini,” ujar Edmund.



***



ROMBONGAN dari Trisakti mengawali perjalanan demonstrasi pada 23 September dengan menggelar konferensi pers di depan Monumen 12 Mei 1998. Beriringan menumpang bus, mereka bergerak menuju Kompleks Parlemen di Senayan. Di sana, puluhan ribu mahasiswa sudah menunggu mereka. Raungan klakson, nyanyian, dan yel membahana di udara. “Tidak menyangka juga seramai itu. Ini jadi seperti tanggung jawab moral kami terhadap mereka yang dulu memperjuangkan reformasi,” kata Dinno Ardiansyah.

Unjuk rasa itu berakhir pahit setelah polisi melepaskan tembakan gas air mata bertubi-tubi dan merangsek ke barisan pengunjuk rasa untuk membubarkan mereka. Sehari setelahnya, kondisi malah makin parah. Puluhan orang dilarikan ke rumah sakit karena cedera setelah dikepung semprotan gas air mata, pentungan, dan semburan kanon air dari pasukan polisi.

Tragedi itu tak membuat para mahasiswa menyerah. Bahkan muncul kelompok-kelompok baru yang terus mengobarkan bara perjuangan mahasiswa. “Kita belum menang sampai tuntutan yang kita bawa itu terwujud semua,” kata Natado Putrawan, mahasiswa yang tergabung dalam Border Rakyat. Ini adalah perkumpulan mahasiswa yang terbentuk tiga hari setelah demo besar pada 24 September.

Menurut Natado, Border Rakyat juga wujud protes terhadap sejumlah pengurus badan eksekutif mahasiswa kampus yang dinilai tak peduli dengan perjuangan teman-temannya di lapangan dan memilih tampil di televisi. Belakangan, relasi mereka mulai membaik. Natado mengatakan terus menjalin komunikasi dengan rekan-rekan mahasiswa yang ingin meneruskan aksi. “Kalau media mau menyorot isu ini, ya, datang ke lapangan,” ujar mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya itu.

Dinno memastikan perjuangan terus berlanjut hingga tuntutan utama yang diajukan mahasiswa dalam demo besar itu dikabulkan. Mereka sengaja menurunkan intensitas gerakan dan berencana memperbaiki desain aksi selanjutnya. Para pengurus BEM juga sudah sepakat merapikan jaringan komunikasi mereka dan melakukan konsolidasi internal. “Kalau tidak ada evaluasi, cuma rame-rame doang, tujuan kita malah tidak tercapai.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus