Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Keselamatan Rakyat Adalah Hukum Tertinggi

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal TNI Doni Monardo

28 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Letnan Jenderal TNI Doni Monardo. TEMPO/Muhammad HIdayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kepala BNPB Doni Monardo mensosialisasikan program keluarga tangguh bencana atau Katana di Provinsi Aceh, berbarengan dengan momentum peringatan 15 tahun tsunami di sana.

  • BNPB bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah menggodok kurikulum yang memuat pendidikan tanggap bencana untuk memperkenalkan kebencanaan kepada siswa sejak dini.

  • Kepala daerah dihimbau untuk menjadikan data BMKG sebagai acuan dalam menjalankan upaya mitigasi bencana, baik itu banjir, tanah longsor, maupun kebakaran hutan dan lahan.

BERSAMA lebih dari seribu “penyintas” gempa dan tsunami, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Tentara Nasional Indonesia Doni Monardo menghabiskan malam di dekat pantai Pasie Jantang, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Puluhan tenda terpancang di lapangan rumput yang menghadap Samudra Hindia tersebut. Di salah satu tenda berkelir biru dan beralaskan terpal yang bisa menampung lima orang, Doni menginap selama dua malam sejak Jumat, 6 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang akhir pekan itu, Doni meninjau program Keluarga Tangguh Bencana atau Katana, yang diluncurkan BNPB berbarengan dengan momentum peringatan 15 tahun tsunami Aceh. Salah satu kegiatannya adalah simulasi gempa dan tsunami yang diikuti masyarakat dari berbagai kalangan yang seolah-olah sebagai penyintas bencana. “Lewat program Katana, keluarga di seluruh Indonesia bisa paham apa yang harus dilakukan sebelum dan sesudah bencana,” ujar Doni kepada wartawan Tempo, Devy Ernis, yang mengikuti kegiatannya selama di Aceh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9,1 skala Richter mengguncang dasar Samudra Hindia, sekitar 160 kilometer sebelah barat Aceh. Getaran gempa yang dahsyat memicu smong--sebutan orang Aceh untuk tsunami--hingga setinggi 30 meter. Setiba di darat, air bah itu meluluhlantakkan sebagian besar pesisir barat bumi Serambi Mekah hingga ibu kota Banda Aceh. Tak kurang dari 230 ribu nyawa melayang akibat diempas tsunami. Di Desa Pasie Jantang, sekitar 300 dari 1.000 warga selamat karena tidak berada di gampong saat peristiwa nahas itu terjadi.

Sejak menggantikan Willem Rampangilei pada 9 Januari lalu, Doni telah berurusan dengan mitigasi gempa, banjir, tanah longsor, kekeringan, puting beliung, hingga kebakaran hutan dan lahan. Kepada Tempo, dalam beberapa kesempatan selama di Aceh, bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat ini menjelaskan tentang mitigasi bencana, rencana memasukkan program tanggap bencana ke kurikulum sekolah, serta persoalan kebakaran hutan dan lahan. Kendati masih berstatus perwira aktif, Doni ogah menanggapi pertanyaan di luar soal kebencanaan.

Seusai sarapan pada Sabtu, 7 Desember lalu, Doni berkeliling mendatangi tenda-tenda didampingi pelaksana tugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. Di beberapa tenda, warga menjual produk kerajinan tangan dan hasil alam khas Aceh, seperti tas dan kopi. Sambil mencicipi kopi, Doni ngemper di pinggir pantai.

Apa pentingnya program Katana bagi masyarakat?

Keluarga Tangguh Bencana ini program agar publik paham informasi kebencanaan, khususnya gempa dan tsunami. Program ini kelanjutan dari Destana (Desa Tangguh Bencana) yang sudah berjalan Juli-Agustus lalu. Kami menargetkan lima tahun ke depan semua keluarga di Indonesia memperoleh pengetahuan tentang bencana.

Mengapa targetnya tiap keluarga?

Berdasarkan riset di Jepang, keluarga berada di urutan kedua, setelah diri sendiri, sebagai pihak yang bisa menyelamatkan nyawa kita saat terjadi bencana. Korban selamat karena diri sendiri sekitar 35 persen, keluarga 31 persen, dan pihak luar itu hanya 2 persen.

Mengapa Aceh dipilih sebagai tempat peluncuran program tersebut?

Gempa dan tsunami ternyata peristiwa berulang. Di Gua Ek Lentie ditemukan lapisan jejak tsunami berusia 7.500, 5.400, 3.300, 2.800 tahun. Jadi Aceh dipilih karena ada bukti sejarah sekaligus pengingat tsunami 15 tahun lalu.

Dari mana sumber dana program ini?

Sekitar tiga bulan lalu, utusan Bank Dunia datang ke saya. Mereka menawarkan program kebencanaan. Pemerintah setuju menerima loan. Saya juga dengan senang hati, tapi dengan satu syarat. Anggaran ini bukan untuk teknologi, tapi peningkatan kapasitas.

Berapa dananya?

Bank Dunia memberikan bantuan total US$ 160 juta untuk lima tahun. Itu dibagi dua, BNPB memperoleh US$ 75 juta dan sisanya BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika). Dana untuk BNPB inilah yang dipakai buat menjadikan Katana sebagai salah satu program prioritas.

Di beberapa daerah, dana penanggulangan bencana rawan dikorupsi. Bagaimana Anda memastikan anggaran kebencanaan tidak diselewengkan?

Itu kewenangan daerah, bukan BNPB. Dananya kan dihibahkan ke daerah.

Apakah BNPB tidak bisa mengawasi penggunaan dana pembangunan, misalnya, tempat penampungan sementara untuk korban tsunami?

Pembangunan shelter saja banyak masalah. BNPB enggak mungkin membangunnya karena itu wewenang pemerintah daerah. Tapi sekarang usulan proyek sudah online supaya semua orang mengetahui. Pihak mana pun yang ingin ikut pengadaan barang, ya, kita enggak bisa melarang. Anda punya produk, silakan masukkan e-catalog. Saat ada permintaan dari daerah, saya yang akan memutuskan. Kalau sudah ada angkanya di situ, saya enggak ada beban lagi. Semuanya terdaftar.

Selama menjadi Kepala BNPB, Anda telah berkeliling Indonesia. Daerah mana yang paling siap dalam menghadapi bencana?

Sulit, ya. Saat dibilang siap, pas kejadian korbannya banyak. Siap dan tidaknya itu dipengaruhi banyak faktor. Mereka berlatih pagi-siang-sore ternyata kejadiannya malam. Indeks risiko bencana bisa terbukti saat korban jiwanya sedikit.

Wilayah mana yang minim korban?

Saya tidak bermaksud membandingkan dengan daerah lain karena faktor waktu juga berpengaruh. Saya lihat salah satunya Konawe Utara. Di sana terjadi banjir yang menghanyutkan banyak rumah, tapi tidak ada korban jiwa.

(Banjir merendam tujuh kecamatan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, pada awal hingga pertengahan Juni lalu. Lebih dari 18 ribu warga mengungsi, 370 unit rumah hanyut, dan 1.837 unit lainnya terendam.)

Mengapa bisa begitu?

Pemerintah kabupaten berkomunikasi sangat baik dengan BMKG daerah. Mereka terus menanyakan perkembangan cuaca. Informasi itu dijadikan referensi. Bupatinya menginstruksikan semua kepala dinas mengabarkan langsung kepada para kepala desa, yang lantas bergerak mengevakuasi warga di sepanjang sungai. Kalau Bupati dan pimpinan daerah diam saja, tak terbayang apa jadinya.

Kesadaran masyarakat tentang bencana masih rendah?

Kalau mereka tak mengerti, tidak menaruh perhatian, bagaimana mau menyelamatkan diri? Kuncinya ada di tangan masyarakat. Saya membayangkan korban tsunami Aceh sekian ratus ribu orang dan 99,9 persennya enggak memahami tsunami. Kalau waktu itu sudah ada informasi tentang tsunami, mungkin korbannya enggak sebanyak itu.

Jika tiba-tiba tsunami di Aceh atau Padang terjadi, sejauh mana kesiapannya?

Dua daerah ini sudah sering simulasi hingga melibatkan sejumlah negara dengan kerja sama TNI, pemerintah daerah, dan BNPB. Di Aceh, setiap 26 Desember, selalu ada acara peringatan tsunami agar tingkat kesiapsiagaan masyarakat bisa terpelihara. Tapi kembali lagi ke faktor alam dan waktu. Kalau kejadiannya siang, orang masih siap. Tapi, kalau kejadiannya malam, apa semua orang bisa tahu? Belum tentu juga.

Setelah kurang-lebih satu jam perbincangan, Doni Monardo dan Nova Iriansyah mengunjungi Gua Ek Lentie, yang berjarak sekitar 13 kilometer dari Pasie Jantang. Gua Ek Lentie menyimpan jejak lapisan tsunami purba. Doni dan rombongan keluar dari gua menjelang tengah hari, ketika cuaca terik, dan langsung menyeruput es kelapa muda yang disuguhkan warga setempat.

Jepang melatih warganya mawas bencana sejak dini. Apa yang bisa kita pelajari dari mereka, mengingat pendidikan tanggap bencana belum masuk kurikulum sekolah?

Selama satu tahun terakhir sudah ada program yang dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya (Muhadjir Effendy). Tapi sifatnya baru ekstrakurikuler. Maret lalu, saya datang ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melaporkan arahan Presiden agar program kebencanaan bisa segera masuk kurikulum sekolah.

Bagaimana respons Menteri Nadiem Makarim?

Saya menjelaskan bahwa ini menyangkut anak-cucu kita. Saya singgung tentang kerusakan ekosistem, sumber air sudah mulai habis, sungai yang tercemar, polusi, limbah medis dan industri, baru beliau kaget. Beliau bilang, “Waduh, kalau begitu bagaimana nanti dengan anak saya.” Pendidikan penting untuk mengubah perilaku, karena sebagian besar banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan itu kan akibat perilaku manusia. Beliau lantas setuju.

Penggodokan kurikulumnya seperti apa?

Kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Nanti (pendidikan tanggap bencana) tidak hanya di sekolah negeri, tapi semua sekolah, termasuk madrasah. Kalau modul-modul siaga bencana sudah ada lewat kegiatan Pramuka. Tapi kurikulumnya belum ada.

Bagaimana penerapan konkretnya di sekolah?

Pendekatan kami ada beberapa program untuk sekolah. Salah satunya program satuan pendidikan aman bencana. Intinya tiga pilar. Pertama, fisik bangunan sekolah harus aman. Apalagi kini, setiap kali terjadi gempa, ada banyak sekolah rusak. Kedua, harus ada manajemen. Setiap terjadi gempa, siapa petugas yang memimpin evakuasi anak didik. Ketiga, harus ada materi pembelajaran kepada siswa. Itu kami sudah ada satuan pendidikan dan kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kapan target penyusunan kurikulumnya?

Ya, semestinya secepat mungkin. Presiden menyatakan edukasi harus dimulai tahun ini. Jadi kita akan mengubah perilaku siswa menjadi mawas bencana.

Ketika terjadi gempa, apa yang sebetulnya harus segera dilakukan?

Kalau ada gempa selama sekitar 20 detik, tidak perlu menunggu pemberitahuan dari mana pun untuk lari secepatnya ke tempat tinggi. Kurang dari 20 menit kalau bisa sudah berada di tempat setinggi minimal 20 meter. Ini prinsip 20-20-20 yang berlaku universal dan diperkenalkan Profesor Ron Harris (ahli geologi dan kegempaan asal Amerika Serikat). Jadi angka 20 itu bukan berarti 20 menit gempa baru kabur.

Kalau tidak ada tempat tinggi?

Jika tidak ada bukit, bisa memanjat pohon. Karena itu, vegetasi menjadi penting. Masyarakat harus dibangun budaya sadar bencana. Pohon-pohon yang akarnya kuat dipasangi tangga, lalu disiapkan juga tali dan jaring. Ini untuk membantu warga yang enggak bisa memanjat pohon.

Kepala BNPB Doni Monardo saat acara peluncuran program Keluarga Tangguh Bencana di Aceh, 7 Desember 2019. (TEMPO/Muhammad Hidayat)

Tapi tsunami melaju sangat cepat.

Untuk mengurangi kecepatan tsunami itu, daerah pesisir atau pantai harus ditanami vegetasi. Bisa mangrove atau cemara udang. Ketika tsunami 2004, ada satu desa di Pattaya, Thailand, yang semua warganya selamat karena mereka menanam vegetasi. Desa-desa pesisir yang enggak ada tanamannya, korbannya banyak.

Di mana Anda saat tsunami Aceh pada 2004?

Saya sedang bertugas di Lhokseumawe. Saya ditelepon adik saya yang bersekolah di Jepang. Dia bilang, “Bang, ada gempa besar, hati-hati tsunami.” Saya enggak ngerti apa itu tsunami. Sesaat setelah gempa, saya menelepon teman saya di Peuniti, Banda Aceh, menanyakan keadaan dan berapa korban. Katanya saat gempa belum ada. Tapi, setelah tsunami, rupanya korban banyak di sana. Pak Jusuf Kalla (saat itu wakil presiden) sempat menelepon saya dan bertanya jumlah korban. Saya bilang banyak, tapi enggak tahu jumlahnya. Setelah mendatangi rumah sakit dan beberapa tempat, saya baru menyadari bahwa jumlah korbannya luar biasa.

Ahad pagi, 8 Desember 2019, peringatan terjadinya gempa yang berpotensi tsunami menyalak lewat pelantang suara. Para peserta simulasi langsung berkerumun dan mencari jalan evakuasi melalui petunjuk yang dipasang di sekitar pantai Pasie Jantang. Di sela-sela "evakuasi" itu, Doni menjawab pertanyaan Tempo. Setelah itu, ia menabuh rapai yang menandai pembukaan program Katana dan ditutup dengan menanam pohon cemara udang di sekitar pantai.

Selain kerap dilanda gempa dan tsunami, Indonesia langganan kebakaran hutan dan lahan. Tapi BNPB seakan-akan hanya menjadi “pemadam kebakaran”. Tanggapan Anda?

Kami coba dorong agar penanggulangannya jangan lagi menunggu penetapan status darurat oleh gubernur. Otomatis saja, karena ini kan rutin setiap tahun. Apalagi jika kemaraunya panjang, potensi kebakarannya makin besar.

Bagaimana mekanismenya?

Kami sedang merumuskan aturannya.

Benarkah pemerintah daerah kerap telat menetapkan status darurat?

Pola penanganan kebakaran hutan dan lahan nantinya ada perubahan. Jadi tidak menunggu terjadi kebakaran dulu. Data BMKG bisa menjadi acuan kepala daerah dalam menetapkan status. Bukan saat terjadi kebakaran. Salus populi suprema lex esto. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Apakah kanalisasi tidak efektif untuk mencegah kebakaran lahan gambut?

Kanal-kanal malah menimbulkan kekeringan gambut. Lahan gambut harus dikembalikan sesuai dengan kodratnya, yaitu basah. Kalau basah, walaupun dibakar, yang terbakar hanya atasnya. Yang membuat kami sangat kesulitan, gambut ini ketebalannya ada yang mencapai lebih dari 30 meter. Jika kekeringannya sampai kedalaman 7 meter, misalnya, kebakarannya ya di 7 meter itu saja.

Bagaimana cara membuat lahan gambut selalu basah?

Sekarang polanya pembasahan dengan membuat embung-embung. Sekat kanal itu justru harus ditutup karena ternyata dipakai juga untuk nyolong kayu. Selanjutnya adalah mengubah perilaku. Di sini peran Menteri Pertanian. Para penyuluh pertanian diterjunkan untuk mengenalkan teknologi buka lahan tanpa bakar.

Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat adat masih boleh membakar lahan.

Boleh, tapi itu tidak gampang. Undang-undang membolehkan kalau ada izin mulai dari provinsi, kabupaten, kota, sampai tingkat desa. Artinya, dia baru boleh melakukannya ketika mendapat izin. Bayangkan kalau, misalnya, satu desa itu ada 10 ribu orang bersamaan (membakar lahan). Apinya enggak bisa dicegah.

Beberapa perusahaan perkebunan tak jera membakar lahan, termasuk dari Malaysia. Bagaimana mengatasi persoalan ini?

Perusahaan-perusahaan Malaysia itu nanti akan diundang oleh Duta Besar Malaysia di Jakarta untuk berkunjung ke BNPB. Nanti kami bicarakan bagaimana metodenya agar perusahaan asing di Indonesia memiliki prosedur operasi standar (SOP) yang sama dengan perusahaan Indonesia yang sudah bagus.

Bukankah ada perusahaan Indonesia yang juga terbukti membakar lahan?

Ada beberapa perusahaan yang sudah bagus sistemnya. Mereka punya helikopter pemadam. Jadi, begitu ada kebakaran, mereka ikut membantu memadamkan api di sekitar kawasan lahan mereka. Perusahaan-perusahaan Indonesia sudah beberapa bulan lalu datang ke BNPB. Mereka juga mau terlibat. Tinggal kami petakan nanti mana yang sudah punya komitmen. Ada ratusan perusahaan.

Berapa perusahaan yang sudah berkomitmen menjaga lahannya dari kebakaran?

Perusahaan besar itu 80 persen sudah berkomitmen.

Bagaimana dengan perusahaan kecil?

Ini yang agak repot. Kami susah mengontrol juga. Belum lagi yang milik perorangan. Jumlahnya ternyata banyak sekali. Kalau milik perorangan kan enggak terdaftar. Tapi yang perusahaan besar semuanya tercatat.

Sejauh mana pelibatan perusahaan untuk memadamkan lahan yang terbakar?

Kami mengajak korporasi bekerja sama. Ada korporasi yang lahan terbakarnya sudah ditangani, sisanya belum diapa-apain. Ini nanti pengawasannya susah, bisa terbakar lagi. Bisa karena memang nakal atau ada faktor lain. Ada juga karena tidak sengaja, bakar sampah lantas tertiup angin, bara apinya jatuh di gambut dan terbakar.

 


 

DONI MONARDO

Tempat dan tanggal lahir: Cimahi, Jawa Barat, 10 Mei 1963 | Pendidikan: Akademi Militer (1985), Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (1999), Lembaga Ketahanan Nasional (2012) | Karier: Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (2012-2014), Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (2014-2015), Panglima Komando Daerah Militer XVI/Pattimura (2015-2017), Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi (2017-2018), Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (2018-2019), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2019-sekarang)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus