Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ambles Bandung Lebih Cepat

Laju penurunan tanah atau ambles di wilayah Bandung lebih cepat dari daerah di Jakarta meski tak berada di pesisir. Pemicunya bisa sifat endapan tanah, beban bangunan, gempa, dan pengambilan air tanah.

28 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jalan beton yang pecah di Kampung Rancapacing, Cisantren Kidul, Gedebage, Bandung, 25 Desember 2019./Tempo/Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN beton di bawah gapura bertulisan “Selamat Datang di RW 04 Kampung Rancapacing Kelurahan Cisaranten Kidul” di Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, itu tampak terbelah. Tak seberapa jauh dari situ, konstruksi turap di sisi kiri jembatan di atas Sungai Cisaranten pun sudah patah, menyisakan tulang beton yang tergantung belasan sentimeter dari permukaan tanah. “Retakan itu bisa jadi ambles karena tanahnya baru, hasil pengurukan,” kata Enjang, Ketua Rukun Warga 04, ketika ditanyai tentang kondisi jalan di lingkungannya tersebut.

Enjang, yang menghuni Kampung Rancapacing sejak 1995, mengaku tak pernah mendengar atau mendapat laporan mengenai rumah masyarakat yang ambles. “Kalau di sini, tanahnya sudah padat dari aslinya,” ujar Enjang pada Rabu, 25 Desember lalu, sembari menuding RW tetangga yang mungkin tanahnya ambles lantaran bangunan dan lahannya tergolong baru

Menurut hasil riset tim peneliti dari Kelompok Keahlian Geodesi Institut Teknologi Bandung, Kecamatan Gedebage tergolong daerah yang mengalami penurunan muka tanah (land subsidence) dengan laju 8-10 sentimeter per tahun. Adapun laju keamblesan tanah di beberapa titik di Bandung 1-20 sentimeter per tahun. Itu berarti laju penurunan tanah di Bandung lebih cepat ketimbang di Jakarta, yang menurut artikel yang diterbitkan World Economic Forum tentang sebelas kota yang terancam tenggelam pada 2100 mencapai 17,02 sentimeter per tahun.

Heri Andreas, anggota tim peneliti, mengatakan ada daerah yang total penurunan tanahnya sudah 3-4 meter, seperti Leuwigajah, Kopo, dan Pasir Koja. “Turun sejak 1980-an, ketika di Bandung gencar pembangunan,” ucapnya kepada Tempo di kampus ITB, Sabtu, 6 Desember lalu. Peta yang dibuat tim menunjukkan sebaran tanah yang ambles dari Cimahi di barat hingga Rancaekek di timur serta dari Gedebage di utara terus ke selatan sampai Banjaran dan Majalaya, yang terkenal sebagai kawasan langganan banjir.

Area tersebut meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, serta Kota Cimahi. “Terutama di wilayah endapan bekas danau purba,” tutur Andiani, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam acara bincang-bincang tentang penurunan muka tanah di Museum Geologi, Bandung, Jumat, 13 Desember lalu.

Kawasan danau purba Bandung, kata Andiani, berwilayah luas. “Dari Cicalengka, Rancaekek, utara Majalaya, Ciparay, hingga Dayeuhkolot dengan endapan didominasi lempung hitam,” ujarnya. Ketebalan endapannya berkisar 100-150 meter. Sifat lempung hitam ini, Andiani menjelaskan, sangat lunak dan mempunyai kompresibilitas sangat tinggi. Kompresibilitas adalah proses penurunan yang disebabkan oleh beban yang ada di atas. “Secara alami, dengan beban ketebalan lapisannya, lempung ini akan mengalami penurunan,” ucapnya.

Adapun Heri menerangkan, berdasarkan hasil penelitian dari luar negeri, dampak penurunan tanah ini adalah meluasnya daerah genangan banjir. Selain itu, terdapat potensi krisis air tanah. Hitungannya, kata Heri, setiap penurunan tanah sedalam 1 meter setara dengan penurunan air tanah hingga 20 meter. Kondisi air tanah dikategorikan rusak jika turun atau minus 40 meter. “Berdasarkan pemodelan, pada 20-30 tahun ke depan bencana kekeringan air akan terjadi,” tuturnya.

Heri dan Andiani sepakat mengenai beragam faktor penyebab tanah ambles. Selain faktor alami berupa sifat endapan tanah, ada beban bangunan dan faktor tektonis atau gempa. Namun tim ITB lebih condong ke faktor pengambilan air tanah, terutama di kawasan industri. “Penurunan tanah di Bandung sudah masif. Artinya, ada pengambilan air tanah yang banyak,” ujar ketua tim, Irwan Gumilar, Sabtu, 30 November lalu.

Rachmat Fajar Lubis dari Perhimpunan Ahli Air Tanah Indonesia menepis faktor tunggal penyedotan air tanah. Amblesnya tanah, menurut peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, sudah jelas terjadi. Wilayahnya terbentang dari jalur rel kereta api ke selatan Bandung karena bertanah endapan danau purba. “Bandung ini cekungan tertutup, amblesnya lebih cepat,” ucapnya pada Jumat, 13 Desember lalu.

•••

TIM geodesi Institut Teknologi Bandung meneliti penurunan muka tanah di berbagai wilayah Indonesia sejak 2000. Tim terdiri atas Heri Andreas, Irwan Gumilar, dan Hasanuddin Zainal Abidin, yang kini menjabat Kepala Badan Informasi Geospasial. Mereka menggunakan metode pemasangan alat Global Positioning System dan analisis data citra satelit Interferometric Synthetic Aperture Radar. Kedua instrumen itu, kata Heri, memberi data kondisi permukaan sehingga bagian yang turun bisa diketahui dan dihitung secara berkala. 

Sejauh ini, tim menemukan 23 daerah di Indonesia yang mengalami penurunan tanah. Peta Potensi Penurunan Tanah di Wilayah Indonesia keluaran 2018 menyebutkan daerah yang tanahnya ambles antara lain Langsa, Medan, Indragiri, Palembang, Pontianak, Palangka Raya, Mahakam, Gorontalo, Denpasar, dan Papua selatan. Pulau Jawa menyumbang daerah terbanyak, yaitu Tangerang, Jakarta, Bekasi, Pongkor, Blanakan, Bandung, Brebes, Cilacap, Pemalang, Cirebon, Kendal, Semarang, Demak, Pekalongan, dan Surabaya 

Jendela sebuah rumah nyaris sejajar dengan jalan di Rancapacing, 24 Desember 2019/TEMPO/Prima Mulia.

Menurut Heri, di daerah pesisir di timur Sumatera dan utara Jawa, tingkat penurunan tanah berkisar 1-20 sentimeter per tahun. Di daerah pesisir ini, ancaman yang dipicu amblesnya tanah adalah banjir rob karena kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global. Contohnya di utara Jakarta. “Selain karena kenaikan permukaan air laut, ternyata ada penurunan tanah,” ujarnya.

Pemodelan yang dilakukan Heri menunjukkan 26,86 persen wilayah Jakarta bisa terkena rob pada 2025. Wilayah Jakarta Utara seluas 75,19 persen akan terkena dampak rob. “Model ini akan berubah, tergantung upaya mitigasi untuk mengatasi penurunan tanah,” ucapnya. Heri menyebutkan, jika eksploitasi air tanah bisa dihentikan, penurunan tanah pasti akan berhenti. Ia merujuk pada Tokyo dan Bangkok, yang sukses mengerem laju penurunan tanah setelah mengeluarkan kebijakan penghentian pengambilan air tanah.

Rachmat Fajar Lubis mengatakan Perhimpunan Ahli Air Tanah Indonesia sudah mengimbau agar larangan pengambilan air tanah di zona merah dikeluarkan. Walau di beberapa titik masih ada pengambilan, kondisi muka air tanah (akuifer) wilayah Jakarta kini ia sebut mulai stabil. “Karena pengambilan air tanah dilarang dan air PDAM sudah mulai masuk,” katanya. Hotel dan apartemen pun diajak memakai air daur ulang.

Wilayah hunian di pesisir yang mengalami laju keamblesan tercepat terdapat di Pekalongan. “Banjir rob sudah setengah kota, 20-30 tahun lagi bisa satu kota,” ucap Heri. Berdasarkan data yang diambil pada 2007-2011 dan 2013, tingkat keamblesan tanah di Pekalongan 10 sentimeter per tahun. Menurut Heri, kondisi itu akibat pengambilan air tanah dan kebijakan pemerintah daerah membuat sumur artesis berkedalaman hingga 100 meter di setiap rukun warga. “Ini bikin bunuh diri massal. Krisis air, lalu kotanya tenggelam,” tutur Heri.

Perkebunan di lahan gambut, seperti kelapa sawit, ikut menyebabkan penurunan tanah. Heri mengungkapkan, ia menemukan lokasi tanah ambles yang dipicu perkebunan sawit di pesisir timur Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan, juga Papua selatan. Penurunan itu berpotensi menenggelamkan sebagian daratan. “Pantai timur Sumatera yang paling parah. Sekitar 4 juta hektare akan hilang karena kenaikan permukaan air laut dan ambles,” ujarnya.

Ahli geoteknik dan geohidrologi dari ITB, Imam A. Sadisun, mengatakan lahan gambut yang dikeringkan akan ambles dalam hitungan meter. “Proses yang biasa, saya sebut sebagai hidrokompaksi,” ucapnya, Jumat, 13 Desember lalu. Karena kandungan air dalam lahan gambut tinggi, kata Imam, air itu dikeluarkan sebanyak 70 persen, bahkan hingga tersisa 10 persen. “Kalau tebal gambut misalnya 10 meter, tanahnya bisa turun sampai 9 meter.”

ANWAR SISWADI (BANDUNG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus