Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faisal Basri
Sudah bukan rahasia lagi bahwa antara SBY dan JK ada kesepakatan tertulis tentang pembagian tugas yang kira-kira sebagai berikut: Presiden mengurus diplomasi dan pertahanan-keamanan, sedangkan Wakil Presiden mengurus perekonomian. Kalau benar, perjanjian seperti itu tergolong sebagai perjanjian perdata yang tidak diatur di dalam konstitusi kita. Dalam kenyataannya, pembagian tugas tersebut tidak kaku. Wakil Presiden lebih banyak bicara ketimbang Presiden tentang proses perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka. RI-2 juga hampir selalu mengomentari segala hal, bukan cuma persoalan ekonomi. Sebaliknya, Presiden tak jarang menyampaikan pandangan dan arahan berkaitan dengan masalah ekonomi. Bahkan, sewaktu nilai rupiah anjlok bulan lalu, saat Wakil Presiden sedang berkunjung ke luar negeri, Presiden menegaskan bahwa mulai saat itu ia mengambil alih urusan ekonomi. Berarti benar bahwa sebelumnya Presiden tidak memegang kendali atas persoalan ekonomi. Namun, setelah Wakil Presiden tiba di Tanah Air, kendali Presiden atas persoalan ekonomi tampaknya kembali menyurut.
Tarik-menarik kendali atas pengaruh, kewenangan, dan kekuasaan sudah terjadi sejak awal, bahkan sebelum keduanya dilantik. Kita menyaksikan alotnya pembentukan kabinet, sampai-sampai penentuan sejumlah posisi di kabinet baru tuntas menjelang diumumkan sehingga tak sempat dilakukan proses fit and proper test terhadap mereka sebagaimana janji SBY berkali-kali sejak masa kampanye.
Presiden beberapa kali melakukan rapat kabinet terbatas tanpa kehadiran Wakil Presiden. Sebaliknya, Wakil Presiden kerap melakukan pertemuan sendiri dengan para menteri. Sebetulnya, praktek demikian wajar saja, apalagi kalau ada pembagian kerja yang tegas dan keduanya memelihara jalur komunikasi berdasarkan saling percaya. Tetapi, teramat banyak preseden yang mengindikasikan terjadinya kristalisasi rivalitas antara keduanya. Inilah akar masalah yang ditengarai membuat manajemen pemerintahan SBY-JK menghadapi banyak masalah sehingga terkesan lamban dalam melakukan perubahan-perubahan mendasar sebagaimana yang mereka dengung-dengungkan selama masa kampanye.
Di dalam rivalitas itu terkandung unsur kepentingan politik dan bisnis. Wakil Presiden sempat ikut pertarungan dalam Konvensi Partai Golkar untuk meraih kursi calon presiden. Di kubu Wapres, juga ada Menko Perekonomian yang ikut dalam pertarungan di arena yang sama. Keduanya kemudian melebur ke dalam kubu SBY-JK dan sudah barang tentu telah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menggapai ambisinya. Hal ini pulalah yang mungkin membuat posisi keduanya sangat istimewa dan memiliki daya tawar tinggi terhadap Presiden. Karena itu pula, mereka tampak sangat leluasa memanfaatkan posisinya untuk memperoleh keuntungan bagi kelompok usaha mereka maupun rekan dan kerabat dekatnya. Berbagai kunjungan ke luar negeri mereka manfaatkan untuk itu. Mereka sangat produktif dalam menandatangani MOU atas nama kerja sama ekonomi bilateral. Agresivitas itu terlihat, misalnya, dari kunjungan susulan Wakil Presiden ke Cina hanya berselang sebulan setelah kunjungan Presiden. Hal ini tak lazim dalam diplomasi, karena pada dasarnya Presiden dan Wakil Presiden adalah lembaga tunggal. Kalau hendak menindaklanjuti kunjungan, mengapa bukan menteri teknisnya saja yang dikirim.
Tarik-menarik kepentingan tampak pula dalam penempatan direksi dan komisaris di berbagai badan usaha milik negara (BUMN). Terkadang sedemikian sangat intensnya sehingga untuk kasus Pertamina, sebagai salah satu contoh, sampai sekarang belum juga menjadi kenyataan. Akibatnya, pembenahan di Pertamina tak bisa berjalan sesuai dengan harapan banyak pihak sehingga sedikit banyak turut memperkeruh penanganan krisis BBM.
Agaknya persoalan-persoalan di atas sangat mempengaruhi sinkronisasi gerak langkah kabinet. Koordinasi menjadi sangat kedodoran. Teramat kuat kesan bahwa Presiden, Wakil Presiden, dan para menterinya jalan sendiri-sendiri dengan alam pikiran yang berbeda-beda. Mereka teramat sering bersilang pendapat di depan publik, atau paling tidak menyampaikan pernyataan yang berbeda-beda kalau tak hendak dikatakan bertolak belakang. Beberapa di antaranya terang-terangan berbantahan atau bahkan saling menyalahkan. Misalnya, dalam suatu kunjungan di Bursa Efek Jakarta, Menko Perekonomian terang-terangan menuding Menteri Keuangan jarang menghadiri rapat koordinasi, padahal keduanya berkantor di gedung yang sama, cuma beda satu lantai.
Tak seperti daya endus beberapa petinggi negara terhadap peluang bisnis yang kelihatan sangat tajam, dalam hal kepedulian terhadap masalah-masalah struktural tampaknya tumpul. Banyak sekali pernyataan para menteri yang bernada menjengkelkan atau melecehkan. Masyarakat tak akan pernah lupa dengan pernyataan pongah Menko Perekonomian menanggapi protes atas kenaikan harga elpiji: ”Kalau enggak kuat beli gas, ya, pakai minyak tanah aja.” Satu contoh lagi pernyataan ”keblinger” muncul dari seorang menteri menanggapi kelangkaan minyak tanah pascakenaikan harga: ”Antre minyak biasa. Mau masuk bioskop pun antre.”
Dalam beberapa kasus, cara pandang Wakil Presiden dan beberapa menteri terhadap suatu permasalahan tak beda dengan saudagar yang memburu untung jangka pendek. Lihat saja pikiran di balik pemberian dana kompensasi tunai. Sesederhana ini: akibat kenaikan harga BBM, beban pengeluaran orang miskin bertambah Rp 60.000; kalau diberikan uang tunai Rp 100.00, berarti mereka untung. Berarti kenaikan harga BBM akan mengurangi jumlah orang miskin. Semua masalah dibuat gampang, bisa diatur dengan duit. Kalau disanggah bahwa masalah yang dihadapi sangat pelik, jawabannya kira-kira begini: ”Saya kan pengusaha, saya tahu apa yang harus saya lakukan.”
Jangan-jangan penetapan kenaikan harga BBM yang melebihi 100 persen juga didasarkan pada praktek dagang: menggertak dengan pasang harga tinggi, lalu terjadi tawar-menawar, dan akhirnya pemerintah mengoreksi besarnya kenaikan menjadi, katakanlah, 50 persen.
Entah karena tabiat yang kerap menggampangkan masalah, kemampuan antisipasi kabinet sangat lemah. Asumsi makro ekonomi yang melandasi penyusunan APBN sudah berkalikali diganti. Memperkirakan produksi minyak mentah tak becus, sehingga berakibat defisit APBN membengkak sebesar Rp 4 triliun. Jelas-jelas pertumbuhan ekonomi sedang melemah, pemerintah (dan juga DPR) ngotot tetap pada asumsi pertumbuhan 6 persen tahun ini. Baru saja satu minggu program kompensasi tunai dilaksanakan, masalah yang muncul ”segunung”, jutaan kartu miskin ditarik kembali. Ada pula seorang menteri yang terlalu percaya diri. Ia mendesak Bank Indonesia tak lagi menaikkan suku bunga karena rupiah sudah stabil, apalagi ada kucuran utang baru sebesar US$ 1,5 miliar.
Benar bahwa masalah yang kita hadapi sangat pelik sehingga terlalu naif untuk mengharapkan perbaikan mendasar dalam waktu cepat. Kita tak pernah menuntut perbaikan dalam sekejap, yang sifatnya semu, yang sekadar pelipur lara tapi maya. Harapan kita sederhana, yakni tunjukkan bahwa pemerintah tahu persis hendak dibawa ke mana negeri ini: ada konsistensi antara tujuan, visi-misi, strategi, perencanaan, penjadwalan, pengorganisasian, penganggaran, dan pelaksanaan. Mungkin kita tak bisa menuntut konsistensi, karena strategi saja pemerintah tak punya. Maka, bisa dimengerti kalau pemerintah tak punya prioritas yang tajam, sering mengemukakan pernyataan yang simpang-siur, dan saling menyalahkan.
Apakah kita mau begini-begini saja? Bertolak dari uraian di atas dan mengacu pada pengalaman setahun memerintah, Presiden sudah barang tentu telah memahami permasalahan dan ingin melangkah lebih sigap menghadapi pelbagai tantangan yang mungkin lebih berat selama sisa masa jabatannya.
Langkah segera yang kita yakin ditempuh Presiden ialah merancang-ulang manajemen. Diawali dengan menyusun strategi yang jitu dan mengganti menteri-menterinya dengan menggunakan kriteria: kredibel, kapabel, berkompeten, dan tak sarat dengan konflik kepentingan.
Perubahan harus berawal dari Presiden sendiri, terutama menyangkut gaya kepemimpinan yang ”mengambang”. Lembaga kepresidenan sepatutnya tunggal. Saling percaya antara Presiden dan Wakil Presiden harus dipulihkan. Masing-masing pihak hendaknya berbesar hati dan berlapang dada untuk melakukan langkah-langkah korektif. Presiden harus mengubah gaya kepemimpinannya dan dengan tegas memegang kendali pemerintahan secara efektif. Sementara itu, hendaknya Wakil Presiden berbesar hati untuk berada di belakang layar menyelesaikan masalah-masalah ekonomi yang kian menumpuk. Paling tidak, dalam dua tahun pertama ini tunjukkanlah bahwa pemimpin yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat betul-betul tulus bekerja maksimal demi kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa. Dengan berbekal kejujuran, insya Allah bisa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo