MESKI tak merangsang seseorang buat melakukan aksi seperti yang
dikerjakan Anang Adenansi di Banjarmasin (TEMPO, 5 Juni 1976,
Kota), perkara pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) kota Bandung
menyebabkan penduduknya menggerutu juga. Soal harga juga. Meski
kepala Humas Kodya Bandung Oekasah Suhandi sudah cukup capek
menegaskan harganya tak boleh lebih dari Rp 200 per KTP, toh
harga pasaran jadi Rp 300 - Rp 500. Bahkan di kalangan tingkat
atas, harga itu mencapai Rp 1000. Maklum mereka ini minta tahu
beres sampai di meja tamunya.
Suara gerutu pun sampai juga di koran-koran Bandung. Hingga
Walikota Utju Djunaedi cepat-cepat menghentikanmya akhir Mei
lalu. "Mencegah jangan sampai masyarakat dirugikan", ucap Utju.
"Pemda menanggapi sorotan masyarakat dan surat-kabar", ujar
Oekasah nimbrung. Dan tampaknya Walikota tak bisa berbuat lain.
Sebab seperti diperinci Oekasah, meminta tambahan harga itu
dirasa kurang layak. Karena dalam harga yang Rp 200 itu seantero
fihak yang repot mengurusi masyarakat ada bagiannya. Yaitu Rp
100 buat pemda Kodya Bandung, kantor Kepatihan Rp 10, Kecamatan
Rp 15, Rp 25 buat kantor Lingkungan (setingkat desa) dan sisanya
termasuk cukup besar, Rp 50 buat RW dan RT. "Karena bukan aparat
pemerintah, RT/RW dapat bagian lebih banyak", ucap Oekasah lagi.
Toh tambahan masih diminta juga.
Tapi Walikota Utju Djunaedi, perlu bertindak lebih jauh. Meski
belum sampai menindak si pelaku misalnya. Ia akan merombak
peraturannya. 'Paling lambat bulan Juni, akan keluar SK tentang
KTP yang baru", katanya. Belum ada perincian bagaimana SK baru
nanti akan mengatur per-KTP-an itu. Dan apakah mampu menyetop
praktek minta tambahan harga, Tapi yang terang pembuaan KTP
di zaman Otje Djundjunan tempo hari, dilakukan secara masal.
Seluruh warga kota dipotret sekaligus, dilaksanakan seorang
pemborong yang kabarnya berasal dari Bogor. Artinya ada
monopoli-monopolian. Hingga akibat buruk pun tak terhindarkan.
Yang penuh padat kantongnya cuma seorang pengusaha asal Bogor
itu. Yang lebih brengsek, ribuan data data penduduk saling
tertukar. Dan tatkala minta pembetulan, penduduk pula yang mesti
menanggung.
Hal begitu akan dirubah. Termasuk ongkos yang semula Rp 150
menjadi Rp 200. Ternyata kebrengsekan tetap terjadi. Mungkin
perlu sanksi yang keras, pemecatan misalnya. Sebab 507O dari
lebih 600 ribu warga Bandung yang mesti ber KTP, memang amat
menggoda buat perkara cari keuntungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini