Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Masih perlu ikut festival brengsek?

Dalam ffa ke-22 di pusan korsel, indonesia mengirim delegasi 48 orang termasuk dirjen rtf sumadi. penyelenggaraan dianggap paling brengsek, karena acaranya kacau, peserta ffa tidak ada yang menang.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA dewan Juri Festival Film Asia di Pusan, maju ke depan. Dari kantong jasnya dikeluarkan secarik kertas, lalu dibaca dengan lantangnya. Tapi para peserta malah kedengaran gaduh sekali. Ternyata para delegasi peserta FFA ke 22 ini tidak jelas dengan bahasa Inggeris yang diucapkan ketua juri. Pada hal yang dibaca, pengumuman para pemenang festival. Sehingga tanpa mengetahui siapa yang dipanggil, asal nama negaranya disebut dikirimlah salah satu wakilnya untuk naik panggung. Marini yang dipanggil beserta dengan wakil dari orea, Jepang dan Taiwan. merasa bingung ketika menerima piala. "Piala-piala itu sama dan tidak ada namanya", katanya. Baru kemudian diketahui: keempat-empatnya mendapat gelar yang sama. Tapi begitu Marini turun, ia dibisiki oleh salah seorang juri bahwa yang best sebetulnya dia. Hanya label nama best aktris serta piagamnya haru diberikan setelah Marini ada di Hotel. Di samping empat piala tadi, masih banyak lagi piala-piala yang diberikan pada semua negara peserta. Ada yang terima 3 buah, ada yang cuma satu piala juga yang sampai empat piala, dengan piala yang bentuknya sama semua. "Pokoknya ini pembagian permen coklat saja", kata Turino Junaidi. Rupanya panitia FFA Pusan ini tidak siap dengan piala untuk para pemenang festival. Menjelang penutupan. mereka baru kelabakan mencari toko yang jual piala. Untung saja masih ada toko yang jual dengan persediaan banyak. Konon harga pialanya yang berbentuk seperti kuil itu hanya Rp 5000. Delegasi Indonesia yang terdiri dari 48 orang, terdiri atas bintang, sutradara, produser, ketua KFT dan Dirjen RTF drs Sumadi. Ketua Delegasi dipercayakan pada Ny. Hadiyuwono. Dari 48 peserta, yang 15 orang dibiayai oleh Yayasan Nasional Festival Film Indonesia 7 orang oleh Departemen Penerangan dan selebihnya biaya sendiri. Mereka semuanya menginap di Hotel Pariwisata Kuk Dong, yang terletak di pinggir pantai. Hanya sayangnya jarak antara Hotel ke Pusan, memakan waktu sekitar satu jam perjalanan. Rombongan Indonesia yang termasuk delegasi paling besar ini, ketika sampai di ibukota Korea Selatan, Seoul, merasa sedikit canggung. Tidak ada penyambutan dari panitia, apalagi pengalungan bunga seperti lazimnya Indonesia kalau menerima tamu undangan. Semua persoalan duane dan lainnya diurus sendiri. "Kami datang tidak seperti undangan tapi septi turis saja". kata Turino yang sewaktu FFA di Jakarta menyambut semua tamu tamunya di tangga peiawat. Dari Seoul mereka menuiu ke Pusan yang jaraknya kurang lebih dari Jakarta ke Semarang. "Ini betul-betul Festival yang paling brengsek". kata Suman Jaya. Acara yang dianggap penting, seperti Sidang Dewan Direksi, tidak menghasilkan apa-apa. Para peserta tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya oleh ketua sidang. "Semuanya diputuskan sendiri", kata Turino. Ditambah lagi ketua sidang tidak menggunakan bahasa Inggeris, yang mengakibatkan waktunya habis hanya untuk menterjemahkan pidato-pidato ketua sidang. "Saya tidak mengerti, apa mereka terlalu nasionalis atau tidak bisa bahasa Inggeris", kata Sumardjono ketua KFT yang berhasil memimpin seminar Film Asia di Hongkong (dalam bahasa Inggeris) belum lama ini, dalam rangkaian FFA ke-22 juga. Keadaan panitia FFA Pusan yang sudah brengsek itu masih diganggu lagi oleh desas-desus pemboikotan oleh Jepang dan Taiwan, ketika mereka mendengar bahwa film dan artisnya tidak ada yang menang. Dari sinilah panitia FFA Pusan merubah rencana festival yang bersaing menjadi festival yang bersifat "kekeluargaan". Sehingga semua peserta mendapat piala tanpa harus mempertaruhkan film-film hasil karyanya. "Kami tidak mau masalah perfilman merusak politik negara", kata seorang panitia pada Marini. Karena, katanya, Korea Selatan ingin menarik simpati negara tetangga. Jengkel Kalau keadaan panitia Pusan sudah demikian kacaunya,maka keberangkatan delegasi Indonesia juga banyak mendapat tanggapan dari orang-orang film. Menurut pendaftaran Indonesia akan berangkat dengan 60 orang. Entah apa kemudian banyak yang mengundurkan diri, seperti Nico Pelamonia sebagai sutradara terbaik. Ratno Timoer sebagai best aktor FFI 1976 di Bandung mengundurkan diri sebagai peserta. Lukman Hakim Main sendiri satu hari sebelum berangkat masih mondar-mandir menanyakan paspor dan visanya. Sementara itu Parfi merasa jengkel pada delegasi Indonesia. Ketua delegasi sama sekali tidak memberitahukan siapa artis yang akan dibawa. "Kami sebagai wadah dari para artis berhak ahu siapa artis yang ikut. Sebab mereka mau tidak mau dalam tanggungjawab kauni. Ya kalau tidak ada apa-apa. Tapi kalau sampai ada hal-hal yang tidak beres dengan artis itu, tentu masyarakat akan cepat menyorotnya. Pada gilirannya Parfi yang kena getahnya", kata Ketua I Parfi Kusno Sudjarwadi. Melihat keadaan yang semacam ini ada sementara orang film yang menanyakan apa masih perlu Indonesia ikut aktif dalam FFA."Ya, kalau penyelenggaraannya masih brengsek lebin baik tidak usah ada FFA", kata Suman Jaya. Karena, kata Suman, penyelenggaraan festival yang brengsek semacam itu, hanya akan menghambur-hamburkan biaya saja. Tapi Sumardjono tidak setuju dengan alasan itu. Ia tetap ingin mempertahankan adanya FFA. "Bukan panitianya yang harus kita lihat, tapi tujuan festival itu yang penting", katanya. "Janganlah kebrengsekan itu yang menjadi alasan untuk tidak ikut FFA", kata Turino Junaidi, "melainkan makna dari festival". Sekarang ini festival, menurut Turino, mempunyai makna yang penting sekali. Bisa untuk arena pertemuan para artis, sutradara, produser yang kemudian dari pertemuan itu bisa timbul hal-hal yang baik. "Saling menukar pengalaman, bisa juga joint pembuatan film atau jual beli film sekaligus", kata Turino. Sumardjono menambahkan lagi, bahwa penyelenggaraan yang brengsek ini hanya sekedar proses dari "suatu negara berkembang". "Pada suatu saat festival ini akan sangat berarti", katanya. Insya Allah, deh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus