KETUA dewan Juri Festival Film Asia di Pusan, maju ke depan.
Dari kantong jasnya dikeluarkan secarik kertas, lalu dibaca
dengan lantangnya. Tapi para peserta malah kedengaran gaduh
sekali. Ternyata para delegasi peserta FFA ke 22 ini tidak jelas
dengan bahasa Inggeris yang diucapkan ketua juri. Pada hal yang
dibaca, pengumuman para pemenang festival. Sehingga tanpa
mengetahui siapa yang dipanggil, asal nama negaranya disebut
dikirimlah salah satu wakilnya untuk naik panggung. Marini yang
dipanggil beserta dengan wakil dari orea, Jepang dan Taiwan.
merasa bingung ketika menerima piala. "Piala-piala itu sama dan
tidak ada namanya", katanya. Baru kemudian diketahui:
keempat-empatnya mendapat gelar yang sama. Tapi begitu Marini
turun, ia dibisiki oleh salah seorang juri bahwa yang best
sebetulnya dia. Hanya label nama best aktris serta piagamnya
haru diberikan setelah Marini ada di Hotel.
Di samping empat piala tadi, masih banyak lagi piala-piala yang
diberikan pada semua negara peserta. Ada yang terima 3 buah,
ada yang cuma satu piala juga yang sampai empat piala, dengan
piala yang bentuknya sama semua. "Pokoknya ini pembagian permen
coklat saja", kata Turino Junaidi. Rupanya panitia FFA Pusan ini
tidak siap dengan piala untuk para pemenang festival. Menjelang
penutupan. mereka baru kelabakan mencari toko yang jual piala.
Untung saja masih ada toko yang jual dengan persediaan banyak.
Konon harga pialanya yang berbentuk seperti kuil itu hanya Rp
5000.
Delegasi Indonesia yang terdiri dari 48 orang, terdiri atas
bintang, sutradara, produser, ketua KFT dan Dirjen RTF drs
Sumadi. Ketua Delegasi dipercayakan pada Ny. Hadiyuwono. Dari 48
peserta, yang 15 orang dibiayai oleh Yayasan Nasional Festival
Film Indonesia 7 orang oleh Departemen Penerangan dan selebihnya
biaya sendiri. Mereka semuanya menginap di Hotel Pariwisata Kuk
Dong, yang terletak di pinggir pantai. Hanya sayangnya jarak
antara Hotel ke Pusan, memakan waktu sekitar satu jam
perjalanan. Rombongan Indonesia yang termasuk delegasi paling
besar ini, ketika sampai di ibukota Korea Selatan, Seoul, merasa
sedikit canggung. Tidak ada penyambutan dari panitia, apalagi
pengalungan bunga seperti lazimnya Indonesia kalau menerima tamu
undangan. Semua persoalan duane dan lainnya diurus sendiri.
"Kami datang tidak seperti undangan tapi septi turis saja".
kata Turino yang sewaktu FFA di Jakarta menyambut semua tamu
tamunya di tangga peiawat. Dari Seoul mereka menuiu ke Pusan
yang jaraknya kurang lebih dari Jakarta ke Semarang. "Ini
betul-betul Festival yang paling brengsek". kata Suman Jaya.
Acara yang dianggap penting, seperti Sidang Dewan Direksi, tidak
menghasilkan apa-apa. Para peserta tidak diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya oleh ketua sidang. "Semuanya diputuskan
sendiri", kata Turino. Ditambah lagi ketua sidang tidak
menggunakan bahasa Inggeris, yang mengakibatkan waktunya habis
hanya untuk menterjemahkan pidato-pidato ketua sidang. "Saya
tidak mengerti, apa mereka terlalu nasionalis atau tidak bisa
bahasa Inggeris", kata Sumardjono ketua KFT yang berhasil
memimpin seminar Film Asia di Hongkong (dalam bahasa Inggeris)
belum lama ini, dalam rangkaian FFA ke-22 juga.
Keadaan panitia FFA Pusan yang sudah brengsek itu masih diganggu
lagi oleh desas-desus pemboikotan oleh Jepang dan Taiwan, ketika
mereka mendengar bahwa film dan artisnya tidak ada yang menang.
Dari sinilah panitia FFA Pusan merubah rencana festival yang
bersaing menjadi festival yang bersifat "kekeluargaan". Sehingga
semua peserta mendapat piala tanpa harus mempertaruhkan
film-film hasil karyanya. "Kami tidak mau masalah perfilman
merusak politik negara", kata seorang panitia pada Marini.
Karena, katanya, Korea Selatan ingin menarik simpati negara
tetangga.
Jengkel
Kalau keadaan panitia Pusan sudah demikian kacaunya,maka
keberangkatan delegasi Indonesia juga banyak mendapat tanggapan
dari orang-orang film. Menurut pendaftaran Indonesia akan
berangkat dengan 60 orang. Entah apa kemudian banyak yang
mengundurkan diri, seperti Nico Pelamonia sebagai sutradara
terbaik. Ratno Timoer sebagai best aktor FFI 1976 di Bandung
mengundurkan diri sebagai peserta. Lukman Hakim Main sendiri
satu hari sebelum berangkat masih mondar-mandir menanyakan
paspor dan visanya. Sementara itu Parfi merasa jengkel pada
delegasi Indonesia. Ketua delegasi sama sekali tidak
memberitahukan siapa artis yang akan dibawa. "Kami sebagai wadah
dari para artis berhak ahu siapa artis yang ikut. Sebab mereka
mau tidak mau dalam tanggungjawab kauni. Ya kalau tidak ada
apa-apa. Tapi kalau sampai ada hal-hal yang tidak beres dengan
artis itu, tentu masyarakat akan cepat menyorotnya. Pada
gilirannya Parfi yang kena getahnya", kata Ketua I Parfi Kusno
Sudjarwadi.
Melihat keadaan yang semacam ini ada sementara orang film yang
menanyakan apa masih perlu Indonesia ikut aktif dalam FFA."Ya,
kalau penyelenggaraannya masih brengsek lebin baik tidak usah
ada FFA", kata Suman Jaya. Karena, kata Suman, penyelenggaraan
festival yang brengsek semacam itu, hanya akan
menghambur-hamburkan biaya saja. Tapi Sumardjono tidak setuju
dengan alasan itu. Ia tetap ingin mempertahankan adanya FFA.
"Bukan panitianya yang harus kita lihat, tapi tujuan festival
itu yang penting", katanya. "Janganlah kebrengsekan itu yang
menjadi alasan untuk tidak ikut FFA", kata Turino Junaidi,
"melainkan makna dari festival". Sekarang ini festival, menurut
Turino, mempunyai makna yang penting sekali. Bisa untuk arena
pertemuan para artis, sutradara, produser yang kemudian dari
pertemuan itu bisa timbul hal-hal yang baik. "Saling menukar
pengalaman, bisa juga joint pembuatan film atau jual beli film
sekaligus", kata Turino. Sumardjono menambahkan lagi, bahwa
penyelenggaraan yang brengsek ini hanya sekedar proses dari
"suatu negara berkembang". "Pada suatu saat festival ini akan
sangat berarti", katanya. Insya Allah, deh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini