Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amerika Serikat dan Indonesia punya kemiripan, juga perbedaan, soal akses terhadap informasi. Amerika memiliki Undang-Undang Kebebasan Informasi (Free-dom of Information Act/FOIA), yang disahkan pada 1965; Indonesia meloloskan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik 43 tahun sesudahnya. Tapi, menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, Amerika punya sejumlah lembaga yang berfokus membuka informasi yang masa retensinya kedaluwarsa. ”Ini yang membuat informasi bisa terbuka dan dibuka secara periodik di Amerika,” katanya, Senin pekan lalu.
Salah satu lembaga yang berfokus membuka dokumen rahasia yang masa retensinya sudah habis adalah National Security Archive (NSA), yang ada di bawah naungan George Washington University dan berkantor pusat di Washington, DC. NSA secara rutin meminta kepada sejumlah lembaga di Amerika, termasuk badan intelijennya, CIA, membuka arsip yang menurut undang-undang boleh dibuka untuk umum.
Agustus lalu, misalnya, NSA mengajukan gugatan untuk membuka dokumen soal praktik penyiksaan di penjara rahasia CIA di Thailand yang melibatkan Gina Haspel, Direktur CIA saat ini. Hasilnya, ada 16 dokumen rahasia yang dibuka dan dimuat dalam Briefing Paper #636 berjudul Gina Haspel CIA Torture Cables Declassified dan dirilis di situs NSA pada 10 Agustus 2018.
Menurut Komisioner Komisi Informasi Publik 2013-2017, Dyah Aryani Prastyastuti, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sebenarnya mengatur soal informasi publik yang wajib dibuka secara serta-merta dan harus tersedia setiap saat ketika diminta. Namun, kata dia, ada juga informasi yang dikecualikan. Pasal 17 Undang-Undang KIP mengatur apa saja yang dikecualikan, antara lain informasi terkait dengan proses penegakan hukum, hak cipta, rahasia pribadi, kekayaan alam, ketahanan ekonomi, dan pertahanan-keamanan.
Permintaan informasi diajukan ke tiap lembaga tempat dokumen atau informasi itu berada. Jika ditolak dengan alasan informasi itu diklasifikasikan sebagai rahasia, peminta informasi dipersilakan mengajukan gugatan ke Komisi Informasi. ”Komisi Informasi yang akan menentukan, apakah tidak dibukanya informasi itu demi kemaslahatan umum atau justru lebih besar manfaatnya kalau dibuka,” ujar Dyah, Rabu pekan lalu.
Namun mekanisme yang disediakan melalui Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik itu dinilai jauh dari memadai untuk bisa membuka sejumlah informasi seperti yang terjadi di Amerika. Di Negeri Abang Sam, informasi dibuka bukan hanya karena diminta, tapi bisa langsung dibuka karena masa retensinya sudah habis. Salah satu dokumen rahasia yang dibuka pada tahun 2000 adalah kabel diplomatik Kementerian Luar Negeri Amerika dengan kedutaan besarnya dalam buku Foreign Relations of the United States (FRUS), 1964-1968, Volume XXVI, Indonesia; Malaysia-Singapore; Philippines.
Menurut peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, ada sejumlah problem soal akses informasi ini di Indonesia. Regulasi soal informasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Undang-Undang Arsip dan Undang-Undang Intelijen mengatur masa sebuah dokumen tak dibuka kepada publik (retensi) terkait dengan keamanan adalah 25 tahun. Tapi masalahnya adalah pada keleluasaan kewenangan klasifikasi untuk menutup suatu informasi. Yang belum jelas dari regulasi Indonesia, kata Wah-yudi, ”Apa indikator untuk menyatakan informasi bisa dinyatakan rahasia, bagaimana perpanjangan masa retensinya, dan siapa institusi yang menyatakan habisnya masa retensi, siapa yang mengumumkan, bagaimana prosedurnya.”
Meski sudah ada undang-undang yang mengatur masa retensi, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, problem berikutnya adalah pada realisasinya. ”Undang-Undang Kearsipan mengatur masa kedaluwarsa sampai 30 tahun, tapi sepertinya tak pernah dilakukan,” ujar mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini.
Menurut Wahyudi, keleluasaan yang dimiliki lembaga untuk melakukan klasifikasi buat menutup suatu informasi menjadi masalah utama untuk mengakses informasi terkait dengan masalah keamanan. ”Lamanya berada di masa ’tertutup’ sepanjang periode otoritarian menjadi salah satu faktor belum terbukanya institusi pemerintah, khususnya aktor-aktor keamanan, terhadap informasi yang mereka miliki,” katanya. ”Rezim keterbukaan informasi umurnya masih sangat muda.”
Usman Hamid menyebutkan praktik ini sebagai bukti bahwa kita masih ”mewarisi rezim keamanan nasional era Perang Dingin”. Perang Dingin adalah istilah untuk menggambarkan situasi perang tidak terbuka pada kurun setelah Perang Dunia hingga akhir 1990-an antara blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan kubu Uni Soviet, yang kini menjadi Rusia.
Asvi Warman Adam mengatakan belum banyaknya dokumen dan informasi sensitif karena belum ada lembaga yang berfokus membuka informasi rahasia yang sudah kedaluwarsa seperti NSA di Amerika. Selain itu, kata dia, tak banyak peneliti yang berusaha menantang praktik yang sudah berlangsung lama ini. Itu sebabnya belum banyak orang yang berani meneliti, misalnya, peristiwa politik 1965. ”Kalau kita baca skripsi mahasiswa, jarang sekali membahas soal pelanggaran HAM. Mungkin khawatir dosen tak ada yang mau membimbingnya,” ujarnya. Asvi menyebutkan fenomena ini sebagai salah satu buah dari ketakutan akibat stigma buruk di masa Orde Baru.
Asvi mengatakan Orde Baru memang melakukan tindakan keras yang membuat orang jeri untuk melanggar tabu lama ini. Salah satu contohnya kasus tahun 1988 saat tiga pemuda di Yogyakarta menjual buku sastrawan kiri Pramoedya Ananta Toer. ”Mereka hanya jual buku Pram, tapi dihukum lebih dari lima tahun dan dijerat dengan Undang-Undang Subversi,” katanya.
Upaya mendapatkan informasi soal keamanan memang pernah dicoba melalui mekanisme Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Salah satunya dilakukan Kontras, Setara Institute, dan Imparsial pada 2014. Ketiganya saat itu meminta informasi soal Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira atas sidang Dewan Kehormatan Perwira dalam perkara penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998 yang melibatkan Letnan Jenderal Prabowo Subianto saat menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.
Menurut Dyah Ariyani, sebagai bagian dari proses sidang, komisioner yang menangani kasus tersebut kemudian mendatangi Markas Besar Tentara Nasional Indonesia untuk mengecek keberadaan dokumen Dewan Kehormatan Perwira dan hasilnya yang berupa surat pemecatan terhadap Panglima Kostrad saat itu. ”Nomor suratnya ada, tapi isinya beda,” ujar Dyah. Dalam putusan kasus tersebut, 29 Juli 2015, akhirnya komisioner menyebutkan tak bisa menyatakan informasi itu terbuka atau tertutup karena dokumennya tidak ada.
Upaya serupa dengan hasil kurang-lebih sama terjadi saat Kontras, sejumlah lembaga hak asasi, dan istri Munir, Suciwati, menggugat Kementerian Sekretariat Negara pada 2016. Mereka menggugat melalui Komisi Informasi dan meminta Kementerian Sekretariat Negara membuka kepada publik soal laporan tim pencari fakta (TPF) dalam kasus pembunuhan aktivis hak asasi Munir Said Thalib. Sebab, Kontras dkk yakin Kementerian Sekretariat Negara memiliki laporan itu.
Dalam putusannya, 10 Oktober 2016, komisioner memerintahkan Kementerian Sekretariat Negara mengumumkan hasil TPF itu. Tak puas atas putusan itu, Setneg mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam sidang 16 Februari 2017, hakim PTUN membatalkan putusan Komisi Informasi. Salah satu pertimbangannya, kata hakim, Sekretariat Negara mengaku tak memiliki laporan itu.
ABDUL MANAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo