Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bradley Simpson punya ketertarikan lama terhadap apa yang diketahui, dan juga dilakukan, pemerintah Amerika Serikat dalam sejumlah peristiwa penting Indonesia pada masa lalu. Dalam sebuah surat elektronik pada Mei lalu, associate professor sejarah dan kajian Asia di University of Connecticut, Amerika, itu memberi tahu Tempo bahwa ia sedang mempersiapkan briefing book (buku ringkas) berdasarkan sekitar 500 dokumen rahasia Amerika yang dihasilkan dalam kurun 1997-1999 terkait dengan krisis keuangan di Asia dan jatuhnya presiden yang berkuasa 32 tahun, Soeharto.
Kajian Simpson itu akhirnya terbit dalam bentuk Briefing Book #633 berjudul US Promoted Close Ties to Indonesian Military as Suharto’s Rule Came to an End in Spring 1998 pada 24 Juli 2018. Ada 36 dokumen rahasia, termasuk dari Badan Intelijen Pertahanan, dalam buku yang diunggah di situs National Security Archive (NSA), lembaga di bawah George Washington University, itu. Isi dokumen antara lain memuat percakapan Presiden Amerika Bill Clinton dengan Soeharto, diplomat Amerika dengan aktivis mahasiswa, dan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Prabowo Subianto.
Itu bukan buku ringkas pertama Bradley Simpson yang berisi dokumen rahasia milik Amerika. Pada 17 Oktober 2017, ia merilis 34 dokumen serupa yang berasal dari kawat diplomatik Kedutaan Amerika di Jakarta ke kantor Kementerian Luar Negeri di Washington, DC. Briefing Book #607 berjudul US Embassy Tracked Indonesia Mass Murder 1965 itu memuat informasi soal apa saja yang diketahui Amerika sebelum dan sesudah peristiwa 1965, yang kemudian berujung pada perburuan anggota Partai Komunis Indonesia dan naiknya Soeharto ke kursi presiden.
Menurut Simpson, dua buku ringkas itu merupakan hasil kajian atas sekitar 60 ribu halaman dokumen rahasia Amerika tentang Indonesia mulai 1970-an hingga 2001 yang dimilikinya. Dokumen itu merupakan hasil sekitar 500 kali permintaan dokumen rahasia terkait dengan Indonesia kepada sejumlah lembaga di Amerika, termasuk dinas rahasia negara itu, CIA. Tentu saja itu sebagian kecil dari ”harta karun” informasi milik Amerika tentang Indonesia. ”Meskipun kami telah mendeklasifikasi banyak dokumen, ribuan halaman ditolak diberikan kepada kami, atau sebagian besar telah dihapus atau dikeluarkan oleh agen peninjau (yang bertugas menilai informasi atau dokumen rahasia boleh dibuka atau tidak),” kata Simpson kepada Tempo, Senin dua pekan lalu.
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa negara raksasa dunia Amerika Serikat memiliki dan (masih) menyimpan banyak dokumen tentang Indonesia masa lalu. Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, ada alasan politik yang membuat Amerika memiliki banyak informasi dan terlibat di Indonesia. Ia memberi contoh peristiwa 1965. ”Amerika kan punya kepentingan terhadap Indonesia waktu itu karena masih dalam suasana Perang Dingin. Mereka menghadapi Vietnam Utara yang saat itu dikuasai komunis. Amerika tak ingin Indonesia bernasib sama,” ujarnya, Selasa pekan lalu.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Amerika juga mempunyai kepentingan besar terhadap Indonesia karena memiliki aset ekonomi tidak kecil. Antara lain, sejumlah perusahaan Amerika beroperasi di Indonesia. Freeport, yang mengoperasikan ladang tambang di Papua, salah satunya. ”Perusahaan Amerika yang berada di mana pun, yang menyumbang bagi pendapatan nasional, diperlakukan sebagai aset nasional yang keamanan dan keberlangsungannya harus dijaga,” kata Usman, Senin pekan lalu.
Memang disadari bahwa Amerika bukan satu-satunya pihak yang punya kepentingan di Indonesia. Menurut Asvi Warman Adam, negara lain yang juga punya kepentingan besar di Indonesia adalah Inggris dan Jepang. Namun Kedutaan Amerika punya petugas cukup banyak dibandingkan dengan negara lain. Asvi mengatakan jumlah diplomat Amerika di Indonesia pada masa kritis seperti 1965 dikurangi karena alasan keselamatan. ”Tapi jumlah personel intelijennya, CIA, dipertahankan,” ujarnya.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, menyatakan ihwal banyaknya dokumen Amerika tentang Indonesia karena negara itu memiliki program Total Information Awareness. ”Program ini mendorong mereka melakukan pengumpulan informasi dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, sejak dulu,” katanya. Usman menambahkan, Kedutaan Amerika juga memiliki pencatatan dan pengarsipan rapi, entah itu yang dihasilkan dalam pertemuan formal ataupun informal. ”Pengarsipannya cukup baik, terlepas itu digunakan untuk kepentingan apa oleh mereka,” ucap Usman.
Faktor penting lain yang tak bisa diabaikan yang membuat cukup banyak dokumen yang sebelumnya tersembunyi rapi di lemari-lemari arsip rahasia akhirnya terbuka untuk umum adalah Undang-Undang Kebebasan Informasi (Freedom of Information Act), yang disahkan Kongres pada 1965. ”Undang-undang itu menjamin akses publik ke dokumen dan informasi pemerintah serta menyediakan prosedur bagi warga, jurnalis, dan lainnya untuk meminta informasi tersebut dari lembaga pemerintah lokal, negara bagian, dan federal,” kata Bradley Simpson.
Undang-undang inilah yang bisa dipakai untuk memaksa pemerintah Amerika bersikap transparan kepada warganya karena menjamin akses publik ke dokumen dan informasi pemerintah. Juga menyediakan prosedur bagi warga, jurnalis, dan pihak lain untuk meminta informasi tersebut. ”Ini adalah salah satu mekanisme transparansi yang paling penting yang kita miliki di Amerika dan telah digunakan untuk mengungkap banyak topik yang mungkin hendak disembunyikan pemerintah, seperti keterlibatan CIA dalam penyiksaan setelah peristiwa 11 September 2001,” ujar Simpson.
Dalam Undang-Undang Kebebasan Informasi, sejumlah lembaga publik Amerika, termasuk CIA, juga punya kewajiban untuk membuka sejumlah file yang sudah melewati masa kedaluwarsa. Umumnya masa kedaluwarsa file adalah 30 tahun dan bisa diperpanjang. Salah satu pembukaan rahasia cukup masif dilakukan Kementerian Luar Negeri Amerika atas dokumen yang dihasilkan pada 1964-1968. Dokumen itu dibuka pada tahun 2000, yang dibukukan menjadi Foreign Relations of the United States (FRUS), 1964–1968, Volume XXVI, Indonesia; Malaysia-Singapore; Philippines.
Selain dokumen FRUS, pembukaan dokumen rahasia lain yang menarik perhatian dunia adalah file penjelasan ringkas harian untuk presiden (President Daily Brief-ing/PDB) yang dilakukan agen CIA kepada Presiden Amerika. File PDB selama masa pemerintahan John F. Kennedy (1961-1963) dan Lyndon Johnson (1963-1969) dibuka pada 15 September 2015. PDB masa pemerintahan Richard Nixon (1969-1974) dan Gerald Ford (1974-1977) dibuka pada 24 Agustus 2016 di situs milik CIA. PDB yang memuat situasi Indonesia sekitar 1965 terdapat dalam periode Johnson.
Pembukaan dokumen rahasia ke publik itu tak selalu berjalan mulus. Menurut National Security Archive (NSA), dokumen arsip FRUS itu sempat terhambat dirilis karena ada upaya CIA dan Kementerian Luar Negeri mengulur publikasi FRUS 1964-1968, Volume XXVI, Indonesia; Malaysia-Singapore; Philippines. Dokumen ini memuat sejumlah hal tentang Indonesia, termasuk apa yang dilakukan Amerika pada masa-masa krisis politik 1965. Padahal, tulis NSA, ”Dokumen-dokumen (FRUS Volume XXVI) tersebut termasuk volume yang secara resmi sudah dibuka pada 1998 dan 1999.”
Meski sudah dirilis ke publik, informasi dalam dokumen itu tak selalu terbuka semuanya. Salah satu contohnya dokumen telegram dari Kedutaan Amerika di Indonesia yang saat itu dipimpin Marshall Green kepada Wakil Menteri Luar Negeri William Bundy pada 1 Desember 1965. Dalam dokumen itu tertulis, ”Ini adalah konfirmasi awal bahwa kita memberi Malik 50 juta rupiah sesuai dengan permintaannya untuk aktivitas Gerakan Kap-Gestapu.” Tapi, dalam paragraf itu, masih ada satu setengah baris teks berisi sumber informasi yang diblok alias masih dirahasiakan.
Itu pula yang dihadapi Bradley Simpson ketika mendapatkan dokumen Amerika tentang krisis Indonesia 1997-1998. Salah satu dokumen yang dibuka adalah Telegram 002228 dari Kedutaan Amerika di Jakarta ke Washington. Dokumen yang diberi nama ”Congressional Staff Delegations Visit with Pro-Reform Activists” itu berstatus rahasia (confidential). Dokumen itu berisi hasil percakapan staf delegasi Kongres Amerika saat bertemu dengan tokoh oposisi senior pada 13 April 1998.
Menurut telegram itu, topik yang dibahas antara lain soal rencana pemberian paket utang dari Dana Moneter Internasional (IMF), reformasi politik, meningkatnya jumlah orang hilang, hubungan Amerika-Indonesia, dan aktivisme mahasiswa. Dokumen menyebutkan para peserta diskusi setuju paket IMF akan menguntungkan Soeharto dalam jangka pendek, tapi mungkin akan menantang kekuasaannya dalam jangka panjang.
Namun dalam dokumen itu terdapat identitas ”sumber” informasi yang dihapus dengan cara diblok dengan warna putih. Ada juga hasil diskusi diplomat Amerika dengan Abdurrahman Wahid (kemudian menjadi presiden) yang sebagian besar isinya tak bisa diketahui karena diblok putih alias informasinya masih dirahasiakan.
Memang tak semua dokumen ada bagian yang disensor. Salah satunya Telegram 006622 dari Jakarta ke Washington. Telegram itu berisi percakapan Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Stanley Roth dengan Prabowo Subianto, saat itu Komandan Jenderal Kopassus, pada 6 November 1997. Tak ada kata atau kalimat yang diedit atau di-blokir dalam dokumen enam halaman itu.
Menurut Bradley Simpson, undang-undang memang memungkinkan ada informasi yang tak dibuka alias dirahasiakan. Pengecualian itu antara lain berlaku untuk informasi yang berkaitan dengan keamanan nasional, rahasia dagang, informasi pribadi, lembaga keuangan, informasi geologi, atau informasi yang dikecualikan oleh undang-undang lain. Menurut Simpson, klausul ”pengecualian” itulah yang kerap dipakai lembaga Amerika untuk menolak membuka informasi. ”Jika dokumen atau bagian dari dokumen dirahasiakan, masih ada opsi ’banding’ dan meminta peninjauan ulang, yang terkadang menghasilkan lebih banyak informasi yang dirilis,” kata Simpson.
Simpson berharap informasi dari dokumen rahasia itu bermanfaat, termasuk mendukung kerja orang Indonesia yang berusaha mengklarifikasi fakta dan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi selama era Soeharto. ”Karena Amerika memainkan peran penting dalam membantu Soeharto berkuasa selama 32 tahun, saya merasa bahwa orang Amerika seperti saya memiliki kewajiban khusus untuk mendukung para pendukung HAM di Indonesia,” ujarnya.
Bagi Asvi Warman Adam, upaya pembukaan dokumen seperti yang dilakukan Brad-ley Simpson atau Jess Melvin yang dituangkan dalam buku The Army and The Indonesian Genocide sangat bermanfaat untuk ”mengungkap sejarah dan memberikan bukti-bukti baru yang bisa meruntuhkan asumsi selama ini soal peristiwa 1965”. Menurut dia, asumsi umum soal pembantaian anggota PKI setelah 1965 adalah akibat konflik horizontal lantaran kekejaman partai komunis itu.
Melvin, dalam buku yang terbit pada 2018 itu, meninjau peristiwa 1965 berdasarkan kajian terhadap sekitar 3.000 arsip badan intelijen militer Indonesia yang berada di Banda Aceh. Dia menyebutkan temuan itu mengindikasikan bahwa pembunuhan 1965-1966 dapat dipahami sebagai kasus genosida seperti yang didefinisikan oleh Konvensi Genosida tahun 1948.
Wahyudi Djafar menyebutkan dokumen yang baru dibuka itu bisa juga untuk melengkapi data dan informasi yang berhubungan dengan upaya penyelesaian kasus HAM masa lalu. ”Khususnya yang terjadi menjelang berakhirnya kekuasaan Soeharto, seperti kasus penghilangan orang secara paksa 1997/1998, tragedi Mei 1998, serta peristiwa Trisakti dan Semanggi I,” katanya. Usman Hamid menambahkan, ”Pembukaan dokumen baru itu bisa menambah pengetahuan bukan hanya sejarawan, tapi juga masyarakat umum dalam menengok masa lalunya.”
ABDUL MANAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo