Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berkhidmat kepada Kamerad Xi Jinping

Pemerintah Cina dituding mengurung dan mencuci otak kaum Uighur di kamp-kamp rahasia. Kebijakan diskriminatif terhadap komunitas minoritas muslim.

22 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga Uighur di kawasan Urumqi, Xinjiang, Cina, Mei 2014.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalimat pujian itu meluncur bertubi-tubi dari mulut ribuan orang Uighur. Di dalam kamp-kamp rahasia, tiada hari bagi mereka tanpa mengagungkan Presiden Cina Xi Jinping. ”Hidup, Xi Jinping! Xi Jinping hebat! Semoga dia hidup 10 ribu tahun!”

Kepada Partai Komunis Cina dan sosialisme, mereka juga bermadah. ”Partai Komunis hebat! Tidak ada Tuhan. Saya tidak percaya Tuhan. Saya percaya kepada Partai Komunis,” kata orang-orang Uighur itu serempak sambil berbaris dengan raut muka kosong.

Abdusalam Muhemet masih mengingat hari-hari yang dijalaninya selama mendekam di kamp pendidikan ulang atau reedukasi di pinggiran Kota Hotan, Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang, Cina. Muhemet adalah seorang muslim Uighur. Pria 41 tahun ini dibebaskan beberapa waktu lalu setelah ia dan ratusan orang lainnya ”disekolahkan” selama dua bulan di kamp tersebut.

Dari luar, kamp yang pernah dihuni Muhemet tampak gagah. Gedung abu-abu enam lantai itu dikelilingi pagar kawat berduri. Pada dinding depannya terpampang tulisan dalam aksara Mandarin dan Arab besar-besar berwarna merah yang artinya ”Pusat Transformasi Melalui Pendidikan Terkonsentrasi”.

Di kamp itu, para tahanan menghabiskan hari-hari mereka mengikuti program indoktrinasi yang intensif. Menurut Muhemet, mereka dipaksa mendengarkan rekaman pidato Xi Jinping tentang dogma politik yang berdurasi tiga jam, menyanyikan lagu-lagu pujian untuk Partai Komunis Cina, hingga menulis esai ”kritik diri”. Semua dilakukan dalam format pelatihan militer untuk mengikis keyakinan Islam para tahanan.

Uighur adalah etnis minoritas muslim berbahasa Turki di Xinjiang. Dalam laporan terbarunya, Human Rights Watch memperkirakan ada sekitar sejuta orang Uighur dan etnis muslim lain yang dikurung di kamp-kamp reedukasi, yang konon jumlahnya mencapai ratusan di Xinjiang.

Laporan ini terutama didasarkan pada wawancara dengan 58 bekas penduduk Xinjiang, termasuk 5 bekas tahanan dan 38 kerabat tahanan. Di antara mereka yang diwawancarai, 19 orang telah hengkang dari Xinjiang pada Januari 2017 akibat mengalami trauma. ”Para responden berasal dari semua 14 prefektur di Xinjiang,” tulis Human Rights Watch, awal bulan ini.

Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial merespons laporan tersebut dengan mendesak pemerintah Cina segera membebaskan para tahanan. Wakil Ketua Komisi PBB Gay McDougall mengatakan Beijing menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap kaum Uighur atas nama memerangi ekstremisme agama. ”Cina telah mengubah Xinjiang menjadi kamp tawanan masif yang diselimuti rahasia,” ucapnya di Jenewa, Swiss.

Abdusalam Muhemet sependapat dengan PBB. ”Kamp-kamp itu bukan tempat untuk menyingkirkan ekstremisme,” ujarnya, seperti diberitakan The New York Times. Menurut Muhemet, pemerintah Cina mendirikan kamp-kamp reedukasi untuk menghapus identitas Uighur, yang oleh Beijing dianggap sebagai ancaman. ”Tempat itu hanya akan menumbuhkan perasaan dendam.”

Alasan penahanan orang-orang Uighur memang tidak pernah jelas. Muhemet, misalnya, mengatakan polisi menahannya karena ia kedapatan membaca ayat Al-Quran dalam sebuah acara pemakaman. Polisi, yang memang telah bertahun-tahun mengawasi ketat setiap sendi kehidupan kaum Uighur di Xinjiang, menangkap Muhemet dan beberapa orang lain. Tanpa tuduhan pidana, ia dijebloskan ke kamp di luar Hotan, kota oasis kuno di Gurun Taklamakan.

Seorang bekas tahanan di kamp lain yang enggan dikutip namanya mengatakan ia setiap hari harus menjalani sesi ”koreksi diri”. ”Saya seorang pengkhianat, seorang separatis, seorang teroris,” katanya membacakan sebuah teks berulang kali. ”Xi Jinping hebat! Partai Komunis hebat! Saya pantas dihukum karena tidak memahami bahwa hanya Presiden Xi dan Partai Komunis yang dapat menolong saya,” ucap perempuan yang mendekam di kamp reedukasi pada musim gugur lalu tersebut, seperti diberitakan The Globe and Mail.

Tidak ada pilihan bagi para tahanan selain tunduk. ”Mereka yang tidak menaati aturan, menolak menjalankan perintah, terlibat perkelahian, atau terlambat ikut sesi bakal diborgol pergelangan tangan dan kakinya hingga 12 jam,” kata Kayrat Samarkand, 30 tahun, yang pernah ditahan selama tiga bulan di sebuah kamp di Karamay, seperti diberitakan The Washington Post.

Menurut Samarkand, ”kejahatannya” adalah karena dia muslim dan pernah pergi ke Kazakstan. Toh, ia tetap dijebloskan ke kamp reedukasi. Selama ”ditatar”, ia menempati ruangan mirip sel penjara bersama 14 tahanan pria. Dalam sehari, mulai pukul 6 pagi hingga menjelang tengah malam, tiap tahanan harus menjalani berbagai sesi, yang mereka sebut tekanan psikis. Mereka yang ogah-ogahan bisa diganjar tidak mendapat jatah makan atau dihukum fisik.

Rezim komunis Cina mengontrol ketat pengamanan di Xinjiang menyusul naiknya angka kekerasan di sana. Pada 2009, kerusuhan di ibu kota Urumqi menewaskan 200 orang. Sederet insiden mematikan, termasuk serangan bom dan penikaman massal di sebuah stasiun kereta api yang menewaskan 33 orang, pernah menimpa Xinjiang pada 2013 dan 2014. Di bawah kendali Xi Jinping, saat itu perdana menteri, Beijing menganggap rentetan serangan tersebut sebagai aksi terorisme. Cina menuding Gerakan Pembebasan Turkistan Timur, kelompok bersenjata yang berbasis di Xinjiang dan dicap sebagai ekstremis Islam, sebagai dalang penyerangan.

Organisasi non-pemerintah Pembela Hak Asasi Manusia Cina menyatakan kebijakan Beijing terhadap komunitas Uighur di Xinjiang mengeras sejak Mei 2014. Saat itu Beijing melancarkan ”Kampanye Melawan Kebrutalan Terorisme”. Sejak itu, jumlah orang Uighur yang ditangkap secara resmi telah meningkat tiga kali lipat ketimbang lima tahun sebelumnya. Mereka dibui di pusat-pusat penahanan dan penjara resmi serta kamp-kamp reedukasi, yang tidak memiliki dasar hukum.

Cengkeraman rezim komunis makin intensif pada akhir 2016, saat Sekretaris Partai Komunis Cina, Chen Quanguo, dipindahtugaskan dari Wilayah Otonomi Tibet ke Xinjiang. Beijing menunjuk Chen setelah pria 63 tahun itu sukses ”menaklukkan” Tibet, wilayah otonomi lainnya yang juga kerap bergolak. Chen bersumpah memburu para separatis Uighur.

Masalahnya, kebijakan keras Beijing tidak hanya berimbas pada sekitar 11 juta orang Uighur. Etnis Kazakh dari Kazakstan, yang umumnya juga muslim dan kerap wira-wiri ke Xinjiang, pun terkena getahnya. Omer Bekali, 42 tahun, misalnya, harus mendekam selama tujuh bulan di kantor polisi dan sebulan di kamp reedukasi di dekat Karamay, utara Xinjiang. Ia dicokok polisi setelah mengunjungi ibunya di Turpan, Xinjiang.

Selama di kamp, pengusaha biro perjalanan wisata yang telah menjadi warga negara Kazakstan ini dicekoki ulang ”budaya Cina” serta dipaksa makan daging babi dan mengkonsumsi minuman beralkohol, yang haram bagi muslim. Jika menolak, ia dipaksa berdiri lima jam menghadap dinding. Sepekan kemudian, ”Saya dikirim ke sel isolasi tanpa diberi makan selama 24 jam,” ujar Bekali.

Setelah 20 hari di kamp, Bekali pernah ingin melakukan bunuh diri. ”Tekanan psikologisnya sangat besar. Anda harus mengkritik diri sendiri, mencela pemikiran dan kelompok etnis Anda sendiri,” ucapnya. Bekali dan 10 muslim Kazakh lain akhirnya dibebaskan, akhir tahun lalu, setelah pemerintah Kazakstan turun tangan melobi Beijing.

Pemerintah Cina membantah keras tudingan Human Rights Watch. ”Warga Xinjiang, termasuk orang-orang Uighur, menikmati kebebasan dan hak yang sama,” kata Hu Lianhe, pejabat teras Partai Komunis Cina. Menurut dia, orang-orang Uighur dimasukkan ke ”pusat-pusat pelatihan” karena terbukti melakukan pelanggaran.

Namun Liga Pemuda Komunis cabang Xinjiang, perpanjangan tangan Partai Komunis Cina, pernah membenarkan tindakan keras Beijing terhadap kaum Uighur. Menurut mereka, kebijakan itu penting untuk memberantas ekstremisme dan kelompok separatis. ”Pelatihan ini untuk menyembuhkan penyakit ideologis.”

MAHARDIKA SATRIA HADI (THE GLOBE AND MAIL, AZATTYQ, LA TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus