Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lewat suara sopran yang begitu emosional, Hasri Ainun Besari (diperankan Andrea Miranda) mengutuki kesepiannya. Sebab, hidupnya di Oberforstbach, Jerman, hanya berputar di rumah. Sang suami yang seorang insinyur, Bacharuddin Jusuf Habibie (dimainkan Farman Purnama), sibuk bekerja melulu. Keberadaan dua putra mereka tak sepenuhnya bisa mengusir sunyi dari Ainun. “Kau tidak kesepian karena kau punya impian,” kata Ainun pilu kepada Habibie.
Tak ada yang bisa Ainun lakukan untuk membunuh sepi. Apalagi ia orang yang tertutup. Maka, pada hampir sepanjang pertunjukan berdurasi sekitar 150 menit ini, penonton terbawa dalam suasana lengang. Pemicunya tak semata kesedihan Ainun yang terwakili suara Andrea yang mengiris hati pada dua pertiga pentas, tapi juga efek lirik dari Titien Wattimena dan aransemen komposer Purwa Caraka. Lantunan biola yang liris mengalun menyuarakan kesepian Ainun.
Kisah ibu negara ketiga RI ini menjadi inti pentas Opera Ainun di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 15-16 September lalu. Ketua Lima Dimensi (LiDi) Productions—promotor Opera Ainun—Sapti Wahyudi menilai kerelaan Ainun menanggalkan kariernya demi keluarga menarik diangkat. “Perempuan selalu menghadapi dilema setelah berkeluarga, karena mimpi-mimpi mereka lantas ada di persimpangan,” tuturnya.
Untuk pertunjukan ini, LiDi tak hanya menggandeng Titien dan Purwa. Ari Tulang juga diajak menjadi sutradara dan koreografer. Purwa mengaku sempat kesulitan menerjemahkan sebagian naskah Titien ke dalam komposisi musik, terutama untuk adegan di babak kedua yang menuturkan kehidupan Ainun-Habibie di Jerman. “Sekilas tidak ada ledakan yang tampak di permukaan, padahal hati Ainun sangat berkecamuk di sana,” ujarnya.
Membuat naskah untuk opera yang mengisahkan tragedi juga menjadi tantangan berat buat Titien. Sebab, ia mesti membuat lirik yang bisa menggambarkan dinamika emosi Ainun, baik kesepian Ainun, impian-impiannya yang terpinggirkan, maupun cintanya kepada Habibie yang kerap terantuk kesibukan sang suami.
Namun duet Titien-Purwa sukses menjebloskan penonton hanyut dalam lara. Itu ditambah tata panggung yang membawa penonton berloncatan dari kampus Ainun di Universitas Indonesia, rumahnya di Bandung, kediaman Habibie di Jerman, demonstrasi 1998, hingga ruangan rumah sakit tempat Ainun dirawat karena kanker.
Detail tata panggung tersebut mendukung lirik-lirik galau Habibie dan Ainun yang terus berseliweran. Sesekali suara Andrea yang membahana terdengar marah, tapi ada kalanya melembut seolah-olah tak lagi memiliki tenaga, seperti saat menyanyikan protes Ainun kepada Habibie. “Kapan terakhir kita duduk bercakap, tentang sejuknya musim semi, juga sakitnya bahasa sepi?” ucap Ainun.
Habibie tak bisa menjawab pertanyaan itu. Sampai akhirnya pada 2010 di Jerman, Ainun meninggal. Nestapa dan penyesalan Habibie terlukiskan lewat adegan pamungkas yang menyayat. Bahkan sebagian penonton terdengar sesenggukan mengiringi suara tenor Farman Purnama yang pilu.
Dan, pada sebuah musim gugur, Habibie dan Ainun akhirnya duduk berdua. Dengan nada sedih Habibie bertanya, mengapa Ainun secepat itu meninggalkannya. Sedangkan jiwa Ainun, yang kini bebas berkelana, masih merasa sunyi. Tak kuasa lagi ia menggenggam mimpi-mimpinya.
ISMA SAVITRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo