Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap hari Titiek menunggu Ayahanda di depan rumah. Setiap orang lewat Titiek perhatikan, kalau-kalau saja Ayahanda datang. Dan dalam hati Titiek berkata: ‘Jika Ayahanda datang Titiek akan peluk Ayahanda sekuat tenaga, dan semua kerinduan Titiek akan Titiek le-paskan.’”
ASTUTI Ananta Toer, menuliskan surat yang li-ris tersebut kepada ayahnya, 9 Februari 1972. S-urat itu diterima Pramoedya yang tengah meringkuk di peng-asingan Pulau Buru sebulan kemudian. Ayah dan anak itu telah berpisah beberapa tahun. Mengetahui anaknya masih mencintai dan membanggakannya, Pram menangis. Dalam jawaban surat yang ia tulis dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram berkata, surat itu adalah sertifikat seorang anak pada ayahnya. ”Seorang yang dicintai anak adalah seorang ayah,” tulisnya.
Pram tak hanya meninggalkan Tuti. Dijebloskan ke pengasingan selama 14 tahun—10 tahun di antara-nya di Pulau Buru, Maluku—Pram juga meninggalkan Maemunah Thamrin, istrinya, beserta tiga adik Astuti—Arina, Setianing Rakyat, Tatyana, dan Yu-dhistira.
Tapi hidup harus berlanjut. Di Jakarta, Maemunah dan kelima anaknya tak bisa berlarat-larat dalam kerinduan. Maemunah, keponakan pahlawan nasio-nal Husni Thamrin, mengambil alih peran tiang ke-luarga. Keahlian memasak yang pernah dipelajari-nya sejak remaja dimanfaatkan sebagai sarana mengepulkan asap dapur.
Di rumah, Maemunah membuat kue dan aneka jajanan. Untuk itu ia mesti bekerja sejak pukul tiga dini hari. Kelima anaknyalah yang menjualnya dari rumah ke rumah di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur. ”Merek dagangnya Kue Mami,” kenang Maemunah. Dia ingat, si bungsu Yudistiralah yang paling giat menawarkan ke tetangga.
Nasib rupanya bersimpati pada keluarga ini. Dari mula-mula satu tenong, produksi kue Maemunah berkembang hingga puluhan tenong. Toh, mereka mesti tetap berhemat termasuk untuk makan sehari-hari. ”Kami makan apa saja. Dengan kecap dan kerupuk pun jadi.” Sesekali Maemunah juga jadi makelar tanah.
Dari hasil bisnis kecil-kecilan itu Maemunah berhasil menyekolahkan anak-anaknya. Pelan-pelan bah-kan mereka berhasil membangun rumah di Jalan Multikarya, Utan Kayu. Sebagian keuntungan juga disisihkan untuk membantu anak yatim. Belakang-an, tanah mereka yang besar di Utan Kayu dijual sedikit-sedikit. Setelah beberapa kali berpindah tangan, salah satu pembeli tanah Pram adalah Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Keduanya kini bertetangga baik.
Tapi itu sekarang. Dulu, pada tahun-tahun awal Pram ditahan tentara, keluarga Maemunah sempat dikucilkan tetangga. Anak-anak Pram hanya bisa bermain-main di dalam rumah sendiri. Di satu sisi, Maemunah pun jarang bergaul ke luar. Anak Pram yang paling ”badung” adalah Rita. Dibandingkan kakak dan adiknya, anak ketiga Pram itu yang paling suka kelayapan. Belakangan, kebekuan hubungan itu mencair. Apalagi keluarga ini memang dikenal suka menolong mereka yang kesusahan. ”Sejak semula kami memang tak menjadikan itu sebagai masalah,” kata Titiek.
Masa-masa sulit mustahil mereka lalui tanpa ke-te-guhan hati. Ketegaran itu memang telah lama ditanamkan Pram, sang ayah. Titiek ingat, Papi—demikian Pram biasa disapa anak-anaknya—mendidik me-reka dengan disiplin keras. ”Obsesinya, usia SD anak-anaknya harus bisa pisah dengan orang tua, yakni belajar ke luar negeri,” kata Titiek.
Salah satu caranya, Pram akan selalu memeriksa PR dan mengikuti pelajaran anak-anaknya. Pram juga mengirim mereka kursus bahasa Rusia atau Belanda. Jam lima sore, Pram memastikan anak-anaknya sudah duduk rapi memegang buku. Esok paginya, mereka semua sudah harus bangun pukul lima. Kalau tidak bangun, tempat tidur akan digo-yang-goyang, ”Dan akan dihajar bila belum bangun juga.”
Titiek mengaku tak pernah dihajar ayahnya. Si sulung ini memang dikenal dekat dengan sang ayah. Pram sendirilah yang memandikan, menceboki, menggendong, dan menidurkan Titiek semasa kecil. ”Saya sampai dilarang menggendong Titiek. Hanya dia yang boleh,” kenang Maemunah. Ketika sudah agak besar, Titiek juga acap dibawa Pram ke tempat kerjanya.
Pram percaya disiplin adalah kunci sukses. Dalam sebuah suratnya kepada Titiek, ia berpesan bahwa prestasi bagus saja belum cukup. ”Prestasi membutuh-kan ausdauer, daya tahan, bukan saja untuk mempertahankan yang sudah dicapai, tapi juga mencapai apa yang belum tercapai.”
Disiplin ketat diterapkan Pram tak hanya pada anak-anak, tapi juga pada tujuh adiknya. Pram dilahirkan sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara dari pasangan Mastoer-Oemi Saedah. Adik bungsu Pram meninggal ketika lahir. Tujuh lainnya, Prawito Toer (kelak berganti nama menjadi Waluyadi), Umi Safaatun, Kusaisah, Kusalah, Soesilo, dan Susetyo.
Menurut Soesilo, salah satu aturan Pram yang tak bisa ditawar adalah tidur siang setelah pulang sekolah. Lalu, pukul empat sore bangun, diteruskan belajar hingga malam. Soesilo pernah mencoba-coba melawan dengan mengambil benang layangan di atas genting menjelang magrib. ”Akibatnya saya ditempeleng Mas Pram,” kenangnya sambil terkekeh.
Sikap keras itulah yang pernah membikin Soesilo enggan ketika diajak Pram menetap di Jakarta. Saat itu 1950, dan ayah mereka baru saja meninggal dunia. Tetapi Soesilo takluk setelah Pram mengirim wesel Rp 1.000, jumlah yang besar sekali waktu itu. Ia pun menyusul kakaknya. Di Jakarta, Pram kemudian menyekolahkan Soesilo ke Taman Siswa sampai mendapat beasiswa hingga tamat.
Pram memang keras. Tetapi dia juga murah hati untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Selain Soesilo, dua adiknya yang lain yakni Kusalah dan Kusaisah, juga diajaknya ke Ibu Kota untuk disekolahkan di Taman Siswa. Kelak, ketiga adiknya ini dikenal se-bagai penerjemah andal.
Tetapi semua itu harus dibayar mahal oleh Pram. Di Jakarta, ketiga adiknya ikut menetap di rumah Pram di kawasan Tanah Abang. Padahal, saat itu Pram sudah beristrikan Arfah Elias dan dikaruniai tiga anak—Pujarosmi, Indriarti, dan Neni Anggreini. Ketambahan tiga orang membuat Pram-Arfah meng-alami tekanan ekonomi. Akhirnya, pasangan ini bercerai.
Bagi Kusalah, kakaknya juga dikenal sangat ngemong. Ia ingat waktu di Blora Pram pernah membuatkan bakiak dari kayu untuk dirinya. ”Ia menggergaji dan menyerutnya sendiri,” ujar Kusalah. Kelak, kege-maran bertukang itu juga dibawanya saat meringkuk di Pulau Buru.
Pram pernah mengajak Kusalah menyaksikan pe-ristiwa penting tak lama setelah ibunda mereka wafat pada 1942. Saat itu terjadi aksi penjarahan toko-toko milik orang Cina oleh masyarakat sekitar di Blora. Pram mengajak sang adik menonton dari dekat. ”Kau harus lihat. Ini sejarah. Lihat mereka merampok toko-toko itu,” ujar Pram.
Kenangan Kusalah tentang abangnya tak berhenti di situ. Seperti juga adik-adik Pram yang lain, kecuali Susetyo, Kusalah juga meringkuk di penjara akibat gebalau politik 1965. Kusalah dan Pram pernah sama-sama ditahan di Rumah Tahanan Militer Salemba. Tetapi karena beda blok, mereka sulit bertemu. Pernah mereka bertemu saat waktu salat Jumat di tempat terbuka—meski keduanya dipisahkan kawat jeruji. Dari kejauhan mereka saling melihat dan melambaikan tangan. ”Itu satu-satunya pertemuan dalam 15 tahun,” ujar Kusalah. Setelah itu Pram dikirim ke Pulau Buru.
Di Buru, sejatinya Pram punya kesempatan bertemu dengan Prawito yang juga dibawa ke sana. Tetapi kesempatan itu kecil sekali, sebab mereka beda unit. Pram di unit 3, dan Prawito di unit 12. ”Letak unit kami berjauhan, lagi pula pengamanan sangat ketat,” kisah Prawito yang ditemui di Blora pekan lalu.
Selama di Buru, Prawito hanya dua kali bertemu Pram. Dalam pertemuan itulah mereka berikrar akan saling mendalami bakatnya masing- masing: Pram menekuni sastra, Prawito mendalami akupunktur. Janji itu mereka tepati.
Pascapembebasan 1979, kerekatan keluarga Toer diteruskan dengan menggelar temu keluarga setiap tiga bulan. Mereka juga membentuk Dana Keluarga guna memberi sokongan bagi yang membutuhkan. Dana ini dikelola Kusalah dan istrinya, Utati. Menurut Oey Hay Djoen, 77 tahun, sahabat pram, sahabat karibnya itu menjadi pengayom dalam keluarga besar itu. Pram adalah pusaran pada keluarga besar Toer.
Pram juga sering mengunjungi rumah peninggalan orang tua mereka di Jalan Sumbawa, Blora. Menurut Surati, istri Susilo, saat masih sehat, dua bulan sekali Pram datang ke sana bersama anak-istrinya. Pram biasanya melakukan ziarah kubur orang tua-nya. ”Ia juga menyuruh saya beli kue serabi, nasi rawon, dan sate ayam kesukaannya,” ujar Susilo. Terakhir Pram mengunjungi Blora pertengahan bulan Puasa, Okto-ber tahun lalu. Setelah itu sakitnya makin menjadi. Selanjutnya, kita tahu, Pram pulang ke rumah abadinya nun di sana....
Tulus Wijanarko, Evieta Fadjar, Kurie Suditomo (Jakarta), Bandelan Amirudin (Blora)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo