Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOKO buku berikut kafe itu terletak di Jalan Mustopa 54, Bandung. Ruangannya sekitar 8x8 meter, dindingnya hujau terang dan penuh de-ngan poster Pramoedya Ananta Toer. Kursi dan meja kayu diletakkan di tengah-tengah ruang-an, dikeli-lingi rak buku hitam—sarat buku, terutama karya Pram. Ya, itulah Rumah Malka dan Kafe Minke, yang oleh pemiliknya, Daniel Mahendra, di-dedikasikan khusus untuk Pram. ”Kalau ingin mencari semua buku Pram yang sudah diterbitkan, ada di sini,” kata Daniel.
Setiap Sabtu sore, pengelola toko buku ini juga mengundang khalayak untuk berdiskusi tentang karya Pram. Teh, kopi, dan kudapan selalu disedia-kan tuan rumah sebagai penghangat obrolan. Peserta-nya anak-anak muda dan tak jarang termasuk yang masih SMU. Mereka berdiskusi secara santai, renyah, khas anak-anak muda gaul masa kini di toko buku yang berdiri sejak 2004 ini. Nah, mengapa diberi nama Kafe Minke? ”Ah, ini genit saja,” kata Da-niel, pemuda 31 tahun itu.
Sebenarnya, Daniel sudah membentuk kelompok pencinta karya Pram sejak 2002, dengan bendera Klab Baca Pramoedya. Saat itu, kelompoknya masih menumpang di Toko Buku Kecil di kawasan Dago, Bandung. Sedangkan pada 2003, Daniel mendirikan Pramoedya Institute, sebuah lembaga yang membantu menerbitkan karya Pram, sekaligus dalam hal pengkajiannya. Institut ini mengadakan lomba baca cerita pendek Pram untuk anak-anak SMU. Menurut lulusan Universitas Islam Bandung ini: para remaja ini tidak punya kesulitan menghargai karya sastra Pram. ”Mereka tahu latar belakang Pram sebagai tahanan politik setelah membaca karyanya,” kata-nya. Sungguh sayang, hingga meninggal, Pram belum sempat berkunjung ke Malka dan Kafe Minke.
Kisah kekaguman Daniel terhadap Pram ini juga menjangkiti banyak anak muda lain. Mereka rata-rata jatuh cinta setelah membaca karya Pram untuk pertama kalinya. Muhammad Iskandar Zulkarnaen, 29 tahun, yang sehari-hari bekerja sebagai penulis skrip iklan, berkenalan dengan karya Pram pada 1997, yaitu Keluarga Gerilya. ”Saya tidak bisa melepaskan buku itu hingga lembar terakhir,” kata Iskandar, yang kini bergiat di kelompok anak muda pencinta puisi, Bunga Matahari.
Para Pramis, pengagum Pram ini, tidak hanya- bereks-presi di kafe, toko buku, atau jumpa darat saja, ta-pi juga merambah ke dunia maya. Banyak blog a-tau catatan harian di ruang siber dan kelompok surat- elektronik yang menghimpun para Pramis ini. Karya-karya Pram diresensi kritis—tidak hanya dipuji—oleh para kawula belia ini. Para penggemar Pram bertukar informasi dan opini di ruang maya dengan sangat bebas.
Hingga terkadang mereka lupa, Pram berasal dari za-man yang jauh berbeda dengan mereka. ”Ada yang ta-hu alamat e-mail Pram, ndak? Gue ingin tanya sesuatu, nih,” demikian salah satu bunyi pesan di sebuah blog. Pram memang seperti bisa menjadi lambang a-pa saja bagi anak-anak muda pada masa reformasi i-ni. Dia bisa jadi ikon sastra, ikon politik bagi anak-a-nak Partai Rakyat Demokratik (PRD), bahkan seba-ga-i lambang perlawanan dan pembangkangan sipil oleh kelompok punk—Pram diangkat sebagai Datuk Punk.
Sebelumnya, pada masa kekuasaan Soeharto, anakanak muda pencinta Pram kebanyakan aktivis mahasiswa. Mereka mendapatkan dan menyebarkan buku Pram secara gerilya. Bahkan ada mahasiswa—Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho, dan Bonar Tigor Naispospos—yang dituduh subversi hingga dipenjara karena mengedarkan buku Pram.
Pram dan pemuda, dua yang tak berpisah. Ketika masih di Pulau Buru pun, Pram dan karya-karyanya sudah punya penggemar di kalangan pemuda. Sebaliknya, Pram juga senang dengan anak-anak muda. Menurut dia, di kantong para belia belum ada uang korupsi dan di tangan mereka tidak ada darah bekas pembantaian. Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo