Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MACAN mati tinggalkan belang, Pram berpulang sisakan naskah segudang. Banyak sekali bentuknya. ”Dari catatan harian, butir-butir kontemplasi, naskah roman, sampai calon ensiklopedi,” kata Mujib Hermani dari Penerbit Lentera Dipantara. Naskah-naskah itu ditulis tangan, dengan mesin ketik, atau kliping artikel yang pernah dimuat di berbagai media. Mujib memang diberi kesempatan oleh Pram dan putrinya untuk menelusuri perpustakaan pribadi Si Bung dan menerbitkannya jika diperlukan.
Setelah Menggelinding I—kum-pul-an cerpen dan esai yang terserak di Lentera dan Star Weekly—Menggelinding II dan III akan diluncurkan secepatnya. Rencananya kumpulan tercecer itu akan dibukukan sampai empat seri. Setelah itu gilir-an novel Gulat di Jakarta akan menyapa pembaca. Yang mengejutkan, roman Mata Pusaran, yang sempat dinyatakan hilang, ditemukan di tengah rimba naskah koleksi Pram. ”Masih belum lengkap, baru dari halaman 100-an ke atas,” kata Mujib. ”Dugaan saya ini bagian tengah dari roman itu.”
Seberapa penting Mata Pusaran? Bagi Max Lane, penerjemah awal buku-buku Pram ke bahasa Inggris, Mata Pusaran adalah satu dari delapan karya Pram yang harus dilihat sebagai satu kesatuan. Jadi, bukan hanya tetralogi Buru seperti yang dikenal orang selama ini. ”Ini merupakan babak penting dalam sejarah Indonesia yang disajikan dalam bentuk fiksi,” kata-nya. Selain tetralogi, empat karya lainnya adalah Mata Pusaran, Arok Dedes, Arus Balik, dan Mangir. Max mengaku ia baru saja selesai menerjemahkan Arok Dedes.
Salah satu obsesi Pram yang kemungkinan besar ikut terkubur bersama jasadnya adalah menerbitkan Ensiklopedi Negara Kepulauan Indonesia. Pada-hal proyek ini sudah separuh jalan. ”Jika diukur, bahan-bahan yang dikumpulkan panjangnya sudah lima meter,” kata Mujib. Cara pengumpulan bahannya tak istimewa. Setiap membaca koran dan menemukan artikel yang menurut dia penting, Pram akan menandai bagian itu. Sementara anak-anaknya mengkliping bahan, Pram membuat deskripsi subyek yang kemudian disusun berdasarkan alfabet dan pembagian tematik. Sebelum kematiannya, proyek ini mulai tersendat akibat anak-anaknya tidak banyak yang ikut tinggal di Bojong Gede, Bogor—rumah Pram lainnya selain di Utan Kayu, Jakarta Timur.
Temuan lain yang akan dirilis Mujib adalah esai panjang Pram tentang Multituli. Lalu surat-menyu-rat Pram dan H.B. Jassin dalam tiga fase. Pertama ketika Pram menjura Jassin sebagai guru. Setelah itu, Pram melihat Sang Paus Sastra Indonesia itu sebagai teman, terakhir ketika mereka berseberangan pandangan menyangkut pandangan tentang humanisme universal. Uniknya, di tengah-tengah korespondensi yang intens dan seru itu, mereka sempat sepakat untuk berbisnis timah. Kesepakatannya: Jassin membawakan timah, dan Pram mencari pembeli.
Korespondensi yang dilakukan Pram tak terbatas pada sastrawan nasional. Ia juga berkirim kabar dengan sastrawan Jerman Guenther Grass dan filsuf eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre. ”Saya masih menyimpan surat yang dikirimkan Sartre untuk Pram,” ujar Oey Hay Djoen, 77 tahun, sahabat satu barak di Buru. Dalam suratnya itu, Sartre bilang bahwa ia mengirimkan sebuah mesin ketik agar Pram tetap bisa menulis. Namun, menurut Oey, mesin kiriman sang filsuf tak pernah sampai ke tangan Pram, karena yang diberikan aparat saat itu adalah sebuah mesin ketik bobrok.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo