BUAT kota yang tak punya tempat-tempat rekreasi yang baik,
seperti Tg. Pinang, memang cuma ada 2 sasaran tempat
berleha-leha. Meja bilyard dan bioskop. Tak heran kalau wabah
bilyard yang melanda kota kabupaten ini demikian rancak. Puluhan
buah rumah bilyard muncul. Baik resmi punya izin usaha dari
Pemda Kepulauan Riau, maupun cuma mengantongi izin polisi.
Tapi yang dirisaukan belakangan ini adalah perkara bioskop. Di
kota yang berpenduduk lebih 50 ribu jiwa ini punya 2 buah
bioskop dengan kapasitas sekitar 500 penonton. Bioskop Gembira
dan Mutiara. Tak begitu bagus. Malahan, para penonton sering
melontarkan sumpah serapah karena digerayangi kutu busuk. Tapi
mau diapakan, cuma 2 biji ini sajalah yang ada. Itupun tampaknya
semakin susah bernafas. Selain akibat melimpah ruahnya TV, pun
kemampuan umum untuk nonton dengan harga karcis yang seenak para
pemiliknya, membuat animo semakin susut.
Akibatnya, para pemilik Bioskop, seperti A Kim yang punya
Mutiara dan immy Seah yang punya Gembira mulai mencari jalan
lain. Di antaranya berusaha menjaring anak anak dengan
mengadakan pertunjukan siang hari setiap hari Minggu. "Matine
Show" begitu terpampang di papan reklame mereka. Jadwal
pertunjukan, sampai 3 kali sehari Minggu itu. Hasilnya lumayan.
Dengan karcis rata-rata Rp 150 berjubellah anak-anak, yang tak
tahu ke mana akan pergi hari Minggu, memenuhi loket-loket. Akan
tambah semarak kalau ada film Indonesia yang diputar. Atau film
silat karate Hongkong. Tapi yang tua-tua pun ikut 'erbondong.
Maklum, kalau malam harga karcis bisa 2-3 kali lipat.
Tahu bahwa itu mulai jadi tambang rezeki, A Kim dan Jimmy pun
menggencarkan upayanya. Selain menyebarkan poster-poster liwat
mobil keliling pun reklamenya dibikin menyala dengan kata-kata
yang aduhai merangsangnya. Celakanya, sekalipun tahu bahwa yang
nonton umumnya anak-anak belasan tahun, para pemilik bioskop ini
tak mau mencantumkan batasan umur. Film yang penuh gambaran paha
dan adegan yang sebenarnya hanya untuk konsumsi orang-orang
dewasa, biasa saja disantap oleh anak-anak. Tak cuma itu, film
yang penuh kekerasan, adegan-adegan perkosaan pun bukan problem
untuk dihidangkan.
Keluhan bukan tak pernah terdengar. Bahkan Bupati Firman Eddy SH
yang mendengar perkara itu sempat menggeram, "bioskop-bioskop
itu memang sudah keterlaluan" ujarnya kepada TEMPO. Sementara
Mohd. Sadar, Ketua DPRD Kepulauan Riau mengangguk membenarkan.
Sayang, pejabat-pejabat kabupaten itu belum kelihatan turun
tangan menegor pihak pemilik bioskop. Buktinya, sampai 7, hari
ini bioskop-bioskop itu tetap dengan cara mereka.
Akan halnya pihak Kakandep Penerangan Kabupaten, cukup santai
juga menanggapi perkara ini. "Kami sudah kirim semua peraturan
kepada mereka" ujar Suhardi BA, sang Kakandep Penerangan
Kepulauan Riau. "Kan ada Polisi ditugaskan di sana" jawab
Suhardi lagi. Pokoknya pihak kantor penerangan kabupaten itu
cukup memeriksa adakah film yang akan diputar itu sudah ada izin
dan lulus sensor. Perkara posterposter serem tadi tampaknya,
sedang diusut siapa sebenarnya yang musti mengatur. "Mungkin
sekarang perlu Laksusyang turun" begitu sampai seoran pemuka
agama menumpah kesal. Bahkan seorang anggota DPRD bikin janji,
kalau nanti sidang-sidang DPRD yang baru sudah mulai, ia akan
bawa ke forum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini