Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan eksekutif papan atas itu meriung di JW Lounge, Hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Sarapan telah terhidang. Ada pilihan Mexican Breakfast: Steak Quesadilla, Chicken Cheese Nachos, dan Mesclun Salad with Herbs. Pilihan lain: sarapan gaya Continental. Noke Kiroyan, mantan Direktur Utama Newmont Pacific Nusantara, agaknya memilih yang terakhir. Dia memesan burger dan dua telur mata sapi.
Di luar hotel bintang lima itu, matahari belum sepenggalah. Arloji Noke menunjuk pukul setengah delapan lebih. Para bos tersebut hadir dalam CEO Breakfast Meeting pada Jumat pagi pekan lalu. Ini forum eksekutif sepekan sekali yang digelar CastleAsia, perusahaan konsultan asal Amerika Serikat. Tujuannya bertukar informasi bisnis dan pasar.
Di situ hadir Timothy Mackay (Presiden Direktur Holcim Indonesia), Dave Potter (Direktur Eksplorasi Freeport Indonesia), Adrianto Machribie (Komisaris Freeport Indonesia), dan Kevin Moore (Presiden Direktur Husky Oil). Ada pula petinggi Motorola dan Anadarko. Juga James Castle—dia pernah menjadi Presiden Kamar Dagang Amerika Serikat di Indonesia—yang ditemani anaknya, Max Boon.
Pertemuan biasanya diawali sarapan, disusul basa-basi sejenak mengenalkan diri, baru masuk ke topik pembicaraan. Pagi itu rencananya mereka membahas bisnis minyak dan pertambangan. Tapi, pada pukul 07.47 WIB, petaka membatalkan acara. Kegiatan bersantap belum lagi usai ketika ledakan menggelegar, hanya beberapa meter dari lounge yang mengarah ke Restoran Sailendra. Gedung serasa runtuh: tembok ambrol, plafon berjatuhan, gelas dan piring melayang, pecah berhamburan, asap membubung. Ruangan memerah oleh ceceran darah, lalu gelap dalam sekejap. ”Saya mendengar orang berteriak-teriak: ’I can’t see, I can’t see’,” kata Noke.
Pendiri perusahaan konsultan Kiroyan Partners itu pun kehilangan pandangan. Kacamata minusnya terlempar entah ke mana, juga telepon selulernya. Ia berpegangan pada tangan Adrianto Machribie, yang semula duduk di sebelah kirinya. Mereka bersama meniti puing-puing, berupaya keluar dari reruntuhan.
07.57 WIB...
Ledakan di Marriott sepuluh menit sebelumnya terdengar sayup dari Restoran Airlangga di lantai 2 Hotel Ritz-Carlton. Dua hotel mewah ini bersebelahan dan terhubung oleh jalan bawah tanah. Para tamu tak terusik, tetap menikmati sarapan di resto dengan dapur terbuka itu. Aneka cold dishes terhampar di meja buffet: seafood bar, sushi, sashimi. Juga berbagai masakan Indonesia. ”Terasa ada getaran, tapi suaranya kecil,” kata Singgih, penjaga pintu Hotel Ritz.
Singgih tiba-tiba melihat kilat putih, dan beberapa detik kemudian menyadari ada ledakan bom. Pusat ledakan di coffee shop, belasan meter dari tempat Singgih berdiri. Ruangan segera diselimuti asap putih kehitaman. Bau belerang menyebar, kata Singgih. Maut datang dalam sekedipan mata.
Lututnya menggeletar oleh panik. Orang-orang yang beberapa detik sebelumnya menikmati sarapan terkapar di lantai. Darah berceceran. Tamu yang selamat berlari keluar. Singgih bergegas membantu temannya, sesama karyawan. Di pusat ledakan, seorang saksi mata menyebutkan, ada mayat terbujur, kepalanya lepas dari batang leher.
Pria bertopi dan berjaket, tengah menarik koper beroda, terekam di kamera keamanan JW Marriott semenit sebelum ledakan pertama. Di rekaman itu, ia selalu menatap ke depan. Kepalanya agak menunduk. Tak sekali pun ia menengok. Berjalan tenang masuk pintu lobi, ia terus menuju lift.
Pada saat yang sama, Didik Ahmad Taufik menyusuri area Restoran Sailendra, tempat sarapan di JW Marriott. Supervisor keamanan ini mengamati pria itu. Kemudian, ”Saya tegur dia, ’Mau cari siapa, Pak?’” kata Didik, 39 tahun. Si pria misterius itu bilang dia mencari bosnya.
Didik percaya jawaban pria itu—yang terlihat benar-benar sedang mencari seseorang. Ia pun beranjak, melanjutkan patroli. Tiba-tiba ledakan terdengar di belakangnya. Ia jatuh tertimpa plafon hotel. Wajah dan perutnya tergores. Telinga kanannya tersambar api. ”Saya melihat di tempat pria itu banyak potongan tubuh,” ujarnya.
Dalam sekejap, Restoran Sailendra—resto dengan dapur terbuka, tempat politikus sering menjalin lobi—porak-poranda. Meja-kursi berjumpalitan, semua rontok. Beberapa orang tewas, jenazahnya terlihat di satu sudut. Orang-orang berlarian, sebagian besar terluka.
Belum diketahui apakah pria yang terekam kamera keamanan dan kemudian ditemui Didik itu korban atau justru pelaku. Polisi baru memastikan bahwa pembawa bom ikut terbunuh. ”Ini bom bunuh diri,” kata Kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
Indikasinya, kepala dua jenazah di pusat ledakan terlepas dari tubuh mereka. Keduanya diduga pembawa bom. Kepala tersangka di Ritz-Carlton utuh, dan tersangka di Marriott koyak. ”Tapi kulitnya masih bisa diidentifikasi sehingga bisa direka ulang,” ujar Bambang.
Eksekusi teror itu dirancang dari kamar 1808 Hotel JW Marriott. Kamar tersebut terdaftar atas nama Nurdin Azis. Di situlah bom dirakit. Polisi menemukan ada bom aktif di kamar ini, satu setengah jam setelah ledakan. Sumber Tempo, yang Jumat pekan lalu masuk ke kamar ini, memperkirakan bom itu sebenarnya dirancang untuk membakar kamar sekaligus melenyapkan barang bukti.
Para teroris merancang aksinya dengan amat teliti, ”cerdik”, serta ”bermodal”. Nurdin menyewa kamar kelas deluxe bertarif US$ 154 atau sekitar Rp 1,6 juta per malam. Dia masuk ke sana Rabu pekan lalu dan berencana menginap dua malam. Ia membayar tunai, bukan dengan kartu kredit, untuk kamar dengan dua kamar tidur itu. Ia ditemani setidaknya satu orang. Ada satu atau dua orang lain datang dan pergi. Mereka acap mengenakan topi ketika ke luar kamar.
Penjagaan di hotel ini sebenarnya cukup ketat. Mobil diperiksa luar-dalam sebelum diparkir. Pengunjung wajib melewati detektor logam di setiap pintu masuk. Petugas meminta pengunjung yang menenteng tas membuka bawaannya. Anjing pencium ditempatkan di beberapa sudut, di area pintu masuk.
Untuk menyiasati petugas keamanan, tim Nurdin diduga memasukkan secara bertahap bahan-bahan bom ke kamar hotel. Komponen kecil dikemas, misalnya, dalam bungkus rokok. Komponen lain dibawa dengan tas laptop. Sedangkan bahan cair dimasukkan ke dalam botol minuman. Bom lalu dirakit di dalam kamar. Hasilnya? Sebuah bom berdaya ledak rendah tapi mematikan. Diracik dari potasium nitrat, belerang, arang, dan detonator, bom itu dijejali mur dan baut guna meningkatkan efek rusak.
Bahan-bahan tersebut ibarat ”tanda tangan” yang segera dikenali polisi: ramuannya sama persis dengan bom yang meledak di depan hotel itu pada 5 Agustus 2003 yang menewaskan 11 orang. Menurut Bambang Hendarso, bom itu juga serupa dengan rakitan yang disita Detasemen Khusus 88 Antiteror di Binangun, Cilacap, Jawa Tengah, Selasa pekan lalu.
Tudingan pun mengarah ke kelompok Noor Din M. Top, buron berkewarganegaraan Malaysia yang menebar teror di Indonesia sejak 2000. Tapi, berbeda dengan jejak kelompok Noor Din yang biasanya menyerang dari luar, bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton dimasukkan ke jantung sasaran.
Walau menurut polisi berdaya ledak rendah, efek bom itu merusak bukan main. Jendela besar Hotel Ritz hancur berkeping-keping. Pipa besi yang membingkai jendela besar pecah, rontok dari tempatnya. Di sisi timur, tiga jendela besar boyak-boyak tak keruan. Pipa-pipa pengatur suhu ruangan jebol. Daun pohon palem hijau royo-royo di luar jendela kaca Restoran Airlangga layu tiba-tiba.
Dua bom pagi itu membunuh enam orang. Di antaranya Timothy Mackay, yang tak terselamatkan ketika warga negara Selandia Baru itu dilarikan ke rumah sakit. Dua orang yang diduga membawa bom pun tewas. Sekitar 60 orang terluka, baik ringan maupun berat. Hingga laporan ini diturunkan pada Sabtu tengah malam pekan lalu, korban tewas menjadi sembilan orang, dan yang luka-luka 62 orang.
Efek bom pada ”Jumat Hitam 17 Juli” itu segera meluas. Bursa Efek Indonesia terjerembap—ketika bursa di kawasan Asia sedang menanjak. Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia turun 0,6 persen tak lama setelah bom meledak. Harga saham Holcim Indonesia melorot tiga persen setelah kematian Timothy David Mackay. Rupiah pun tersuruk. Kurs yang sempat menguat saat dibuka pada Jumat pagi ditutup dalam kondisi melemah 0,35 persen menjadi Rp 10.135 per dolar Amerika.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan kemajuan pemerintahan selama lima tahun terakhir diruntuhkan teror ini. ”Aksi yang keji dan tak bertanggung jawab menyebabkan kerja keras seluruh rakyat Indonesia mengalami guncangan dan kemunduran,” ujarnya dengan nada emosional dalam jumpa pers di halaman depan Kantor Presiden seusai salat Jumat.
Bom juga membatalkan kedatangan tim sepak bola Liga Primer Inggris, Manchester United. The Red Devils, julukan klub itu, sedianya menginap di Hotel Ritz-Carlton. Mereka dijadwalkan bertanding melawan tim bintang sepak bola Indonesia, Senin ini, 20 Juli. ”Saya percaya ini keputusan tepat untuk menjaga keamanan pemain kami,” kata Alex Ferguson, pelatih United, ketika mengumumkan pembatalan, di Kuala Lumpur, Malaysia.
Pemerintah Australia segera mengeluarkan larangan bepergian ke Indonesia bagi warga negaranya. Malaysia, negara asal Noor Din M. Top, menyatakan kewaspadaan. Pemerintah Belanda meminta warganya di Indonesia berhati-hati.
Efek bom terbesar, tentu saja, dirasakan orang-orang dekat korban. Keith Kimmons, Manajer Keamanan Holcim Indonesia, mengatakan sangat terkejut atas tewasnya Timothy Mackay. ”He is a wonderful man. We are very shocked,” ujarnya. Para pegawai perusahaan semen terbesar ketiga di Indonesia itu saling menenangkan. Beberapa orang menitikkan air mata.
Budi Setyarso, Yandi M. Rofiyandi, Retno Sulistyowati, Amandra Mustika, Iqbal Muhtarom, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo