AGAK aneh bahwa Multatuli tak banyak dikutip lagi. Mungkin karena
generasi yang mengenalnya, yang merasa ikut terbakar hatinya --
para pejuang kemerdekaan sebelum 'Angkatan 45' -- sudah makin
tipis. Mungkin juga karena buku semacam Max Havelaar dianggap
hanya berlaku sebagai protes terhadap penjajahan asing, dan kini
tak perlu lagi.
Empat tahun yang lalu Max Havelaar diterjemahkan H.B. Jassin.
Betulkah ia tak perlu lagi? Bacalah pidato Lebak dari Havelaar,
begitu petuah patriot-patriot tua, dan kau akan tahu kenapa kami
dulu tergugah:
"Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi
menguning seringkali untuk memberi makan orang yang tiak
menanamnya?"
Rakyat, menurut Havelaar, dihisap oleh para pejabat pribumi. Dan
ia, asisten residen, ingin menegakkan hukum. Baginya bupati
Lebak itu adalah contoh pelaku korupsi yang harus disingkirkan
oleh residen. Tapi residen tidak bersedia menerima usulnya. Max
Havelaar-lah yang malah tersingkir: ia seorang yang ingin
melenyapkan korupsi, tapi jadi korban persekongkolan
penghisapan.
Paling tidak, begitulah tafsiran yang dikehendaki Multatuli.
Tapi rupanya masalahnya tak sesederhana itu. Dalam satu tulisan
di buku Kian Kemari (1973), seorang pengajar sasta Belanda di
Universitas Indonesia, Gerard Termorhuien, menulis suatu
tafsiran lain. Ia meneruskan tafsiran yang sebelumnya pernah
dikemukakan Wertheim, Sartono Kartodirdjo dan terutama oleh
Nieuwenhuys. Dalam tafsiran ini, Max Havelaar (roman
otobiografis ini sebenarnya melukiskan Douwes Dekker atau
Multatuli sendiri dalam sejarah Lebak) tidak dengan sendirinya
benar. Dari laporan tentang peristiwa diLebak itu kemudian,
ternyatalah bahwa apa yang dinilainya sebagai penghisapan oleh
bupati "ternyata untuk sebagian besar masih termasuk batas-batas
adat".
Tapi salahkah Dekker? Tulisan "Max Havelaar di Lebak" itu
menunjukkan beberapa kekeliruan, termasuk cara Dekker menyatakan
kesalahan bupati itu: 'Sebagai "seorang Barat yang impulsif' ia
bertindak secara "kasar", apalagi menurut kaidah sopan santun
masyarakat Jawa'. Tapi salahkah Multatuli ketika ia menulis
bahwa "sekali batas yang sah mutlak dilampaui, akan sukar
menentukan titik batas di mana pelanggaran demikian berubah
menjadi kesewenang-wenangan yang bersifat kejahatan"? Tentunya
tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini