Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Max havelaar

19 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAK aneh bahwa Multatuli tak banyak dikutip lagi. Mungkin karena generasi yang mengenalnya, yang merasa ikut terbakar hatinya -- para pejuang kemerdekaan sebelum 'Angkatan 45' -- sudah makin tipis. Mungkin juga karena buku semacam Max Havelaar dianggap hanya berlaku sebagai protes terhadap penjajahan asing, dan kini tak perlu lagi. Empat tahun yang lalu Max Havelaar diterjemahkan H.B. Jassin. Betulkah ia tak perlu lagi? Bacalah pidato Lebak dari Havelaar, begitu petuah patriot-patriot tua, dan kau akan tahu kenapa kami dulu tergugah: "Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi menguning seringkali untuk memberi makan orang yang tiak menanamnya?" Rakyat, menurut Havelaar, dihisap oleh para pejabat pribumi. Dan ia, asisten residen, ingin menegakkan hukum. Baginya bupati Lebak itu adalah contoh pelaku korupsi yang harus disingkirkan oleh residen. Tapi residen tidak bersedia menerima usulnya. Max Havelaar-lah yang malah tersingkir: ia seorang yang ingin melenyapkan korupsi, tapi jadi korban persekongkolan penghisapan. Paling tidak, begitulah tafsiran yang dikehendaki Multatuli. Tapi rupanya masalahnya tak sesederhana itu. Dalam satu tulisan di buku Kian Kemari (1973), seorang pengajar sasta Belanda di Universitas Indonesia, Gerard Termorhuien, menulis suatu tafsiran lain. Ia meneruskan tafsiran yang sebelumnya pernah dikemukakan Wertheim, Sartono Kartodirdjo dan terutama oleh Nieuwenhuys. Dalam tafsiran ini, Max Havelaar (roman otobiografis ini sebenarnya melukiskan Douwes Dekker atau Multatuli sendiri dalam sejarah Lebak) tidak dengan sendirinya benar. Dari laporan tentang peristiwa diLebak itu kemudian, ternyatalah bahwa apa yang dinilainya sebagai penghisapan oleh bupati "ternyata untuk sebagian besar masih termasuk batas-batas adat". Tapi salahkah Dekker? Tulisan "Max Havelaar di Lebak" itu menunjukkan beberapa kekeliruan, termasuk cara Dekker menyatakan kesalahan bupati itu: 'Sebagai "seorang Barat yang impulsif' ia bertindak secara "kasar", apalagi menurut kaidah sopan santun masyarakat Jawa'. Tapi salahkah Multatuli ketika ia menulis bahwa "sekali batas yang sah mutlak dilampaui, akan sukar menentukan titik batas di mana pelanggaran demikian berubah menjadi kesewenang-wenangan yang bersifat kejahatan"? Tentunya tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus