ORANG tua itu duduk agak melonjor di kantornya siang itu,
berlatar belakang lukisan kapal perang Karel Doorman. Dalam usia
66 tahun dan kepala penuh uban, Wilopo SW kembal di
disebut-sebut akhir-akhir ini. Ia bicara tentang trio
persekongkolan jahat di Indonesia. Sebelumnya bekas tokoh PNI
yang pernah jadi Perdana Menteri itu memberi rekomendasi tentang
penyehatan Pertamina. Dan berikut ini adalah petikan wawancara
Zen Umar Purba dan Harun Musawa dari TEMPO dengan Ketua DPA
ih akhir Mei lalu:
Tanya: Bagaimana dengan pernyataan bapak mengenai trio
petualang, cukong dan okum pejabat, dihubungkan denngan sidang
DPA 10 Mei yang lalu ?
Jawab: Hal itu saya tempatkan dalam acara sidang yang temanya
Kesadaran dan Disiplin Nasional. Dari segi psikologis,
identitas bangsa umumnya dirasakan mengendor. Terlihat dari
sikap orang selama ini yang mau cari selamat sendiri. Yang kalau
perlu mau nrabas hukum atau pemerataan keuangan negara. Tapi
akhir-akhir ini kemajuan juga ada. Dulu penyelesaian proyek
lamban. Sekarang memang masih lamban, tapi berbeda dengan dulu,
sekarang hanya karena kita kurang trampil dan daya serap
masyarakat yang masih kurang. Itu sebab yang biasa. Tekad
pemerintah membasmi penyelewengan, karena itu sudah menyangkut
soal mati dan hidup. Apalagi setelah ada kesulitan Pertamina.
Tanya: Apa yang menyebabkan banyak terjadinya penyelewengan?
Jawab: Ada yang bikin analisa gaji kurang. Tapi dapat kita
tanyakan: justru yang menyelundup (dan yang terlibat) itu sudah
berpenghasilan besar. Lihat penyelundupan tekstil satu juta
meter melalui pos paket di Surabaya itu.
T: Bagaimana tentang penindakannya?
J: Saya pinjam kata-kata pemerintah saja: sudah ada penindakan
aktif. Soal public morality dan faktor psikologis memang perlu.
tapi itu jangka panjang. Yang riil dan konkrit: tindakan.
T: Dengan adanya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
korupsi yang baru, bagaimana penilaian bapak terhadap tindakan
yang sudah dilakukan ?
J: Undang-Undang itu sudah cukup kuat, cukup baik, soalnya
bagaimana menindaknya. Ya, mestinya dengan undang-undang itu
harus dapat dilakukan penindakan lebih keras, seperti terhadap
masalah uang suap dan uang hangus. Ini sudah menyangkut soal
mati atau hidup negara.
T: Sementara kalangan masyarakat beranggapan korupsi sukar
diberantas karena pembuktiannya yang pelik. Karena itu ada yang
menginginkan ditrapkannya azas pembuktian terbalik.
J: Bagaimana pun peliknya dapat ditrabas. Kan kita tak boleh
permisif. Bukankah pemerintah sudah punya tekad untuk menindak
semua penyelewengan? Pembuktian terbalik, saya tak setuju dari
dulu. Saya tak mau tiru-tiru Malaysia. Jangan sampai rakyat
miskin yang kebetulan mempunyai cangkir yang bagus, diharuskan
membuktikan dari mana barang itu didapatnya. Apalagi kalau
penegak hukumnya sewenang-wenang sehingga akan terjadi begini:
"Kalau tak bisa membuktikan, kasih saya uang". Itu lebih jelek
lagi. Jadi, cukup saja dengan sedikit petunjuk, maka penegak
hukum harus segera menyidik. Tugas mereka mencari bukti-bukti.
T: Bapak menyinggung Malaysia. Bagaimana pandangan Bapak atas
kasus Datuk Harun bekas Menteri Besar Selangor yang kena hukuman
5 tahun akibat korupsi?
J: Saya tak punya komentar.
T:Di antara salah satu kesimpulan Diskusi Panel Korupsi dan
Pembangunan oleh Dewan Mahasiswa UI tahun 1970 antara lain
dikatakan bahwa Jaksa Agung hanya dapat menggunakan azas ini
dengan seizin Presiden, setelah Presiden meminta pertimbangan
DPA.
J: Tidak bisa begitu. Itu sepenuhnya hak prerogatif Presiden
untuk menentukan sesuatu itu menyangkut kepentingan umum atau
tidak.
T: Sewaktu hangatnya suasana anti krupsi sekitar 1970, Pak
Harto bahkan membuka "praktek" tiap Sabtu di Cendana dengan
menerima langsung laporan dari masyarakat. Kemudian tahun lalu
Menteri Sumarlin menjalankan praktek "Sidik"nya sehingga ada
beberapa yang kena. Adakah upaya tersebut bisa efektif?
J: Ya semacam cara Harun Al Rasyid. Itu baik juga. Tapi zaman
Harun Al Rasyid penduduknya berapa? Dan dia (pejabat yang pakai
cara Al Rasyid ini - Red) tentu sibuk. Jadi Harun Al Rasyid
terus-terusan juga bosan.
T: Bagaimana pandangan bapak tentang suara-suara yang meminta
agar Ibnu Sutowo dimintai pertanggunan jawab pidana,
dihubungkan dengan tugas Komisi IV dalam masalah Pertamina
beberapa waktu yang lalu?
J: Komisi IV sudah pernah membeberkan. Soal pidananya, itu
bidang lain, tidak penting sama sekali bagi saya. Saya setuju
cara pemerintah mengatasi kesulitan Pertamina, tapi bukan soal
personalnya. Itu bukan tema sidang DPA.
T: Lembaga mana saja yang sebenarnya dapat mengontrol korupsi?
J: Penegak hukum seperti jaksa, polisi dan hakim. Juga BPK.
Sedang DPR tugasnya meng-appeal dan mencerminkan keadaan
masyarakat. Kita menginginkan DPR yang juga kuat seperti
Pemerintah. Dulu pernah DPR terlalu kuat sehingga dapat
mempermainkan Pemerintah. Kemudian datang DPR terpimpin.
Sekarang Pemerintah sudah kuat, karena itu memang perlu bagi
negara yang sedang berkembang. Tapi DPR juga harus kuat dan
bebas agar dapat menguji dan mengawasi Pemerintah.
T: Bagaimana dengan lembaga Yudikatif?
J: Hakim juga sudah banyak aparatnya. Sudah harus dimulai
mengambil langkah-langkah baru, misalnya dengan melepaskan
pengaruh-pengaruh luar. Saya ingin memperjuangkan adanya kolom
bagi hakim (maksudnya kolom jabatan hakim dalam sistim PGPS
-Red). Sampai kini hakim masih saja berstatus pegawai negeri,
tidak ada kolom gaji hakim tersendiri. Sebagai yuris, saya
menghendaki hakim yang betul-betul hakim.
T: Pada pengamatan bapak,-- apakah sudah ada pengaruh anjuran
hidup sederhana yang berali-kali diserukan oleh pimpinan Negara?
J: Harus lebih dari anjuran, dan haus dilaksanakan. Misalnya
bagi pengusaha real-estate, harus ditegaskan: kalau mau
membangun rumah mewah kelas 1, mereka harus membangun 3 rumah
kelas menengah dan 6 rumah murah. Tapi kontraktor mengeluh.
yatanya mereka cuma mau membuat rumah mewah semua sekarang.
Tapi kenapa kita mesti mikirkan kontraktor?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini