Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hati-Hati Dengan Korupsi

Pemberantasan korupsi kembali dibicarakan, karena merugikan negara dan membahayakan pembangunan. korupsi telah membudaya, sulit dibuktikan, walaupun berbagai team dibentuk untuk memberantasnya. (nas)

19 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH senyap-senyap sejak tahun 1970-an, korupsi sekarang dipercakapkan lagi. Terakhir Pemerintah menegaskan bahwa benalu itu masih terus diperangi. Cuma, seperti dikatakan Jaksa Agung Ali Said SH pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sudah menjadi pekerjaan rutin. Dalam rapat Kerja bersama Komisi III DPR pimpinan Ny. Mudijomo SH pekan lalu, Jaksa Agung menegaskan bahwa walaupun saat ini jarang terdengar adanya pemberantasan korupsi secara besar-besaran -- seperti di bidang penyelundupan dan narkotika -- Pemerintah terus mengantamirnya. Sebagai dikatakan Wilopo,"korupsi dan penyelewengan lainnya adalah masalah hidup atau matinya kita bersama" Karena itulah agaknya orang ingin melihat Pemerintah lebih trampil lagi dalam pentrabasan korupsi . Apalagi, khusus untuk korupsi telah ada alat baru Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No.3 tahun 1971. Iazim discbut UU Anti Korupsi (UUAK). Wilopo yang paling akhir bicara soal trio penyeleweng di Indonesia pun berpandangan seharusnya aparat Kejaksaan bisa bertindak lebih keras (lihat: Satu Jam dengan Wilopo). Dalam suasana demikian tahu-tahu ada berita dari negara tetangga. Datuk Harun bin Idris. Menteri Besar Selangor Malaysia oleh pengadilan sana telah dihukum 2 tahun penjara. Dia dipersalahkan karena jabatannya telah menerima uang suap dari sebuah bank di Hongkong. Uang yang berjumlah sekitar Rp 80 juta itu menuruttuduhan dipakai untuk mempengaruhi Harun, sebagai Menteri Besar, guna memperoleh persetujuan dari pemerintah Selangor terhadap rencana bank tersebut untuk menyatukan beberapa buah gedungnya (TEMPO, 29 Mei). Di Jakarta Ketua Lembaga Bantuan Hukum, Adnan Buyung Nasution SH memberikan reaksi atas putusan bersejarah dari tetangga seberang itu. Kepada Kompas, ia mengemukakan 3 hal yang patut ditarik dari proses peradilan Datuk Harun. Pertama, adanya sikap mental tanpa pandang bulu dalam menegakkan hukum. Tak soal apakah tersangka seorang Menteri Besar, dan bahkan disebut-sebut sebagai calon Perdana Menteri Malaysia, tetap tidak kebal terhadap hukum. Kedua, norma-norma hukum dan moral amat dijunjung tinggi di kerajaan itu. Jadi seorang pejabat yang menerima imbalan jasa, karena pelayanannya kepada masyarakat -- yang adalah kewajibannya -- termasuk melakukan korupsi. Bukan seperti gejala-gejala dalam masyarakat kita sekarang, yang menganggap hal seperti itu sebagai hak yang wajar. Begitu pandangan Buyung yang meneruskan: "Bisa dibayangkan berapa banyak kasus serupa itu yang menyangkut pejabat-pejabat kita. Yang menerima imbalan jasa, bukan saja dalam soal tanah atau kaveling. Melainkan dalam berbagai proyek. order-order pembelian dan sebagainya, yang menjadi wewenangnya". Ketiga, Buyung menunjukkan kenyataan bahwa Hakim Raja Azlan Shah. adalah bekas rekan Datuk I Harun dalam Kementerian Kehakiman Malaysia Fakta ini menunjukkan bahwa orang-orang di sana bisa bersikap lugas. R.O. Tambunan SH, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Karya Pembangunan juga memberi pandangan yang lebih kurang sama dengan Buyung. Sebelum angin Datuk Harun bertiup, lidah orang masih belum kering dengan kejutan hutang Pertamina. Tapi di balik itu ada pula yang bisik-bisik tentang kemungkinan memintai tanggungjawab hukum pimpinannya. Kasus Datuk Harun maupun Pertamina hanya sekedar mengingatkan orang pada situasi hitam yang sudah klasik. Lingkaran situasi itu dihimpit oleh masalah penyelundupan yang lain pula sifatnya dengan penyelundupan model lama. Pemerintah sudah bersikap galak terhadap para penyelundup, khususnya para importir swasta. Nusakambangan sudah tersedia. Kedua bentuk perbuatan serong itu kini bagaikan lingkaran tak berbatas. Makin dimasuki, makin sukar ditemukan batasnya. Penyelundupan dan korupsi itu memang bagaikan saudara kembar. Ali Said kepada DPR menyebutkan dalam suatu penyelundupan pun bisa terkandung perbuatan korupsi. Memang sudah banyak contoh. Bahkan yang menarik adalah kasus Robby Tjahjadi, pedagang mobil yag telah merugikan negara lebih Rp 600 juta itu. Kepadanya bahkan sengaja dipakai UUAK. Menurut Jaksa Agung Sugih Arto waktu itu dipakainya UUAK adalah supaya lebih mendekati rasa keadilan masyarakat (TEMPO, 17 Maret 1973). Lain dengan peraturan yang berkaitan dengan penyelundupan, UUAK mengancam hukuman 20 tahun, bahkan sampai seumur hidup. Oleh Majelis Hakim pimpinan Bismar Siregar SH dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Robby dihukum 7 1/2 tahun, denda Rp 10 juta serta perampasan rumah terhukum yang bernilai Rp 100 juta di samping barang-barang lainnya. Pada tingkat banding, Robby mendapat keringanan hukuman menjadi 2 1/2 tahun plus denda Rp 5 juta. Sekarang tentu pedagang mobil itu sudah merdeka, karena dipotong masa tahanan. Robby adalah tes untuk mencoba UUAK. Sekaligus,kasusnya besar karena dia main-main dengan mobil mewah. Ada Robby, ada Ahu Kiswo. Dianggap sebagai kongsi Rohhy. bekas Kepala Dinas Pemberantasan Penyelundupan Bea Cukai Tanjung Priok ini, di antaranya juga kena libasan UUAK. Untuk kejahatan korupsi tersebut Abu kena 5 tahun dan denda Rp 7,5 juta sedangkan untuk kejahatan ekonominya, Abu dibebani 2 1/2 tahun dan denda Rp 10 juta atau kurungan 4 bulan. Ada sedikit kemacetan. Khusus untuk perkara korupsi. Pengadilan Tinggi Jakarta memulangkan berkas Abu ke Bismar Siregar. karena ada pemeriksaan yang mesti dilengkapi. Kini pemeriksaan itu sudah selesai. Tinggal menunggu palu Hakim Tinggi. Sementara itu merasa tidak mampu membayar denda yang Rp 10 juta -- untuk tindak pidana ekonominya --, Abu dalam suratnya kepada Pengadilan Tinggi minta supaya ia dibenarkan menjalani hukuman kurungan saja, yakni 4 bulan penjara. Memang setelah itu tak kelihatan ada perkara besar. Catatan Kejaksaan Agung yang diperoleh TEMPO melalui kepala ubungan Masyarakat Kejaksaan Agung, Tomasouw SH, menyebutkan ada 385 perkara yang digarap selama tahun 1975. Diantaranya 57 sudah diputus, 154 yang helum diputus oleh pengadilan, dan 174 masih dalam penyelidikan. Setahun sebelumnya angka itu adalah 340: yang sudah diputus 71. yang belum diputus 106, dan yang masih disidik 13. Angka-angka ini makin ke belakang makin meninggi. Di tahun 197 ada 572 perkara: yang sudah divonis 206, yang dilimpahkan ke pengadilan 150, dan masih dalam pengusutan 216. Tahun 1972 ada 502 perkara: setahun sebehlmnya 610 dan di tahun 1970 ada 462. Presiden Soeharto sendiri dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1970 menyebutkan usaha pemberantasan korupsi selama tahun 1969: yang telah diajukan ke pengadilan 144 perkara, 90 di antaranya telah diputus dan 33 perkara lagi masih dalam tahap penyidikan Kejaksaan Sedangkan Team Pemberantasan Krupsi (TPK) yang dibentuk 1968, hingga 1974 telah berhasil menyelamatkan uang Negara Rp 1,3 milyar lebih. DATA ini tak dapat dilengkapi oleh Departemen Kehakiman maupun Mahkamah Agung. Menurut Wantjik Saleh SH, Kepala Bagian Statistik Ketatalaksanaan Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan, saat ini data mengenai proses peradilan korupsi belum ada pada Departemen. Sedangkan Pitoyo SH, Panitera pada Mahkamah Agung juga memberikan jawaban yang mirip. Data itu kabarnya sudah ada, hanya belum disusun. Sekiranya gambaran takta itu sudah ada dan bisa diumumkan, mungkin bisa diperoleh gambaran bagaimana perkembangan peradilannya sendiri: berapa hukuman rata-rata, apakah terhukum selalu naik banding, bagaimana pengadilan tinggi, Mahkamah Agung dan seterusnya. Kasus Datuk Harun agaknya membuat orang di sini mengenang masa silam. Sekitar pertengahan tahun 1950an. di masa Jaksa Agung Suprapto. Beberapa pejabat penting harus berhadapan dengan pengadilan. Misalnya bekas Menteri Kehakiman Mr. Djody Gondokusumo tahun 1955 telah dihukum satu tahun karena terbukti bersalah menerima uang suap Rp 40 ribu (Empat puluh ribu rupiah saja) dalam urusan pemberian visa kepada seorang Cina. Bekas MEnteri Agama Wahib Wahab juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan penyelewengan jabatan. Untunglah dia dapat grasi. Bekas Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo juga pernah harus berurusan dengan pengadilan karena beberapa tindakannya Bekas Menteri Luar Negeri Kuslan Abdulgani tahun 1957 oleh Mahkamah Agung dikenai denda Rp 5 ribu atau hukuman 1 bulan, sehab telah membawa titipan uang sebanyak US $ 11 ribu ke luar negeri. Semua tindak pidana yang diperkarakan terjadi dalam jabatan masing-masing selaku Menteri. BANYAK lagi kasus-kasus lain, walaupun tak sampai ke pengadilan. Pada kelompok yang terakhir ini, kejadian-kejadian penahanan itu belum dapat dinilai apa-apa. Maklumlah karena suasana yang liberal, perang politik dapat membuat seseorang berhubungan dengan hamba hukum. Sekalipun itu namanya pejabat tinggi. Setelah fase itu datang masa Nasution dengan Operasi Budhi-nya. Selama 3 bulan kerja setelah pembentukan operasi tersebut pada 1964 berhasil diselamatkan Rp 11 milyar. Operasi Budhi sebenarnya bertujuan memeriksa semua PN berkenaan kebijaksanaan, organisasi dan inventaris dan kekayaan para direkturnya. Tapi Operasi Budhi tak berumur lama. Baru memeriksa 1/7 laporan yang masuk, Operasi Budhi/PARAN (singkatan Panitia Retooling Aparatur lslegara) dibubarkan Presiden Soekarno. Sebagai gantinya dibentuk KOTRAR (Komando Tertinggi Retooling Aparatur Negara) di bawah pimpinan Dr. Subandrio dan jenderal A. Yani. Orang tak merasakan hasil kerja KOTRAR.... Dan tibalah masa Orde Baru. Pemerintah memberikan reaksi positif atas semangat anti korupsi menjelang 1970. "Tidak perlu diragukan lagi. Saya memimpin langsung pemberantasan korupsi", Kata Presiden Soeharto pada 16 Agustus 1970. Sebelum itu, 1968, Pemerintah membentuk Team Pemberantasan Korupsi. Kemudian awal 1970 didirikan pula Komisi IV di bawah Wilopo yang bertugas memberikan pertimbangan kepala Pemerintah tentang pembasmian korupsi. Disamping ramai-ramai Pertamina. Keras pula isyu penyelewengan di Bulog masalah Coopa, CV Waringin, PT Mantrust. Departemen Agama (waktu itu PN Telekom, dll) Sementara semangat anti korupsi berkumandang terus, terutama dari mahasiswa dan pers. Pemerintah pun menyadari perlunya sarana hukum yang seirama dengan perkembangan pesat itu. Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 25/1960 dirasa kurang ampuh untuk menangguk koruptor, apalagi sang kakap. Tanpa pembicaraan DPR yang bertele-tele UUAK pun lahir. Ia ibarat pukat harimau, yang bisa menangguk ikan kakap sampai ke teri. Korupsi diartikan dengan lebih terperinci dan luas. Maka pelaku korupsi antara lain: * Orang yang dengan melawan hukum melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak merugikan keuangan dan perekonomian Negara. * Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan, yang secara langsung atau tidak dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara. * Siapa saja yang melakukan kejahatan seperti yang disebut dalam pasal-pasal KUHP tertentu. Selain batasan korupsi yang lebih luas, UU ini juga mengandung beberapa prinsip yang tak terdapat dalam PP sebelumnya. Dijamin bahwa seorang pelapor adanya korupsi tidak akan disiarkan nama, alamat dan identitasnya. Ini untuk menggalakkan orang supaya jangan membiarkan berkembangnya benalu itu, bila ada dirasakan secara nyata. Juga ditentukan adanya kewajiban bagi tersangka untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, yang diduga ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan, apabila diminta oleh penyidik. Yang lebih penting adalah berkenaan dengan teknik pembuktian. Maklumlah korupsi itu terasa ada, terbuktikan payah, bukan? Ada seorang pejabat tinggi. Gajinya bisa diketahui dari tabel PGPS. Tapi pejabat, yang adalah pelayan rakyat itu punya gaya hidup yang mewah meriah. Mobil lebih dari satu, rumah bagaikan istana, keluar masuk rumah maksiat yang mewah, pelayan bagaikan khadam-khadam di istana kerajaan Melayu lama. Korupsikah bapak besar itu? Ataukah kekayaannya diturunkan oleh nenek moyangnya'? Ataukah dia memang berbakat "makelar" secara halal? Beberapa cerdik pandai mengusulkan dipakainya cara yang sudah dipakai di Malaysia: pembuktian terbalik. Lain dengan asas biasa, di pengadilan si tertuduhlah yang harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah atas tuduhan yang dibebankan penuntut umum. Dalam hal fiksi di atas, pejabat itu yang harus meyakinkan mahkamah bahwa semua harta benda dan pembiayaan kehidupannya itu diperolehnya dengan jalan yang memang halal. Penuntut umum di sini pasif saja. Jadi singkatnya di sini ada pra anggapan korupsi (presumption of corruption). Kaum cerdik yang lain menolak asas ini, yang di Indonesia saat ini baru dibolehkan dipakai untuk perkara-perkara penghinaan dan penistaan. Kata mereka, ini bertentangan dengan hak asasi manusia: Bahwa seorang belum dianggap salah sebelum hakim menyatakan demikian. Maka tugas jaksa yang jadi penuntut umumlah untuk membuktikan kebersalahan seorang yang dituduhnya. Dalam soal UU Anti Korupsi ini Pemerintah menganut faham terakhir. Tapi agak menyerong dari asas pembuktian biasa. Sebab seperti terbaca pada pasa] 17, hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk memberi keterangan bahwa ia tidak bersalah. Apabila hakim yakin maka keterangan itu akan menguntungkan baginya. Namun penuntut umum tetap saja diwajibkan membuktikan kebersalahan yang bersangkutan. Bagaimana kalau terdakwa tidak berhasil memberi keterangan tentang ketidakbersahannya? Itu suatu kerugian baginya. Di sini pun toh jaksa masih tetap bertugas membuktikan bahwa terdakwalah yang melakukan kejahatan yang dituntutkannya. Demikian inti sang undang-undang. Mungkin mengena ucapan Wilopo, bahwa yang penting dalam hal korupsi ini adalah bagaimana menindaknya. R.O. Tambunan. orang DPR dari Golkar itu juga berpandangan bahwa kekurang berhasilan pemberantasan korupsi akhir-akhir ini adalah karena kepasifan Pemerintah. Kepada TEMPO pekan lalu ia menilai: Kejaksaan Agung hanya menerima laporan, itu pun tak pula spontan ditangani. "Bukan maksud saya untuk mendiskreditkan Pemerintah atau para pejabatnya", ucap Tambunan. Tambunan yang sehari-hari adalah pengacara itu punya pengalaman menarik. Sebagai anggota DPR untuk bidang hukum ia bersama rombongan sekali meninjau sebuah pengadilan di Sumatera Utara. Mendapat laporan adanya permainan uang, Tambunan menanyakan hal tersebut pada hakim pengadilan di situ. Hakim ini sudah jelas menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa waktu kemudian Tambunan datang lagi ke daerah tersebut. Berurusan dengan hakim yang kebetulan sama, Tambunan atas nama kliennya mengajukan permohonan tahanan luar untuk salah seorang famili sang klien. Hakim tersebut bilang boleh saja, asalkan kepadanya diberi sejumlah uang. Tambunan kontan marah. "Tentu tidak saya beri sepeser pun. Tugas hakim untuk menerima atau menolak permohonan itu, Hakim itu sudah kelewatan muka tebalnya," kata Tambunan. Tambunan yang "bermuka tebal" seperti kata Tambunan itu bukan cuma terjadi pada diri hakim di Sumatera Utara. Agak mengherankan juga mengapa seorang hakim yang ingin "main" itu sampai berani berterus-terang minta sesuatu kepada seorang anggota DPR dari Pusat? Barangkali keterus-terangan begitulah yang biasa terjadi pada tingkat daerah. Tambunan sendiri tak menjelaskan lebih jauh apakah sikap begitu sudah merupakan kebiasaan, sekalipun tentu saja tak bisa dipukul rata terjadi pada setiap penegak hukum. Tapi ada juga yang berpendapat penyelewengan jabatan itu timbul karena hakim tersebut sudah terjerembab dalam pusaran birokrasi yang lazim berlaku dalam kantornya. Dan sadar atau pun tidak, dia sudah merupakan bagian dari sebuah "organisasi" tanpa bentuk yang mengenal kelaziman minta uang jasa serupa itu. Berada di tengah suasana seperti itu, seorang pimpinan akan dihadapi dua pilihan: tetap berkeras untuk tak ikut main dan mencoba merubah suasana atau -- kalau dia tergolong lemah akan ikut arus agar diterima sebagai atasan. Seorang petugas kejaksaan dalam omong-omong dengan TEMPO dengan gembira menyatakan bahwa antara pimpinan dan bawahan di kantornya sudah timbul pengertian. "Sudah in tune': begitu istilah yang dipakainya. Maka menjadi pertanyaan siapa yang mengepaskan diri dengan siapa? Apakah lapisan tengah dan bawahan yang mengepaskan diri dengan kehendak atasan atau sebaliknya yang terjadi" Entahlah. Tapi seorang pengacara terkenal di Jakarta -- yang notabene termasuk gigih bicara soal anti korupsi dan ketidakadilan mengakui bahwa diapun dengan amat terpaksa harus ikut "menyesuaikan diri". Sekalipun, katanya, "dalam batas-batas yang menurut perasaan saya masih bisa diterima". Adalah merupakan perbuatan rutin bagi pengacara itu untuk setiap bulan mengirim hadiah. "Saya mulanya mencoba untuk tak berbuat begitu", katanya. "Tapi tanpa upeti semua urusan bisa didep". Maka kalau ada penegak hukum yang mampu naik Mercy, punya beberapa hektar tanah di pinggiran Jakarta, punya rumah mentereng dengan dua kulkas, dan mulai banyak yang main golf, kebolehan berleha-leha begitu patut juga dipertanyakan. Adakah gaya hidup demikian disebabkan kerja sampingan alias "buka praktek" di rumah atau akibat ketiban warisan besar? Imam Suhadi dari Komisi III DPR mengisahkan permainan yang lazim terjadi di kalangan pegawai rendahan. Menurut anggota DPR dari fraksi PPP itu, seorang yang ingin diangkat jadi guru SD Inpres paling sedikit harus mengeluarkan dari koceknya Rp 50 ribu kepada "pak pengurus" yang statusnya pegawai negeri. Ini juga kabarnya berlaku umum pada instansi lainnya. Orang-orang yang ingin diangkat di daerah tertentu biasanya patungan sejumlah uang dan menyerahkan kepada petugas yang akan berangkat ke Pusat. Tarif tergantung kepada jenis atau golongan pegawai yang bakal diangkat itu. Di lingkungan Departemen Agama dan P & K misalnya, tarif pengurusan itu berkisar antara Rp 20.000 sampai Rp 100.000 tergantung jauh-dekatnya daerah itu dengan Pusat. Si pemberi tak wajar mengeluh akan jumlah ini, sebab di Jakarta sebagian uang itu harus dibagi-bagikan pula kepada petugas-petugas tingkat Departemen. Tarif pengurusan yang tentu saja diserahkan tanpa kwitansi itu baik di kantor perwakilan atau departemen -- berlaku juga bagi mereka yang ingin naik pangkat. Barangkali pemberian begitu bukan dipandang sebagai korupsi. Tapi baik oleh si pemberi maupun si penerima sudah dianggap sebagai hal yang "jamak" -- sekedar sebagai uang jasa. Maka tak heran kalau di antara para pemborong ada istilah yang cukup populer: take and give (menerima dan memheri). Seorang pegawai dari satu perusahaah pemborong gedung dan rumah di Jakarta pernah menceritakan pengalamannya yang bisa membuat orang yang mendengar tertawa geli. Pernah di suatu hari si pegawai itu diminta mengambil surat penting di salah satu kantor walikota Jakarta. Namun pegawai balaikota yang bersangkutan seolah tak meladeninya. Maka setelah menunggu sampai beberapa jam, wakil pemborong itu kembali menanyakan hal surat yang mestinya sudah diteken. Mungkin merasa kesal, pegawai walikota itu pun menjawab setengah menghardik: "Saudara ini bagaimana, maunya take saja tapi tak ada give-nya". Tertawalah orang pemborong itu seraya manggut-manggut mafhum akan artinya: surat baru akan diteken kalau disertai apa-apa sesuai dengan tarifnya. Pasal take and give itu pun boleh dibilang terjadi di berbagai tempat, mulai yang besar sampai yang kccil. Dalam soal minta kredit pada bank-bank Pemerintah, istilah "down payment " alias potongan sekitar 5 sampai 10 dari jumlah kredit yang diberikan cukup dikenal sejak 10 tahun silam. Malangnya, soal "down payment" itu tak hanya terjadi pada pemberian kredit pada para pengusaha yang mau buka pabrik. Tapi juga kepada Abdul Manan di Kalibaru Jakarta yang mendapat pinjaman Rp 5 juta. Uang yang dipinjam dari bank untuk mengembangkan usaha jaring ikan dengan perahu motor trawler), hanya diterima kurang dari Rp 4,5 juta. "Lebih dari setengah juta katanya dipotong untuk biaya administrasi orang dalam". kata Abdul Manan. Cerita serupa bisa dikemukakan lebih panjang lagi. Mulai dari perbaikan jalan raya yang disulap kilometernya, sampai kepada pengalaman seorang anggota DPR dan fraksi Karya Pembangunan yang terheran-heran melihat kwitansi pita kaset di DPR yang dikatrol jadi Rp 900 sebuah. Padahal di Proyek Senen paling banter bisa diperoleh dengan Rp 400 sebuah. Kisah pengkatrolan harga itupun - dalam jumlah yang fantastis besarnya -- konon banyak terjadi pada berbagai transaksi yang pernah berlaku dalam kegiatan Pertamina. Seorang anggota team penyehatan Pertamina pernah mengungkapkan rasa gemasnya melihat permainan angka yang timbul dalam PT Krakatau Steel sewaktu masih di kuasai ir. Marjuni Wangsanegara. "Permainan harga kontrak yang terjadi itu Sungguh membuat saya tak mentolo ", katanya. "Sampai dua-tiga kali lipat dari harga pasaran yang berlaku waktu terjadinya kontrak". Ini bukan hanya terjadi dengan para kontraktor dan pensuplai luar negeri. Tapi juga dengan para kontraktor dalam negeri. Agaknya itu pula sebabnya mengapa para kontraktor itu tak begitu ngotot ketika Menteri Sumarlin yang mengetuai team penyehatan Krakatau Steel-- menggunting harga kontrak dalam hampir setiap perundingan kembali dengan para kontraktor itu. Majalah Der Spiegel dalam sebuah laporan utamanya (lihal box) mengungkapkan hagaimana perusahaan-perusahaan Jerman Barat itu sudah ikut meramaikan pasaran korupsi di berbagai negeri berkembang. Maka tak heran jika negeri-negeri berkembang itu merupakan medan persaingan di antara negeri-negeri kaya yang ingin mencari pasaran. Meskipun Spieel tak menyebut secara jelas bagaimana maskapai-maskapai Jerman Baral itu "bermain' di Indonesia kasus Krakatau Steel menunjukkan bahwa ada banyak hal yang tak beres dalam proyek itu. (TEMPO 1 April 1975). Memang perhatian Pemerintah sekarang adalah untuk menyehatkan perusahaan minyak dan gas bumi negara yang nyaris tak tertolong itu. Tapi kalau tiba waktunya bagi Jaksa Agung, Ali Said untuk menyelidiki ketidak beresan dalam Pertamina. agaknya Menteri PAN Sumarlin -- yang jadi terkenal dengan praktek "Sidik" itu tentu bisa mensuplai fihak Kejaksaan dengan aneka bahan yang menarik. Bukan saja dalam Krakatau Steel. Tapi juga dalam berbagai proyek besar lainnya, hingga mengakibatkan negeri ini berhutang bermilyar dolar. Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah perbuatan korup di Indonesia sekarang sudah begitu rupa hingga dipandang berbahaya bagi pembangunan? Ada yang beranggapan bahwa Indonesia yang sedikit banyak memiliki minyak itu masih bisa membangun "meski dengan borok". Tapi ada pula yang menilai bahwa korupsi tingkat tinggi di Indonesia itu sudah membahayakan pembangunan. "Para Menteri tak pernah menyebutkan berapa besar andil korupsi itu dalam menaikkan tingkat inflasi",kata seorang ekonom. "Tapi harga tanah dan bangunan yang agak mereda setelah krisis Pertamina merupakan contoh adanya inflasi yang dibuat-buat (artificial) di bidang itu". Di tahun 1974, ketika isyu korupsi ramai diperdebatkan, Dr Kadarman tampil dengan sinyalemen bahwa korupsi di negeri ini sudah mencapai 300 dari Pendapatan Nasional (GNP). Tentu hipotesa Kadarman bisa meleset. Namun setelah timbulnya kejutan hutang yang besar itu, agaknya sudah waktunya dipercakapkan sejauh mana penyelewengan yang terjadi di negeri ini bisa membahayakan kapal Pembangunan. Atau perbuatan-perbuatan semacam itu -- asalkan tak keterlaluan besarnya -- sudah dipandang sebagai suatu kebiasaan sehari-hari, yang dalam kata-kata Bung Hatta sudah dipandang "membudaya"? Memang soalnya serba sulit untuk bisa dibuktikan. Korupsi di Indonesia -- bak kata pepatah -- sungguh bagaikan si bisu: Terasakan ada, terkatakan tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus