SETELAH senyap-senyap sejak tahun 1970-an, korupsi sekarang
dipercakapkan lagi. Terakhir Pemerintah menegaskan bahwa benalu
itu masih terus diperangi. Cuma, seperti dikatakan Jaksa Agung
Ali Said SH pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan
Agung sudah menjadi pekerjaan rutin. Dalam rapat Kerja bersama
Komisi III DPR pimpinan Ny. Mudijomo SH pekan lalu, Jaksa Agung
menegaskan bahwa walaupun saat ini jarang terdengar adanya
pemberantasan korupsi secara besar-besaran -- seperti di bidang
penyelundupan dan narkotika -- Pemerintah terus mengantamirnya.
Sebagai dikatakan Wilopo,"korupsi dan penyelewengan lainnya
adalah masalah hidup atau matinya kita bersama" Karena itulah
agaknya orang ingin melihat Pemerintah lebih trampil lagi dalam
pentrabasan korupsi . Apalagi, khusus untuk korupsi telah ada
alat baru Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No.3
tahun 1971. Iazim discbut UU Anti Korupsi (UUAK). Wilopo yang
paling akhir bicara soal trio penyeleweng di Indonesia pun
berpandangan seharusnya aparat Kejaksaan bisa bertindak lebih
keras (lihat: Satu Jam dengan Wilopo).
Dalam suasana demikian tahu-tahu ada berita dari negara
tetangga. Datuk Harun bin Idris. Menteri Besar Selangor Malaysia
oleh pengadilan sana telah dihukum 2 tahun penjara. Dia
dipersalahkan karena jabatannya telah menerima uang suap dari
sebuah bank di Hongkong. Uang yang berjumlah sekitar Rp 80 juta
itu menuruttuduhan dipakai untuk mempengaruhi Harun, sebagai
Menteri Besar, guna memperoleh persetujuan dari pemerintah
Selangor terhadap rencana bank tersebut untuk menyatukan
beberapa buah gedungnya (TEMPO, 29 Mei).
Di Jakarta Ketua Lembaga Bantuan Hukum, Adnan Buyung Nasution SH
memberikan reaksi atas putusan bersejarah dari tetangga seberang
itu. Kepada Kompas, ia mengemukakan 3 hal yang patut ditarik
dari proses peradilan Datuk Harun. Pertama, adanya sikap mental
tanpa pandang bulu dalam menegakkan hukum. Tak soal apakah
tersangka seorang Menteri Besar, dan bahkan disebut-sebut
sebagai calon Perdana Menteri Malaysia, tetap tidak kebal
terhadap hukum. Kedua, norma-norma hukum dan moral amat
dijunjung tinggi di kerajaan itu. Jadi seorang pejabat yang
menerima imbalan jasa, karena pelayanannya kepada masyarakat --
yang adalah kewajibannya -- termasuk melakukan korupsi. Bukan
seperti gejala-gejala dalam masyarakat kita sekarang, yang
menganggap hal seperti itu sebagai hak yang wajar. Begitu
pandangan Buyung yang meneruskan: "Bisa dibayangkan berapa
banyak kasus serupa itu yang menyangkut pejabat-pejabat kita.
Yang menerima imbalan jasa, bukan saja dalam soal tanah atau
kaveling. Melainkan dalam berbagai proyek. order-order pembelian
dan sebagainya, yang menjadi wewenangnya". Ketiga, Buyung
menunjukkan kenyataan bahwa Hakim Raja Azlan Shah. adalah bekas
rekan Datuk I Harun dalam Kementerian Kehakiman Malaysia Fakta
ini menunjukkan bahwa orang-orang di sana bisa bersikap lugas.
R.O. Tambunan SH, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Karya
Pembangunan juga memberi pandangan yang lebih kurang sama dengan
Buyung.
Sebelum angin Datuk Harun bertiup, lidah orang masih belum
kering dengan kejutan hutang Pertamina. Tapi di balik itu ada
pula yang bisik-bisik tentang kemungkinan memintai tanggungjawab
hukum pimpinannya.
Kasus Datuk Harun maupun Pertamina hanya sekedar mengingatkan
orang pada situasi hitam yang sudah klasik. Lingkaran situasi
itu dihimpit oleh masalah penyelundupan yang lain pula sifatnya
dengan penyelundupan model lama. Pemerintah sudah bersikap galak
terhadap para penyelundup, khususnya para importir swasta.
Nusakambangan sudah tersedia. Kedua bentuk perbuatan serong itu
kini bagaikan lingkaran tak berbatas. Makin dimasuki, makin
sukar ditemukan batasnya.
Penyelundupan dan korupsi itu memang bagaikan saudara kembar.
Ali Said kepada DPR menyebutkan dalam suatu penyelundupan pun
bisa terkandung perbuatan korupsi. Memang sudah banyak contoh.
Bahkan yang menarik adalah kasus Robby Tjahjadi, pedagang mobil
yag telah merugikan negara lebih Rp 600 juta itu. Kepadanya
bahkan sengaja dipakai UUAK. Menurut Jaksa Agung Sugih Arto
waktu itu dipakainya UUAK adalah supaya lebih mendekati rasa
keadilan masyarakat (TEMPO, 17 Maret 1973). Lain dengan
peraturan yang berkaitan dengan penyelundupan, UUAK mengancam
hukuman 20 tahun, bahkan sampai seumur hidup.
Oleh Majelis Hakim pimpinan Bismar Siregar SH dari Pengadilan
Negeri Jakarta Utara-Timur Robby dihukum 7 1/2 tahun, denda Rp
10 juta serta perampasan rumah terhukum yang bernilai Rp 100
juta di samping barang-barang lainnya. Pada tingkat banding,
Robby mendapat keringanan hukuman menjadi 2 1/2 tahun plus
denda Rp 5 juta. Sekarang tentu pedagang mobil itu sudah
merdeka, karena dipotong masa tahanan.
Robby adalah tes untuk mencoba UUAK. Sekaligus,kasusnya besar
karena dia main-main dengan mobil mewah. Ada Robby, ada Ahu
Kiswo. Dianggap sebagai kongsi Rohhy. bekas Kepala Dinas
Pemberantasan Penyelundupan Bea Cukai Tanjung Priok ini, di
antaranya juga kena libasan UUAK. Untuk kejahatan korupsi
tersebut Abu kena 5 tahun dan denda Rp 7,5 juta sedangkan untuk
kejahatan ekonominya, Abu dibebani 2 1/2 tahun dan denda Rp 10
juta atau kurungan 4 bulan. Ada sedikit kemacetan. Khusus untuk
perkara korupsi. Pengadilan Tinggi Jakarta memulangkan berkas
Abu ke Bismar Siregar. karena ada pemeriksaan yang mesti
dilengkapi. Kini pemeriksaan itu sudah selesai. Tinggal menunggu
palu Hakim Tinggi. Sementara itu merasa tidak mampu membayar
denda yang Rp 10 juta -- untuk tindak pidana ekonominya --, Abu
dalam suratnya kepada Pengadilan Tinggi minta supaya ia
dibenarkan menjalani hukuman kurungan saja, yakni 4 bulan
penjara.
Memang setelah itu tak kelihatan ada perkara besar. Catatan
Kejaksaan Agung yang diperoleh TEMPO melalui kepala ubungan
Masyarakat Kejaksaan Agung, Tomasouw SH, menyebutkan ada 385
perkara yang digarap selama tahun 1975. Diantaranya 57 sudah
diputus, 154 yang helum diputus oleh pengadilan, dan 174 masih
dalam penyelidikan. Setahun sebelumnya angka itu adalah 340:
yang sudah diputus 71. yang belum diputus 106, dan yang masih
disidik 13. Angka-angka ini makin ke belakang makin meninggi.
Di tahun 197 ada 572 perkara: yang sudah divonis 206, yang
dilimpahkan ke pengadilan 150, dan masih dalam pengusutan 216.
Tahun 1972 ada 502 perkara: setahun sebehlmnya 610 dan di tahun
1970 ada 462. Presiden Soeharto sendiri dalam Pidato Kenegaraan
16 Agustus 1970 menyebutkan usaha pemberantasan korupsi selama
tahun 1969: yang telah diajukan ke pengadilan 144 perkara, 90 di
antaranya telah diputus dan 33 perkara lagi masih dalam tahap
penyidikan Kejaksaan Sedangkan Team Pemberantasan Krupsi (TPK)
yang dibentuk 1968, hingga 1974 telah berhasil menyelamatkan
uang Negara Rp 1,3 milyar lebih.
DATA ini tak dapat dilengkapi oleh Departemen Kehakiman maupun
Mahkamah Agung. Menurut Wantjik Saleh SH, Kepala Bagian
Statistik Ketatalaksanaan Direktorat Jenderal Pembinaan Badan
Peradilan, saat ini data mengenai proses peradilan korupsi belum
ada pada Departemen. Sedangkan Pitoyo SH, Panitera pada Mahkamah
Agung juga memberikan jawaban yang mirip. Data itu kabarnya
sudah ada, hanya belum disusun. Sekiranya gambaran takta itu
sudah ada dan bisa diumumkan, mungkin bisa diperoleh gambaran
bagaimana perkembangan peradilannya sendiri: berapa hukuman
rata-rata, apakah terhukum selalu naik banding, bagaimana
pengadilan tinggi, Mahkamah Agung dan seterusnya.
Kasus Datuk Harun agaknya membuat orang di sini mengenang masa
silam. Sekitar pertengahan tahun 1950an. di masa Jaksa Agung
Suprapto. Beberapa pejabat penting harus berhadapan dengan
pengadilan. Misalnya bekas Menteri Kehakiman Mr. Djody
Gondokusumo tahun 1955 telah dihukum satu tahun karena terbukti
bersalah menerima uang suap Rp 40 ribu (Empat puluh ribu rupiah
saja) dalam urusan pemberian visa kepada seorang Cina. Bekas
MEnteri Agama Wahib Wahab juga harus mempertanggungjawabkan
perbuatan penyelewengan jabatan. Untunglah dia dapat grasi.
Bekas Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo juga pernah
harus berurusan dengan pengadilan karena beberapa tindakannya
Bekas Menteri Luar Negeri Kuslan Abdulgani tahun 1957 oleh
Mahkamah Agung dikenai denda Rp 5 ribu atau hukuman 1 bulan,
sehab telah membawa titipan uang sebanyak US $ 11 ribu ke luar
negeri. Semua tindak pidana yang diperkarakan terjadi dalam
jabatan masing-masing selaku Menteri.
BANYAK lagi kasus-kasus lain, walaupun tak sampai ke
pengadilan. Pada kelompok yang terakhir ini, kejadian-kejadian
penahanan itu belum dapat dinilai apa-apa. Maklumlah karena
suasana yang liberal, perang politik dapat membuat seseorang
berhubungan dengan hamba hukum. Sekalipun itu namanya pejabat
tinggi.
Setelah fase itu datang masa Nasution dengan Operasi Budhi-nya.
Selama 3 bulan kerja setelah pembentukan operasi tersebut pada
1964 berhasil diselamatkan Rp 11 milyar. Operasi Budhi
sebenarnya bertujuan memeriksa semua PN berkenaan
kebijaksanaan, organisasi dan inventaris dan kekayaan para
direkturnya. Tapi Operasi Budhi tak berumur lama. Baru memeriksa
1/7 laporan yang masuk, Operasi Budhi/PARAN (singkatan Panitia
Retooling Aparatur lslegara) dibubarkan Presiden Soekarno.
Sebagai gantinya dibentuk KOTRAR (Komando Tertinggi Retooling
Aparatur Negara) di bawah pimpinan Dr. Subandrio dan jenderal
A. Yani. Orang tak merasakan hasil kerja KOTRAR....
Dan tibalah masa Orde Baru. Pemerintah memberikan reaksi positif
atas semangat anti korupsi menjelang 1970. "Tidak perlu
diragukan lagi. Saya memimpin langsung pemberantasan korupsi",
Kata Presiden Soeharto pada 16 Agustus 1970. Sebelum itu,
1968, Pemerintah membentuk Team Pemberantasan Korupsi. Kemudian
awal 1970 didirikan pula Komisi IV di bawah Wilopo yang
bertugas memberikan pertimbangan kepala Pemerintah tentang
pembasmian korupsi. Disamping ramai-ramai Pertamina. Keras
pula isyu penyelewengan di Bulog masalah Coopa, CV Waringin, PT
Mantrust. Departemen Agama (waktu itu PN Telekom, dll)
Sementara semangat anti korupsi berkumandang terus, terutama
dari mahasiswa dan pers. Pemerintah pun menyadari perlunya
sarana hukum yang seirama dengan perkembangan pesat itu.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 25/1960 dirasa kurang ampuh
untuk menangguk koruptor, apalagi sang kakap. Tanpa pembicaraan
DPR yang bertele-tele UUAK pun lahir. Ia ibarat pukat harimau,
yang bisa menangguk ikan kakap sampai ke teri. Korupsi diartikan
dengan lebih terperinci dan luas. Maka pelaku korupsi antara
lain: * Orang yang dengan melawan hukum melakukan perbuatan
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan,
yang secara langsung atau tidak merugikan keuangan dan
perekonomian Negara. * Orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan, yang secara langsung atau tidak dapat merugikan
keuangan atau perekonomian Negara. * Siapa saja yang melakukan
kejahatan seperti yang disebut dalam pasal-pasal KUHP tertentu.
Selain batasan korupsi yang lebih luas, UU ini juga mengandung
beberapa prinsip yang tak terdapat dalam PP sebelumnya. Dijamin
bahwa seorang pelapor adanya korupsi tidak akan disiarkan nama,
alamat dan identitasnya. Ini untuk menggalakkan orang supaya
jangan membiarkan berkembangnya benalu itu, bila ada dirasakan
secara nyata. Juga ditentukan adanya kewajiban bagi tersangka
untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya,
yang diduga ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan,
apabila diminta oleh penyidik. Yang lebih penting adalah
berkenaan dengan teknik pembuktian. Maklumlah korupsi itu terasa
ada, terbuktikan payah, bukan?
Ada seorang pejabat tinggi. Gajinya bisa diketahui dari tabel
PGPS. Tapi pejabat, yang adalah pelayan rakyat itu punya gaya
hidup yang mewah meriah. Mobil lebih dari satu, rumah bagaikan
istana, keluar masuk rumah maksiat yang mewah, pelayan bagaikan
khadam-khadam di istana kerajaan Melayu lama. Korupsikah bapak
besar itu? Ataukah kekayaannya diturunkan oleh nenek moyangnya'?
Ataukah dia memang berbakat "makelar" secara halal?
Beberapa cerdik pandai mengusulkan dipakainya cara yang sudah
dipakai di Malaysia: pembuktian terbalik. Lain dengan asas
biasa, di pengadilan si tertuduhlah yang harus membuktikan bahwa
dia tidak bersalah atas tuduhan yang dibebankan penuntut umum.
Dalam hal fiksi di atas, pejabat itu yang harus meyakinkan
mahkamah bahwa semua harta benda dan pembiayaan kehidupannya itu
diperolehnya dengan jalan yang memang halal. Penuntut umum di
sini pasif saja. Jadi singkatnya di sini ada pra anggapan
korupsi (presumption of corruption).
Kaum cerdik yang lain menolak asas ini, yang di Indonesia saat
ini baru dibolehkan dipakai untuk perkara-perkara penghinaan dan
penistaan. Kata mereka, ini bertentangan dengan hak asasi
manusia: Bahwa seorang belum dianggap salah sebelum hakim
menyatakan demikian. Maka tugas jaksa yang jadi penuntut umumlah
untuk membuktikan kebersalahan seorang yang dituduhnya.
Dalam soal UU Anti Korupsi ini Pemerintah menganut faham
terakhir. Tapi agak menyerong dari asas pembuktian biasa. Sebab
seperti terbaca pada pasa] 17, hakim dapat memperkenankan
terdakwa untuk memberi keterangan bahwa ia tidak bersalah.
Apabila hakim yakin maka keterangan itu akan menguntungkan
baginya. Namun penuntut umum tetap saja diwajibkan membuktikan
kebersalahan yang bersangkutan. Bagaimana kalau terdakwa tidak
berhasil memberi keterangan tentang ketidakbersahannya? Itu
suatu kerugian baginya. Di sini pun toh jaksa masih tetap
bertugas membuktikan bahwa terdakwalah yang melakukan kejahatan
yang dituntutkannya. Demikian inti sang undang-undang.
Mungkin mengena ucapan Wilopo, bahwa yang penting dalam hal
korupsi ini adalah bagaimana menindaknya. R.O. Tambunan. orang
DPR dari Golkar itu juga berpandangan bahwa kekurang berhasilan
pemberantasan korupsi akhir-akhir ini adalah karena kepasifan
Pemerintah. Kepada TEMPO pekan lalu ia menilai: Kejaksaan Agung
hanya menerima laporan, itu pun tak pula spontan ditangani.
"Bukan maksud saya untuk mendiskreditkan Pemerintah atau para
pejabatnya", ucap Tambunan.
Tambunan yang sehari-hari adalah pengacara itu punya pengalaman
menarik. Sebagai anggota DPR untuk bidang hukum ia bersama
rombongan sekali meninjau sebuah pengadilan di Sumatera Utara.
Mendapat laporan adanya permainan uang, Tambunan menanyakan hal
tersebut pada hakim pengadilan di situ. Hakim ini sudah jelas
menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa waktu kemudian Tambunan
datang lagi ke daerah tersebut. Berurusan dengan hakim yang
kebetulan sama, Tambunan atas nama kliennya mengajukan
permohonan tahanan luar untuk salah seorang famili sang klien.
Hakim tersebut bilang boleh saja, asalkan kepadanya diberi
sejumlah uang. Tambunan kontan marah. "Tentu tidak saya beri
sepeser pun. Tugas hakim untuk menerima atau menolak permohonan
itu, Hakim itu sudah kelewatan muka tebalnya," kata Tambunan.
Tambunan yang "bermuka tebal" seperti kata Tambunan itu bukan
cuma terjadi pada diri hakim di Sumatera Utara. Agak
mengherankan juga mengapa seorang hakim yang ingin "main" itu
sampai berani berterus-terang minta sesuatu kepada seorang
anggota DPR dari Pusat? Barangkali keterus-terangan begitulah
yang biasa terjadi pada tingkat daerah. Tambunan sendiri tak
menjelaskan lebih jauh apakah sikap begitu sudah merupakan
kebiasaan, sekalipun tentu saja tak bisa dipukul rata terjadi
pada setiap penegak hukum. Tapi ada juga yang berpendapat
penyelewengan jabatan itu timbul karena hakim tersebut sudah
terjerembab dalam pusaran birokrasi yang lazim berlaku dalam
kantornya. Dan sadar atau pun tidak, dia sudah merupakan bagian
dari sebuah "organisasi" tanpa bentuk yang mengenal kelaziman
minta uang jasa serupa itu. Berada di tengah suasana seperti
itu, seorang pimpinan akan dihadapi dua pilihan: tetap berkeras
untuk tak ikut main dan mencoba merubah suasana atau -- kalau
dia tergolong lemah akan ikut arus agar diterima sebagai atasan.
Seorang petugas kejaksaan dalam omong-omong dengan TEMPO dengan
gembira menyatakan bahwa antara pimpinan dan bawahan di
kantornya sudah timbul pengertian. "Sudah in tune': begitu
istilah yang dipakainya. Maka menjadi pertanyaan siapa yang
mengepaskan diri dengan siapa? Apakah lapisan tengah dan
bawahan yang mengepaskan diri dengan kehendak atasan atau
sebaliknya yang terjadi" Entahlah.
Tapi seorang pengacara terkenal di Jakarta -- yang notabene
termasuk gigih bicara soal anti korupsi dan ketidakadilan
mengakui bahwa diapun dengan amat terpaksa harus ikut
"menyesuaikan diri". Sekalipun, katanya, "dalam batas-batas yang
menurut perasaan saya masih bisa diterima". Adalah merupakan
perbuatan rutin bagi pengacara itu untuk setiap bulan mengirim
hadiah. "Saya mulanya mencoba untuk tak berbuat begitu",
katanya. "Tapi tanpa upeti semua urusan bisa didep". Maka kalau
ada penegak hukum yang mampu naik Mercy, punya beberapa hektar
tanah di pinggiran Jakarta, punya rumah mentereng dengan dua
kulkas, dan mulai banyak yang main golf, kebolehan berleha-leha
begitu patut juga dipertanyakan. Adakah gaya hidup demikian
disebabkan kerja sampingan alias "buka praktek" di rumah atau
akibat ketiban warisan besar?
Imam Suhadi dari Komisi III DPR mengisahkan permainan yang lazim
terjadi di kalangan pegawai rendahan. Menurut anggota DPR dari
fraksi PPP itu, seorang yang ingin diangkat jadi guru SD Inpres
paling sedikit harus mengeluarkan dari koceknya Rp 50 ribu
kepada "pak pengurus" yang statusnya pegawai negeri. Ini juga
kabarnya berlaku umum pada instansi lainnya. Orang-orang yang
ingin diangkat di daerah tertentu biasanya patungan sejumlah
uang dan menyerahkan kepada petugas yang akan berangkat ke
Pusat. Tarif tergantung kepada jenis atau golongan pegawai yang
bakal diangkat itu. Di lingkungan Departemen Agama dan P & K
misalnya, tarif pengurusan itu berkisar antara Rp 20.000 sampai
Rp 100.000 tergantung jauh-dekatnya daerah itu dengan Pusat. Si
pemberi tak wajar mengeluh akan jumlah ini, sebab di Jakarta
sebagian uang itu harus dibagi-bagikan pula kepada
petugas-petugas tingkat Departemen. Tarif pengurusan yang tentu
saja diserahkan tanpa kwitansi itu baik di kantor perwakilan
atau departemen -- berlaku juga bagi mereka yang ingin naik
pangkat.
Barangkali pemberian begitu bukan dipandang sebagai korupsi.
Tapi baik oleh si pemberi maupun si penerima sudah dianggap
sebagai hal yang "jamak" -- sekedar sebagai uang jasa. Maka tak
heran kalau di antara para pemborong ada istilah yang cukup
populer: take and give (menerima dan memheri). Seorang pegawai
dari satu perusahaah pemborong gedung dan rumah di Jakarta
pernah menceritakan pengalamannya yang bisa membuat orang yang
mendengar tertawa geli. Pernah di suatu hari si pegawai itu
diminta mengambil surat penting di salah satu kantor walikota
Jakarta. Namun pegawai balaikota yang bersangkutan seolah tak
meladeninya. Maka setelah menunggu sampai beberapa jam, wakil
pemborong itu kembali menanyakan hal surat yang mestinya sudah
diteken. Mungkin merasa kesal, pegawai walikota itu pun menjawab
setengah menghardik: "Saudara ini bagaimana, maunya take saja
tapi tak ada give-nya". Tertawalah orang pemborong itu seraya
manggut-manggut mafhum akan artinya: surat baru akan diteken
kalau disertai apa-apa sesuai dengan tarifnya.
Pasal take and give itu pun boleh dibilang terjadi di berbagai
tempat, mulai yang besar sampai yang kccil. Dalam soal minta
kredit pada bank-bank Pemerintah, istilah "down payment " alias
potongan sekitar 5 sampai 10 dari jumlah kredit yang diberikan
cukup dikenal sejak 10 tahun silam. Malangnya, soal "down
payment" itu tak hanya terjadi pada pemberian kredit pada para
pengusaha yang mau buka pabrik. Tapi juga kepada Abdul Manan di
Kalibaru Jakarta yang mendapat pinjaman Rp 5 juta. Uang yang
dipinjam dari bank untuk mengembangkan usaha jaring ikan dengan
perahu motor trawler), hanya diterima kurang dari Rp 4,5 juta.
"Lebih dari setengah juta katanya dipotong untuk biaya
administrasi orang dalam". kata Abdul Manan.
Cerita serupa bisa dikemukakan lebih panjang lagi. Mulai dari
perbaikan jalan raya yang disulap kilometernya, sampai kepada
pengalaman seorang anggota DPR dan fraksi Karya Pembangunan yang
terheran-heran melihat kwitansi pita kaset di DPR yang dikatrol
jadi Rp 900 sebuah. Padahal di Proyek Senen paling banter bisa
diperoleh dengan Rp 400 sebuah. Kisah pengkatrolan harga itupun
- dalam jumlah yang fantastis besarnya -- konon banyak terjadi
pada berbagai transaksi yang pernah berlaku dalam kegiatan
Pertamina. Seorang anggota team penyehatan Pertamina pernah
mengungkapkan rasa gemasnya melihat permainan angka yang timbul
dalam PT Krakatau Steel sewaktu masih di kuasai ir. Marjuni
Wangsanegara. "Permainan harga kontrak yang terjadi itu Sungguh
membuat saya tak mentolo ", katanya. "Sampai dua-tiga kali lipat
dari harga pasaran yang berlaku waktu terjadinya kontrak". Ini
bukan hanya terjadi dengan para kontraktor dan pensuplai luar
negeri. Tapi juga dengan para kontraktor dalam negeri. Agaknya
itu pula sebabnya mengapa para kontraktor itu tak begitu ngotot
ketika Menteri Sumarlin yang mengetuai team penyehatan Krakatau
Steel-- menggunting harga kontrak dalam hampir setiap
perundingan kembali dengan para kontraktor itu.
Majalah Der Spiegel dalam sebuah laporan utamanya (lihal box)
mengungkapkan hagaimana perusahaan-perusahaan Jerman Barat itu
sudah ikut meramaikan pasaran korupsi di berbagai negeri
berkembang. Maka tak heran jika negeri-negeri berkembang itu
merupakan medan persaingan di antara negeri-negeri kaya yang
ingin mencari pasaran. Meskipun Spieel tak menyebut secara
jelas bagaimana maskapai-maskapai Jerman Baral itu "bermain' di
Indonesia kasus Krakatau Steel menunjukkan bahwa ada banyak
hal yang tak beres dalam proyek itu. (TEMPO 1 April 1975).
Memang perhatian Pemerintah sekarang adalah untuk menyehatkan
perusahaan minyak dan gas bumi negara yang nyaris tak tertolong
itu. Tapi kalau tiba waktunya bagi Jaksa Agung, Ali Said untuk
menyelidiki ketidak beresan dalam Pertamina. agaknya Menteri PAN
Sumarlin -- yang jadi terkenal dengan praktek "Sidik" itu tentu
bisa mensuplai fihak Kejaksaan dengan aneka bahan yang menarik.
Bukan saja dalam Krakatau Steel. Tapi juga dalam berbagai proyek
besar lainnya, hingga mengakibatkan negeri ini berhutang
bermilyar dolar.
Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah perbuatan korup
di Indonesia sekarang sudah begitu rupa hingga dipandang
berbahaya bagi pembangunan? Ada yang beranggapan bahwa Indonesia
yang sedikit banyak memiliki minyak itu masih bisa membangun
"meski dengan borok". Tapi ada pula yang menilai bahwa korupsi
tingkat tinggi di Indonesia itu sudah membahayakan pembangunan.
"Para Menteri tak pernah menyebutkan berapa besar andil korupsi
itu dalam menaikkan tingkat inflasi",kata seorang ekonom. "Tapi
harga tanah dan bangunan yang agak mereda setelah krisis
Pertamina merupakan contoh adanya inflasi yang dibuat-buat
(artificial) di bidang itu". Di tahun 1974, ketika isyu korupsi
ramai diperdebatkan, Dr Kadarman tampil dengan sinyalemen bahwa
korupsi di negeri ini sudah mencapai 300 dari Pendapatan
Nasional (GNP). Tentu hipotesa Kadarman bisa meleset. Namun
setelah timbulnya kejutan hutang yang besar itu, agaknya sudah
waktunya dipercakapkan sejauh mana penyelewengan yang terjadi di
negeri ini bisa membahayakan kapal Pembangunan. Atau
perbuatan-perbuatan semacam itu -- asalkan tak keterlaluan
besarnya -- sudah dipandang sebagai suatu kebiasaan sehari-hari,
yang dalam kata-kata Bung Hatta sudah dipandang "membudaya"?
Memang soalnya serba sulit untuk bisa dibuktikan. Korupsi di
Indonesia -- bak kata pepatah -- sungguh bagaikan si bisu:
Terasakan ada, terkatakan tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini