Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARJOKO Trisnadi kedatangan tamu tak diundang di kantor majalah Tempo di lantai III Pusat Perdagangan Senen, Jakarta Pusat, pada suatu siang, pertengahan 1974. Mereka utusan sebuah perusahaan produsen kamera yang banyak memasang iklan di majalah Tempo. Sang tamu datang untuk bertemu dengan Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Tempo saat itu. ”Mereka meminta kasus tentang produknya yang cacat di sejumlah daerah tidak ditulis,” kata Harjoko, yang saat itu menduduki dua jabatan: direktur dan pemimpin umum.
Harjoko bingung. Sebab, GM—mereka biasa memanggil Goenawan Mohamad dengan inisial itu—tidak pernah mau bertemu dengan para pengiklan, apalagi untuk urusan berita. Harjoko berusaha menerangkan aturan itu, tapi sang tamu keukeuh bertahan menunggu di lobi kantor.
Sedang asyik berbincang, tiba-tiba GM datang dan berjalan melewati mereka. Harjoko terkejut. ”Untungnya, para tamu itu tidak mengenal wajah GM,” katanya sambil tertawa mengenang peristiwa itu. Pertemuan tidak pernah terjadi dan tulisan tentang produk gagal itu tetap turun.
Fikri Jufri, bekas Pemimpin Redaksi Tempo, punya cerita lain. Awal 1980-an, seorang direktur utama maskapai penerbangan marah besar karena sebuah tulisan di rubrik Ekonomi dan Bisnis menyudutkannya. Kemarahan itu berbuntut panjang. Seluruh kontrak iklan yang sudah diteken tiba-tiba dibatalkan secara sepihak.
”Tak hanya itu, maskapai itu juga menolak mengangkut majalah Tempo ke daerah-daerah,” kata Redaktur Senior Tempo ini. Akibatnya, distribusi majalah sempat tersendat di sejumlah daerah. Untung, ada orang yang mau berbaik hati menyewakan kargo untuk membawa majalah ini sampai ke pembaca di seluruh Indonesia.
Sejak awal Tempo berdiri, GM selalu menegaskan pemisahan bagian redaksi dan iklan. Sebagai pemimpin redaksi, ia mengaku tidak pernah sekali pun menanyakan soal iklan yang akan dipasang kepada pemimpin perusahaan, dan begitu juga sebaliknya.
Menurut dia, upaya tegas menciptakan garis api ditujukan untuk mencegah wartawan ikut-ikutan mencari iklan. Tempo pernah punya pengalaman buruk soal ini. ”Seorang wartawan pernah dipecat karena kedapatan mencari iklan,” ujar Komisaris Utama Tempo Inti Media ini.
Berpuluh tahun kemudian, upaya ”menggoda” redaksi dengan iklan masih terus terjadi. Toriq Hadad, saat menjadi Pemimpin Redaksi Koran Tempo, pada pertengahan 2005, pernah didatangi utusan seorang petinggi bank milik negara. Utusan itu membawa sebuah pesan agar Tempo tidak menulis lagi soal dugaan korupsi yang tengah mendera sang petinggi.
Permintaan ini tidak gratis. Sebagai kompensasi untuk ”kerja sama” itu, menurut utusan tadi, Tempo bakal mendapat kontrak iklan selama setahun. ”Namun permintaan itu tidak dipenuhi,” kata Toriq, kini Kepala Pemberitaan Korporat Tempo Inti Media.
Mantan Redaktur Pelaksana Kompartemen Ekonomi dan Bisnis M. Taufiqurohman memiliki pengalaman serupa. Pertengahan 2008, majalah Tempo menurunkan liputan panjang soal pergantian direksi sebuah bank pelat merah.
Setelah tulisan itu turun, sebuah pesan dikirimkan bagian promosi bank tersebut. Kontrak iklan selama setahun yang sudah diteken akan dibatalkan. Selidik punya selidik, bos baru bank itu rupanya tersinggung oleh penggunaan satu kata dalam judul tulisan. ”Itu tidak hanya sekali. Kasus serupa sering terjadi,” kata Taufiq, sekarang Redaktur Eksekutif Koran Tempo.
Tak hanya di majalah, aturan garis api antara redaksi dan iklan juga terjadi di Koran Tempo. Dua divisi sentral dalam industri media ini berjalan beriringan tanpa saling mengganggu. Sebuah peristiwa unik pada pertengahan 2004 bisa menjadi petunjuk bagaimana mekanisme garis api berjalan.
Pada cover rubrik Ekonomi dan Bisnis tercetak iklan laporan keuangan sebuah bank swasta nasional yang mengisi setengah halaman. Saat bersamaan, headline pada halaman itu memuat berita soal anjloknya kinerja keuangan bank tersebut.
Direktur Pemasaran Tempo Inti Media Herry Hernawan mengatakan aturan garis api sudah menjadi pakem awak divisi iklan. Menurut dia, sejak awal, seorang tenaga account executive sudah ditanamkan untuk mencari iklan tanpa harus ”menjual” produk redaksi.
Kendati demikian, menurut Herry, dalam pelaksanaan tidak sepenuhnya garis api berjalan ideal. Sebab, dengan aturan itu, awak iklan bisa bebas mencari klien siapa saja seperti halnya redaksi juga bebas membuat berita. ”Namun, prakteknya, kami tetap melihat kebijakan redaksi,” katanya. Misalnya tidak menerima iklan dari perusahaan yang tersangkut masalah hukum.
Zulkifly Lubis, Komisaris Tempo Inti Media, menambahkan, redaksi memiliki kedudukan paling tinggi dibanding pihak iklan jika terjadi kontroversi pada berita yang akan dikeluarkan. Menurut dia, meski tidak ada aturan tertulis, kesepakatan itu sudah menjadi doktrin bagi Tempo dalam menjalankan bisnis. ”Ini bisa dilakukan karena Tempo adalah media tanpa majikan,” ujarnya.
Apakah Tempo memasang standar yang tinggi untuk iklan? Zulkifly membenarkan. Namun standar yang tinggi itu sedikit melunak sejak 1998, ketika Tempo memunculkan rubrik Advertorial yang memberikan halaman khusus untuk iklan. Walau begitu, kebijakan redaksi tak terpengaruh kehadiran rubrik tersebut. Tempo tetap menjaga diri dari ”kontaminasi” pihak pemasang iklan. ”Caranya tidak menyajikan advertorial dalam bentuk reportase,” katanya.
Berbisnis dengan tetap mengusung idealisme ternyata tidak menghambat Tempo untuk terus tumbuh. Direktur Utama Tempo Inti Media Bambang Harymurti mengatakan, dari sisi bisnis, Grup Tempo terus tumbuh hingga sekarang. ”Kami terus berkembang,” ujarnya.
BHM, demikian kami memanggilnya, mengatakan pertumbuhan kinerja Tempo dari tahun ke tahun menunjukkan independensi redaksi telah berdampak positif. Pilihan untuk tetap independen menjadikan Tempo media yang kredibel di mata masyarakat.
Terus tumbuh dan berkembang memang mewarnai perjalanan memasuki usia 40 tahun. Bermula dari sebuah majalah berita, Tempo terus berbiak melahirkan produk-produk baru. Situs berita Tempo Interaktif, majalah Tempo bahasa Inggris, dan Koran Tempo terus menjejakkan kaki sebagai entitas bisnis yang memiliki prospek menjanjikan. Selain itu, hadir produk baru seperti U Magazine, Travelounge, Koran Tempo edisi Makassar, dan Tempo TV.
Dari sisi kinerja keuangan, perlahan tapi pasti, Tempo Inti Media sebagai induk bisnis terus membaik dari tahun ke tahun. Sementara lima tahun lalu perseroan masih membukukan kerugian bersih Rp 6,73 miliar, pada September 2010 ”buka merah” sudah berganti menjadi laba Rp 3,64 miliar. Total aset yang semula senilai Rp 117,9 miliar melambung menjadi Rp 160,9 miliar.
Nadi bisnis Tempo akan terus bergetar. Menurut BHM, pada tahun ini perseroan mencanangkan pembangunan gedung kantor baru di Palmerah, Jakarta Barat, guna menampung kantor unit bisnis yang masih tercerai-berai di tiga tempat. ”Kami juga akan terus mengembangkan Tempo Interaktif dengan membuka opsi menggandeng mitra strategis,” ujarnya.
Lalu, ketika gurita bisnis terus menjalar seperti sekarang, bagaimana pandangan pinisepuh pendiri Tempo? ”Saya tidak pernah membayangkan Tempo akan berkembang seperti sekarang ini,” kata Harjoko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo