Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Zona Nongkrong Orang Pintar

Kolom menjadi ruang diskusi antara redaksi dan publik. Apresiasi kepada para penulisnya amat besar.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAWARAN menulis kolom di Tempo pada pengujung 1989 itu membuat Mohamad Sobary tak nyenyak tidur. Ketika itu, dia belum jadi penulis terkenal. Di matanya, kolom Tempo adalah zona nongkrong para intelektual dan penulis bernama besar. “Domainnya dosen dan orang seperti Gus Dur, Romo Mangun, Pak Sutjipto Wirosardjono,” kata Kang Sobary, panggilan akrabnya.

Biarpun sempat dua bulan gelisah, Sobary akhirnya berhasil menyelesaikan tulisan “Saya Cuma Kamino”. Esai berlatar karut-marut PKI di Bantul, tempat kelahirannya, itu dimuat di edisi 6 Oktober 1990. Sejak saat itu, dia rutin menulis kolom di Tempo.

Kolom Tempo tidak hadir begitu saja. Sengaja dirancang sejak terbitan pertama, 6 Maret 1971, kolom menjadi persemaian pikiran para kolumnis seperti di Newsweek. Ia menjadi ruang diskusi antara redaksi dan publik. Tema bisa ditentukan redaksi atau atas inisiatif penulis. “Honor cukup besar disediakan untuk penulis kolom,” kata Goenawan Mohamad.

Penulis olahraga ternama, Tan Liang Tie, mengawali tradisi penulisan kolom. Di edisi 27 Maret 1971, dia menulis “Masa Paceklik Atletik”, tentang tanggung jawab pemerintah dan negara terhadap sektor olahraga. Emil Salim, jauh sebelum menjadi Menteri Lingkungan Hidup, menulis “Aturan Permainan” di edisi 10 April 1971, tentang penyusunan anggaran.

Kolom Toeti Kakiailatu, “Nyonya Tien Soeharto The First…” di edisi 24 April 1971, memperlihatkan betapa bersahajanya ibu negara sebelum suaminya jadi otoriter. Kesibukan Tien ikut kursus privat bahasa asing, ketidaksukaannya terhadap protokoler istana, dan protes putra-putrinya akibat ia terlalu sibuk sebagai ibu negara disajikan dengan amat menawan.

Bagaimana negara seharusnya mengatur strategi ekonomi bisa dilacak lewat kolom Dorodjatun Kuntjoro-Jakti di edisi 24 April 1971. Pendek kata, semua hal diulas di kolom. Juga tentang bahasa dan kesusastraan, yang ditulis Profesor Boejoeng Poeradisastra, lulusan Universitas Lomonosov, Moskow.

Pada 1980-an, banyak kolumnis gemilang lahir dari Tempo. Yang paling produktif misalnya Abdurrahman Wahid, Ong Hok Ham, dan Emha Ainun Nadjib. Dalam pengantar buku Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di Tempo, Syu’bah Asa, redaktur opini tahun 1980-an, mengisahkan Gus Dur sangat aktif menulis. Satu tulisan belum dimuat, sudah datang yang lain. Begitu pula Ong. Saking aktifnya Dur dan Ong, Goenawan Mohamad meminta Syu’bah menyediakan meja-kursi dan mesin ketik untuk mereka.

Tiap kali datang ke kantor Tempo, Gus Dur selalu pakai sandal, berbaju hem lengan pendek, tak berpeci. Setelah ketawa-ketawa dengan awak redaksi, dia menuju mejanya, mengetik. Di tangan Syu’bah dan Goenawan, tulisan Gus Dur diperbaiki. Menurut Syu’bah, spektrum pemikiran Gus Dur amat luas, lebih luas dibanding Nurcholish Madjid atau Amien Rais. Semua topik dirambah, mulai agama, politik, sosial, perburuhan, tani, dakwah, musik, hingga sepak bola.

Saking banyaknya topik, Goenawan sempat meminta Syu’bah menasihati Gus Dur agar memperhatikan akurasi data, seperti Mahbub Djunaidi yang menulis dengan dukungan kliping kuat. Meskipun Gus Dur kerap berlama-lama di perpustakaan Tempo mengeksplorasi gagasan, dia kerap abai pada data. Ketika pesan Goenawan disampaikan, Gus Dur hanya menjawab, “Yah, dia bicara itu, saya bicara ini.”

Sementara Gus Dur menulis dengan mesin ketik, Ong menulis dengan tangan. Dia tak pernah memperhatikan titik, koma, dan tanda baca lain. Tapi buah pikirannya dahsyat. Ong tak bisa menggunakan mesin ketik karena abai pada margin. Sudah ada bunyi “ting”, masih saja mengetik. “Alhasil, banyak kata tak terbaca alias hilang,” kata Goenawan. Kumpulan tulisan Ong di Tempo (1976-2001) dibukukan dengan judul Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang.

Pada 1992, Gus Dur mulai kesulitan melihat, tapi tetap menulis di Tempo. “Beliau minta diketikkan, tapi diksi, tanda baca, semua dia yang menentukan,” kata Bondan Gunawan, sekretaris negara di zaman Gus Dur menjadi presiden. Seperti kolumnis lain, banyak pikiran Gus Dur tak sejalan dengan Tempo. “Tapi tulisan Gus Dur tetap dimuat,” kata Bondan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus