Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tidak Sekadar Kembali

Sempat terjadi persilangan pendapat. Dengan awak minim menyiapkan ”edisi perdana”.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUNI 1998. Puluhan orang berkumpul di area teater kompleks Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur. Merekalah orang-orang yang pernah bekerja di Tempo sebelum dibredel empat tahun sebelumnya. Hari itu mereka berhimpun untuk merembukkan nasib ”sang almamater”, Tempo, yang tiba-tiba berpeluang untuk diterbitkan lagi setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Di tangan mereka ada secarik kertas putih tempat mereka akan menyatakan pilihan: terbit lagi, atau tidak?

Majalah Tempo dibredel pemerintah pada 21 Juni 1994 setelah menulis Laporan Utama soal pembelian kapal perang murah dari Jerman. Tempo juga menulis friksi antara Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dengan B.J. Habibie di balik belanja armada bekas tersebut. Tak pelak, bredel ini langsung mengaramkan kisah gemilang Tempo sebagai pers berpengaruh di Tanah Air.

Namun cerita sebenarnya belum selesai. Seorang tokoh yang dekat kekuasaan menawarkan kesempatan agar Tempo bisa terbit lagi. Lima hari setelah pembredelan, ia mengundang Pemimpin Umum Tempo Eric Samola dan beberapa pemimpin lain untuk bertemu di sebuah hotel. Dia menyodorkan tawaran: Tempo bisa terbit lagi, tapi dia menguasai hak mengangkat dan memberhentikan redaksi.

Tawaran itu ditolak. Dan sejak itulah Tempo memilih jalannya sendiri: melawan pembredelan lewat pengadilan dan aksi-aksi demonstrasi. Sebagian yang lain menerbitkan publikasi-publikasi bawah tanah, juga di Internet. Tapi zaman belum berpihak. Pilihan Tempo itu membentur tembok kekuasaan yang sedang di puncak kegarangannya.

Lalu berembus angin perubahan pada 1998 bersama makzulnya Presiden Soeharto. Penguasa baru tak lagi mengontrol pers, dan peluang Tempo terbit kembali terbuka lebar. Kini keputusan ada di tangan para alumni Tempo sendiri. Mau terbit lagi, atau membiarkan Tempo menjadi bagian sejarah saja?

Maka hari itu, Juni 1998, alumni Tempo yang telah berdiaspora mengelar pertemuan di Utan Kayu. ”Pemrakarsanya Pak Zul,” kata Toriq Hadad. Agendanya tunggal: mendengar suara alumni soal perlu tidaknya Tempo terbit lagi.

Pak Zul yang dimaksud Toriq adalah Zulkifly Lubis yang pernah menjabat sebagai penanggung jawab rubrik luar negeri sebelum Tempo dibredel. Zulkifly bergabung dengan Tempo pada 1973. Setelah malang melintang sebagai jurnalis, dia lalu masuk ke Biro Manajemen Perusahaan. Zulkifly pensiun pada 2007 dengan jabatan terakhir direktur.

Menurut Zulkifly, peserta pertemuan Utan Kayu berjumlah sekitar 40 orang. Bukan hanya wartawan, karyawan di bagian lain banyak yang datang, seperti sekretaris redaksi, karyawan bagian pracetak, staf perpustakaan, bahkan pelayan kantor.

Suasana pertemuan terasa cair, hangat, dan guyub. Mereka saling menanyakan kabar dan melepas rindu. Yang jelas, hampir semua orang yang datang tampak tersenyum. ”Tapi ada juga yang harap-harap cemas, apa masih mungkin Tempo terbit lagi,” kata Diah Purnomowati. Saat itu Diah sudah bekerja di majalah D&R. Kini dia adalah Kepala Divisi Sumber Daya Manusia PT Tempo Inti Media.

Goenawan Mohamad, membuka pertemuan dengan mengatakan ada peluang Tempo hidup lagi. Lalu diskusi, seperti kesaksian Goenawan yang diungkap dalam buku Wars Within (Janet Steele, 2007), berlangsung panas. Satu pendapat menyatakan Tempo tak perlu terbit. Pendapat lain menginginkan kebalikanya. ”Yang tidak ingin terbit beralasan biarlah Tempo menjadi legenda dan tonggak perlawanan otoritarianisme,” kata S. Malela Mahargasarie, Kepala Desain Korporat Tempo. Pendapat lainnya merasa justru Tempo perlu hadir. ”Untuk apa kita menjadi legenda dan tidak berbuat apa-apa,” kata Malela.

Akhirnya dilakukan pemungutan suara. Setiap peserta menuliskan pilihannya pada secarik kertas. ”Mikirnya lama juga, tapi akhirnya saya setuju Tempo terbit lagi,” kata Diah. Dan inilah yang menjadi pilihan mayoritas hadirin. Persentase-nya sekitar 60-40.

Tapi lalu muncul masalah. Awak redaksi yang bergabung jumlahnya sangat sedikit. Modal pun belum ada. Zulkifly lalu menggelar rapat dengan Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Yusril Djalinus dan Leonardi Kusen —yang kemudian menjadi direktur utama penerbit Tempo pada 1998 hingga 2007. Akhirnya diputuskan modal awal pinjam dari PT Grafiti Pers.

Lantas siapa yang menjadi pemimpin redaksi? Semua menginginkan Goenawan kembali ke tampuk pimpinan. Semula ia tak bersedia, namun karena desakan begitu kuat akhirnya ia luluh. ”Saya mungkin lebih diterima ketimbang orang lain,” katanya. Dia mengajukan syarat hanya bersedia memimpin selama satu tahun. Bambang Harymurti ditunjuk menjadi wakilnya, dan kelak akan menggantikan Goenawan.

Lelu rapat-rapat perencanaan mulai digelar bersamaan dengan perburuan para awak redaksi. Kantor majalah Tempo yang sekarang di Proklamasi 72, Jakarta Pusat, menjadi markas resmi. Ruko empat lantai yang tak jauh dari Tugu Proklamasi itu mulai riuh. Malela masih ingat rapat awal perencanaan berlangsung dua kali seminggu. Goenawan berpesan, ”Kita harus tidak sekadar kembali.”

Bambang Harymurti saat itu mengatakan Tempo perlu menjadi clearance house of information. Sebab, di tengah eforia reformasi dan arus informasi yang begitu bebas, perlu ada media yang jernih dengan sikap jelas.

Nah, dari ide itu, Tempo merasa perlu menyediakan halaman Opini. ”Sesuatu yang sebelumnya kami tidak punya,” kata Malela. Opini ini memberikan suatu arah dan sikap Tempo atas suatu persoalan yang menjadi perhatian publik. Selain Opini, rubrik yang membuat Tempo berbeda adalah rubrik Investigasi. Ini sejatinya rubrik yang berat. ”Tetapi tulah yang membuat Tempo tidak sekadar kembali,” ujar Malela. Jumlah awak yang minim tak membikin gentar. Semangat malah kian membara. ”Pokoknya kita semua yang ada menulis apa saja, dari politik sampai ekonomi,” kata Toriq.

Pada 6 Oktober 1998, setelah empat tahun ”mati suri”, akhirnya Tempo terbit lagi. Edisi kelahiran kembali ini menurunkan laporan utama sekitar kasus pemerrkosaan yang menimpa etnis Cina selama masa-masa kerusuhan bulan Mei 1998. Para wartawan Tempo kembali berkarya, hingga hari ini....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus