Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGAN keriput Haji Syamsudin membolak-balik tumpukan dokumen. Beberapa kali menarik map yang salah, ia akhirnya menemukan yang dicari: akta pendirian Yayasan Al-Irsyadiah yang ia pimpin. "Sudah kedaluwarsa," kata lelaki 60-an tahun itu di ruang kerjanya yang sempit di Jalan Raya Tipar Cakung, Kelurahan Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.
Yayasan Al-Irsyadiah mengelola sekolah dasar dan taman kanak-kanak. Syamsudin memimpin yayasan, sekaligus kepala sekolah. Gara-gara akta kedaluwarsa, ia batal mengajukan proposal dana bantuan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebab, salah satu syarat mengajukan permohonan adalah bukti akta yayasan.
Toh, yayasan itu tetap "menerima" bantuan. Dalam daftar penerima bantuan yang dikeluarkan melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Belanja Hibah, Bantuan Sosial, dan Bantuan Keuangan, yayasan itu tercatat menerima Rp 15 juta—duit yang tak pernah diterima Syamsudin. "Saya enggak mengajukan proposal karena enggak bisa memenuhi syarat," ia berkukuh.
Zakiyah, 38 tahun, bercerita sekitar tiga bulan lalu mendapat undangan menghadiri pertemuan di kompleks kantor gubernur, Jalan Medan Merdeka Selatan. Ia datang bersama Syamsudin dan 12 rekannya. Tak kurang dari 2.000 orang ikut pertemuan. Mereka mendapat pengarahan soal bantuan keuangan untuk masyarakat dan diminta mengajukan proposal agar bisa memperoleh bantuan.
Menuruti imbauan itu, Zakiyah, yang mengelola majelis taklim, mengajukan proposal. Majelis itu kemudian memperoleh bantuan Rp 15 juta. Tapi ia memutuskan tak mencairkan duit karena diminta menunjukkan bukti bahwa rumahnya telah dihibahkan untuk kegiatan majelis taklim. Padahal rumah itu satu-satunya harta yang ia miliki dan tak pernah dihibahkan. Sama seperti Yayasan Al-Irsyadiah, majelis taklim pimpinan Zakiyah tercatat dalam daftar.
Tahun ini, pemerintah DKI menggelontorkan hampir Rp 1,4 triliun untuk hibah dan bantuan sosial. Jumlah ini "meleduk" hampir 40 persen dibanding tahun lalu. Ada lebih dari 1.500 penerima bantuan, yang terdiri atas yayasan, majelis taklim, musala, masjid, dan sebagian taman pendidikan Al-Quran atau pondok pesantren. Masing-masing menerima Rp 15-50 juta.
Tempo menemukan sejumlah kejanggalan dalam daftar penerima bantuan. Misalnya, ada organisasi yang namanya tercatat lebih dari satu kali. Ada juga daftar penerima tanpa alamat dan penerima fiktif. Beberapa yayasan juga tidak tahu bahwa nama mereka tercantum dalam daftar penerima bantuan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Apung Widadi, mengatakan hal itu bukan satu-satunya persoalan dalam pencairan dana hibah dan bantuan sosial tahun ini. Pencairan bantuan yang dilakukan menjelang pemilihan kepala daerah berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan kampanye. Ia menuding sebagian dana bantuan mengalir ke organisasi-organisasi yang terafiliasi dengan gubernur.
"Modusnya mirip dengan korupsi dana bansos di Banten," katanya. Ada lima modus yang digunakan di Banten, yaitu lembaga penerima fiktif, lembaga penerima beralamat sama, dana mengalir ke lembaga yang dipimpin keluarga dan kroni gubernur, dana hibah disunat, serta sebagian besar penerima tidak jelas. Penyaluran ini dilakukan menjelang pemilihan gubernur, yang kemudian dimenangi Ratu Atut Chosiyah.
Dalam daftar penerima dana bantuan DKI tahun ini, ada beberapa lembaga yang terkait atau memiliki kedekatan dengan gubernur. Misalnya Yayasan Beasiswa Jakarta, yang ditulis menerima bantuan Rp 16 miliar. Yayasan ini didirikan pemerintah provinsi, dan saat ini dipimpin Gubernur Fauzi Bowo.
Yayasan lain milik pemerintah provinsi yang mendapat uang dari dana bantuan sosial adalah Yayasan Putra Bahagia Jaya. Yayasan ini diketuai istri Gubernur, Tatiek Fauzi Bowo, dan menerima bantuan Rp 4 miliar. Posisi gubernur atau istri gubernur sebagai ketua di yayasan yang didirikan dan dibiayai Pemerintah Provinsi Jakarta dicurigai Apung sarat dengan konflik kepentingan.
Ada pula Badan Musyawarah Masyarakat Betawi, yang menerima bantuan Rp 2 miliar. Ketua Bamus Betawi adalah Nachrowi Ramli, kini calon wakil gubernur pendamping Fauzi Bowo. Sebelum Nachrowi, Foke yang memimpin organisasi ini. Organisasi ini pula yang pertama kali mengusung pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli sebagai calon gubernur-wakil gubernur, sebelum Partai Demokrat dan sejumlah partai lain resmi mengusung keduanya.
Lalu ada Lembaga Kebudayaan Betawi yang dipimpin Tatang Hidayat. Organisasi itu menerima bantuan Rp 500 juta. Entah sengaja entah tidak, Tatang juga ketua tim pemenangan "Foke-Nara".
Keterkaitan ini tentu saja dibantah pemerintah provinsi. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Jakarta Sukri Bey mengatakan pemberian bantuan ini tidak terkait dengan pemilihan kepala daerah. Sebagian besar lembaga penerima bantuan atau hibah sudah ditetapkan melalui peraturan pemerintah.
Lembaga itu memang secara rutin mendapat kucuran dana yang dialokasikan setiap tahun. Misalnya Komisi Penanggulangan AIDS dan Palang Merah Provinsi DKI Jakarta. Ada pula bantuan langsung untuk masyarakat kelurahan. Juga dana buat yayasan-yayasan yang dimiliki pemerintah provinsi, Badan Musyawarah Betawi, dan Lembaga Kebudayaan Betawi. "Setiap tahun memang dapat, ada pemilihan gubernur atau tidak," kata Sukri.
Jenis bantuan itu, menurut Sukri, juga bukan pemicu kenaikan anggaran bantuan sosial dan hibah tahun ini. Ia menjelaskan, anggaran tahun ini naik karena ada alokasi bantuan untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia Jakarta, yang berhubungan dengan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional. Jumlahnya Rp 208,855 miliar.
Duit yang disalurkan untuk Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta dan Panitia Pengawas Pemilu dalam pemilihan gubernur juga membuat anggaran membengkak. Tak kurang dari Rp 300 miliar dialokasikan untuk kedua lembaga yang mengurusi hajatan pemilihan gubernur itu. "Tahun depan pasti menyusut lagi karena tidak ada PON dan pemilihan," ujar Sukri.
Penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah juga menjadi alasan pemerintah DKI sebagai penyebab naiknya anggaran. Sebelumnya, BOS untuk sekolah swasta tidak dimasukkan ke anggaran hibah. Mulai tahun ini, pos itu disatukan dengan anggaran hibah.
Soal adanya penerima fiktif, Sekretaris Badan Pengelola Keuangan Daerah Jakarta Tito Taufik mengatakan yayasan atau lembaga yang tercantum dalam surat keputusan gubernur memang belum semuanya diverifikasi. Saat ini, tim dari pemerintah provinsi sedang mengecek kebenaran nama penerima dana bantuan. "Jika betul nama dan alamatnya, baru bisa mendapat bantuan," katanya.
Ia juga membantah kabar bahwa pencairan dana dilakukan mendekati pemilihan kepala daerah. Setiap tahun penetapan penerima dana bantuan selalu dilakukan pada Januari. Segera setelah itu pencairan dilakukan sampai akhir tahun. Tapi pembahasan anggaran tahun 2012 memang tepat waktu, sehingga pencairan bisa dilakukan lebih cepat.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Jakarta, Nasrullah, mengatakan penganggaran dana bantuan sosial dan hibah mendapat persetujuan dari Dewan. Namun, saat pembahasan, Dewan tak menerima data terperinci soal pengalokasian dana itu. Ia menilai bisa saja terjadi kecurangan dalam penyalurannya. Nasrullah menambahkan, "Badan Pemeriksa Keuangan bisa membuktikan."
Kartika Candra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo