Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI warga Cipinang Cempedak, pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta mendatangkan berkah. Dalam dua pekan terakhir, orang-orang yang mengaku tim sukses calon gubernur bergiliran datang ke kelurahan di Jakarta Timur itu. Mereka membawa bergepok uang.
Tim sukses pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli datang pertama kali, dua hari sebelum awal masa kampanye, 23 Juni 2012. Lima orang meminta sebelas ketua rukun warga mengumpulkan ketua-ketua rukun tetangga kelurahan itu. "Kami diberi stiker, buku, kaus, dan ongkos jalan Rp 500 ribu seorang," kata Agus, ketua RT 5 RW 10, pekan lalu.
Seperti multilevel marketing, ketua-ketua rukun tetangga itu kemudian meminta warga mereka menyebarkan lagi 200 stiker, 200 buku program, spanduk, dan kaus ke semua rumah di wilayahnya. Warga yang mau menjalankan tugas itu mendapat upah Rp 300 ribu. "Saya sih tak munafik, mau nyebar stiker kalau ada duitnya," kata Abdul Kadir, warga RT 5.
Tak hanya untuk Fauzi-Nachrowi, Abdul Kadir "melayani" jasa sebar pamflet, spanduk, dan kaus untuk pasangan lain. Misalnya ketika tim sukses pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono datang ke kelurahannya, sepekan setelah tim Fauzi. Bedanya, tim Alex lebih mengikat: mereka yang membagikan stiker mesti bersedia jadi saksi saat pencoblosan 11 Juli, Rabu pekan ini. Soalnya, untuk saksi, ada honor tambahan Rp 15 ribu per orang.
Tim pasangan Alex mengumpulkan ibu-ibu pengurus PKK. Kali lain, warga biasa diundang berkumpul di kantor kelurahan. Saking banyaknya tim yang datang silih berganti, Kadir tak ingat lagi nama-nama mereka. "Mereka cuma datang kasih pengarahan, kasih uang, lalu pulang," ujarnya.
Di Jakarta ada 267 kelurahan dengan 6.983.693 pemilih tetap sesuai dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta. Jakarta Timur memiliki 30 persen pemilih-paling banyak dibanding lima wilayah lain. Ketua tim sukses Fauzi-Nachrowi, Ma'mun Amin, mengakui ada pembagian stiker sebagai strategi mengenalkan Fauzi dan pasangannya.
Di awal masa kampanye, Ma'mun mengklaim, para sukarelawan mengetuk sejuta pintu untuk menyebarkan stiker itu. Ia menyangkal pemasangan stiker ada upahnya. "Duit dari mana?" katanya.
Menurut Ma'mun, pos pengeluaran kampanye paling besar adalah iklan televisi. Jika tarif satu spot iklan kampanye Rp 20 juta dan iklan ditayangkan sepuluh kali per hari selama 14 hari masa kampanye, perlu biaya Rp 28 miliar. Ma'mun menyatakan pemasangan iklan di televisi menyedot setidaknya 40 persen dari total biaya kampanye.
Ia memperkirakan dana kampanye Fauzi-Nachrowi hingga selesai pemilihan menembus Rp 70 miliar. Sampai pekan lalu, dana kampanye yang dilaporkan timnya baru Rp 59 miliar. Duit sebanyak itu, kata Ma'mun, dua pertiga berasal dari kocek Fauzi.
"Gubernur bertahan" alias inkumben ini disebutkan menjual dua rumahnya di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat, seharga Rp 40 miliar. Dalam catatan rekening yang dilaporkan ke Komisi Pengawas Pemilihan, sepanjang April-Juni 2012, Fauzi empat kali menyetor uang dengan jumlah total Rp 30 miliar.
Fauzi merupakan calon paling tajir dalam soal dana kampanye. Pundi-pundi calon Partai Demokrat dan sejumlah partai lain ini masih berlebih dibandingkan dengan gabungan kas lima pasang calon lain-setidaknya dari laporan resmi mereka. Dari laporan tahap pertama kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta, tim Fauzi paling banyak mencantumkan nama penyumbang.
Indonesia Corruption Watch menemukan 600 transaksi senilai Rp 26 miliar di rekening semua calon berasal dari penyumbang yang tak jelas identitasnya. Para donatur perorangan ini tak menyertakan nomor pokok wajib pajak. Padahal aturannya jelas: penyumbang di atas Rp 2,5 juta harus mencantumkan nomor itu.
Dalam aturan KPUD Jakarta, penyumbang perorangan dibatasi maksimum Rp 50 juta dan perusahaan Rp 350 juta. Aturan ini dibuat untuk mencegah masuknya dana gelap dari pengusaha yang mengikat calon gubernur demi kepentingan bisnisnya kelak. Masalahnya, aturan ini banyak bolongnya.
Menurut Apung Widadi, peneliti ICW, aturan tersebut bisa diakali dengan pemberian tunai kepada calon, lalu calon itu mentransfernya ke rekening penampung kampanye. Uang siluman itu menjadi halal karena sudah terlampir berasal dari kocek sang calon.
Sebab, tak ada batasan setiap calon mengeluarkan uang untuk kampanyenya. "Kalau dia punya Rp 1 triliun mau dipakai buat kampanye, bisa saja," kata Jamaluddin Hasyim, Komisioner KPUD Jakarta.
Karena itulah, dalam laporan dana kampanye tahap pertama, transaksi yang tertera lebih banyak atas nama calon gubernur sendiri. Setiap pasangan calon wajib melaporkan pemasukan dana kampanye sebanyak tiga kali, terakhir setelah pencoblosan, untuk diaudit akuntan publik.
Alex Noerdin dan Nono Sampono, misalnya. Nama keduanya bertebaran dalam laporan transaksi, disusul anak-anak dan menantunya, yang menyumbangkan pecahan Rp 5-45 juta. Belum lagi partai penyokong. Soalnya, tak ada batasan partai menyumbang jagonya. Untuk Alex, Partai Golkar sekali menyetor Rp 1,6 miliar.
Joko Widodo juga tercatat dua kali menyetor dana senilai Rp 1,09 miliar. Menurut Boy Sadikin, ketua tim sukses calon dari PDI Perjuangan dan Partai Gerindra ini, uang yang sudah terkumpul untuk kampanye Jokowi Rp 9 miliar sampai pekan lalu. "Ini sumbangan kader dan simpatisan, tak ada dari pengusaha," ujarnya.
Hendardji Soepandji melakukan enam kali transaksi senilai 1,47 miliar-lainnya hanya satu dari penyumbang perorangan, senilai Rp 7,5 juta. Salah satu penyumbang calon independen ini Irwan Hidayat dari Grup Sido Muncul, sesama asal Semarang. "Pak Irwan menyumbang banyak," kata Karel Susetyo, konsultan politik Hendardji.
Faisal Basri sudah mengumpulkan Rp 1,53 miliar. Sumbernya kocek sendiri, yang dicicil dari Rp 5 juta hingga Rp 100 juta, termasuk penjualan rumah di Kebayoran Baru senilai Rp 16 miliar. Dibanding calon lain, tim Faisal paling bokek.
Pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini mendapat sokongan fulus dari kader-kader Partai Keadilan Sejahtera. Pejabat-pejabat PKS di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, seperti Mahfudz Siddiq, Mustafa Kamal, Triwisaksana, dan Soemandjaja, tercatat sebagai penyumbang terbesar pasangan ini dengan nilai rata-rata Rp 50 juta.
Munculnya nama-nama calon gubernur sebagai sumber dana kampanye ini, menurut Apung Widadi, mencemaskan karena asal duit itu jadi tak bisa diverifikasi. "Pertanyaan sederhana: apakah benar setiap calon mau mempertaruhkan hartanya begitu banyak untuk pemilihan ini?" ujarnya.
Modus menyumbang langsung tanpa mekanisme bank ini juga berpotensi jadi dana gelap jika calon itu tak melaporkan seluruhnya ke Komisi Pengawas. "Pemilih jadi tak tahu siapa saja di belakang calon yang mana," kata Apung.
Masalahnya, audit oleh lembaga independen atas permintaan Pengawas baru dilakukan sepekan setelah pemilihan. Artinya, aturan yang bisa menggugurkan calon karena mendapat uang dari sumber tak jelas sudah pasti tumpul. Apalagi seorang anggota tim sukses mengatakan daftar penyumbang itu asal tulis saja. "Nama-nama itu bohong," ujarnya.
PARA pengusaha, seperti biasa, tak lari dari politik pemilihan gubernur ini. Sebelum pencalonan dua bulan lalu, ada nama Djan Faridz, pengelola Pasar Tanah Abang yang kini menjadi Menteri Perumahan Rakyat. Djan ketika itu menyokong Joko Widodo dan Alex Noerdin untuk menghadang laju Fauzi Bowo, gubernur yang berseteru dengannya dalam kontrak Pasar Tanah Abang. Kepada Tempo, beberapa waktu lalu, Djan tak menyangkal atau membenarkan ia mengalirkan dukungan untuk rival-rival Fauzi itu.
Ketua-ketua tim sukses menyangkal ada cawe-cawe para pengusaha. Boy Sadikin, ketua tim sukses Jokowi, membantah ada sumbangan Mooryati Soedibyo. Bos jamu Mustika Ratu itu kerap hadir dalam kampanye Jokowi. Anggota Dewan Perwakilan Daerah ini disebutkan mendukung Joko karena sama-sama berasal dari Solo.
Menurut Boy, pengusaha-pengusaha yang berteman dekat dengan Jokowi mungkin menyumbangkan fasilitas atau memberi langsung kepada sang calon. "Kalau resmi ke rekening tim sukses tidak ada," katanya. Jokowi tak jorjoran beriklan, tapi memperbanyak baliho dan berkampanye ke kampung-kampung, yang ongkosnya tak banyak.
Hashim Djojohadikusumo, adik Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, menurut Boy, juga tak berhubungan dengan tim sukses resmi. Boy mengatakan hanya mengelola uang yang masuk rekening dan dipakai untuk kampanye Rp 15 juta sehari. "Sumbangan pasti ada, tapi tak selalu uang tunai," ujar Muhammad Taufik, Ketua Partai Gerindra Jakarta.
Sokongan pengusaha untuk Fauzi jauh lebih banyak. Menurut Ma'mun Amin, pengusaha yang berniat menyumbang antre sejak Fauzi menyatakan niat kembali mencalonkan diri. "Ada yang diterima, lebih banyak yang ditolak," kata bekas Asisten Sekretaris Daerah DKI Jakarta itu.
Semua pengusaha yang ingin menyumbang tim Fauzi lebih dulu datang ke Ma'mun. Oleh dia, para pengusaha itu ditanyai motifnya menyumbang. "Banyak yang memaparkan rencana-rencana proyeknya," ujar Ma'mun. "Sudah pasti yang begitu ditolak."
Ada juga pengusaha yang tak punya bisnis di Jakarta ditolak Fauzi padahal sudah diloloskan Ma'mun. "Alasan Bang Fauzi, orangnya suka bawel," kata Ma'mun. "Saya menyeleksi, keputusan akhir ada di dia."
Sebagian besar pengusaha itu, kata Ma'mun, menyumbang dalam bentuk bantuan barang. Misalnya, ada yang menawarkan mencetak sejuta kaus. Jika ongkos produksi satu kaus Rp 50 ribu, anggarannya sudah bisa dihitung mencapai Rp 5 miliar. "Lainnya ada, tapi kecil-kecil," ujarnya.
Pengusaha lain beriklan menyatakan dukungan, seperti Murdaya Poo. Ia beriklan setengah halaman di koran nasional. Tapi Hartati Murdaya, istrinya, justru tak tahu suaminya menyumbang Fauzi. "Saya memang mendukung Pak Foke, tapi kalau bertemu tak pernah membicarakan bantuan uang. Memangnya saya orang kaya?" kata anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu.
Menurut Ma'mun, selain untuk mencetak stiker, spanduk, iklan, dan baliho, serta buat survei-survei, dana kampanye dipakai untuk "operasi-operasi intelijen". Misalnya menanam orang di tim rival, mengintip strategi lawan, dan meredamnya. Biayanya lumayan. "Sekitar 20 persen dari total dana kampanye," ujarnya.
"Operasi intelijen" juga mengintip calon pemilih agar tak berpaling ke kubu lawan. Soalnya, meski sudah mendapat stiker, asuransi, dan upah sukarelawan, massa mengambang di daerah yang bukan basis pendukung bisa mengalihkan suara secara tiba-tiba. Bak pelesetan pepatah orang Betawi, "Ente jual, ane gak beli."
Seperti Abdul Kadir, warga Cipinang Cempedak itu. Laki-laki 51 tahun yang tak punya pekerjaan tetap itu mengaku belum punya pilihan. Kendati mendapat uang dari tim sukses Fauzi dan Alex Noerdin, dia bilang, "Saya tak akan memilih mereka. Saya sudah punya calon sendiri."
Bagja Hidayat, Ayu Prima, Ananda Teresia, Gadi Makitan
Mu(s)hibah Pilkada
HIBAH dan bantuan sukarela dari pemerintah untuk keperluan masyarakat paling rawan disalahgunakan di masa-masa pemilihan umum. Bagi calon inkumben, dana ini menguntungkan karena bisa dikucurkan saat ia bertarung untuk menduduki kembali kursinya. Aturan yang tak jelas soal batasan hibah dan penggunaannya membuat pengeluaran dana publik seperti ini tak terukur.
Sumbangan bisa berupa bantuan sosial, hibah, dan bantuan keuangan dari pemerintah DKI Jakarta:
Item | 2011 | 2012 | Kenaikan |
Hibah BOS SD/SDLB negeri dan swasta | Rp 65,199 miliar | Rp 336,048 miliar | 516% |
Hibah BOS SMP/SMPLB/SMPT/satap negeri dan swasta | Rp 82,8 miliar | Rp 203,086 miliar | 244 % |
KONI DKI Jakarta | Rp 319,25 miliar | Rp 205,855 miliar | -36% |
KPUD Provinsi DKI Jakarta | (tidak ada) | Rp 258,404 miliar | 100% |
Panwaslu Jakarta | (tidak ada) | Rp 33,864 miliar | 100% |
Total | Rp 467,23 miliar | Rp 1,037 triliun | 222% |
Bagaimana Mendapat Hibah?
Secara resmi, untuk mendapatkan bantuan, pemohon mengajukan proposal sebelum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan setiap tahun. Proposal ini dijadikan acuan untuk menetapkan penerima dan besarnya bantuan. Tapi, untuk penerima bantuan dalam jumlah kecil, Rp 15-50 juta, pengajuan proposal dilakukan justru setelah daftar penerima bantuan ditetapkan melalui surat keputusan gubernur. Normalnya, jarak antara pengajuan proposal dan pencairan bisa satu tahun. Beberapa yayasan mengaku, di musim pemilihan gubernur seperti hari-hari ini, prosesnya hanya tiga bulan.
Lembaga/pemohon mengajukan proposal kepada gubernur ==> Pengecekan administrasi ==> Tim anggaran menentukan penerima bantuan berdasarkan rekomendasi ==> Gubernur menetapkan surat keputusan penerima bantuan ==> Badan Pengelola Keuangan Daerah mencairkan bantuan ==> Proses pertanggungjawaban penerima hibah ==> Audit dan pengawasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo