Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tak Gampang Lagi Membui Budi

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disahkan. Maju dalam konsep, tapi pelaksanaannya bisa kedodoran.

9 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua ratusan anak duduk rapi dalam barisan di masjid kompleks Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang. Jumat siang pekan lalu itu, selama setengah jam mereka khidmat menyimak ceramah khatib di mimbar. Tak ada yang berisik atau berulah. Mata mereka semua terpaku ke depan. "Sebagian besar mereka itu terjerat kasus narkotik dan pencurian," kata Bagus Sumartono, Kepala Seksi Bina Pendidikan LP Anak Pria Tangerang, kepada Tempo.

Anak-anak tersebut mulai "mondok" di sana dalam usia yang terbilang sangat belia. Empat di antaranya masuk ke penjara itu saat berusia 8-12 tahun. Lima puluh anak masuk pada usia 13-15 tahun. Sisanya masuk pada usia 16-18 tahun. Empat anak termuda berasal dari Lampung. Tiga di antaranya divonis tiga tahun lebih karena terlibat kasus asusila. Sebut saja namanya Budi dan kawan-kawan. Ketiganya ditangkap polisi pada Desember 2009, setelah meniru sebagian adegan film dewasa yang mereka tonton. Kala itu dua gadis cilik anak tetangga jadi korban mereka.

Setelah tiga kali mendapat remisi, hukuman Budi dan ketiga temannya berkurang hampir lima bulan. Dikurangi masa penahanan dan pengurangan hukuman, mereka semestinya kini sudah bebas. Tapi karena tak bisa membayar denda, yakni masing-masing Rp 60 juta, ketiganya harus menjalani hukuman pengganti. Mereka baru akan bebas pada September dan Oktober tahun ini.

Di kompleks penjara anak, Budi dan kedua temannya memang bisa meneruskan sekolah. Bulan lalu, mereka lulus ujian sekolah menengah pertama. Menurut mereka, suasana di penjara jauh lebih nyaman ketimbang rumah tahanan milik polisi di Lampung. Tapi semua itu tak bisa menggantikan sesuatu yang hilang: masa indah berkumpul dengan orang tua. "Saya mau pulang. Kangen banget sama Ibu dan Bapak," kata Budi.

Nasib Budi dan kawan-kawan mungkin akan berbeda bila mereka diadili dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang baru disahkan pekan lalu. Kepada wartawan, setelah menghadiri rapat paripurna pengesahan undang-undang itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin menyatakan, "Undang-undang itu disahkan dengan semangat perlindungan atas hak-hak anak."

Menurut undang-undang baru, Budi dan kawan-kawan memang bisa diajukan ke persidangan. Soalnya, mereka sudah berumur 12 tahun ketika melakukan tindak pidana. Tapi pasal 69 ayat 2 undang-undang itu menyebutkan, bila terbukti bersalah, anak yang belum berusia 14 tahun hanya mendapat hukuman tindakan, bukan penjara. Termasuk tindakan itu antara lain pengembalian anak kepada orang tua atau walinya, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di panti sosial, dan pendidikan atau pelatihan khusus oleh pemerintah.

Di samping urusan usia anak, kalangan pegiat perlindungan hak anak mencatat sejumlah kemajuan dalam undang-undang pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak itu . "Ya, sudah mendekati standar ideal yang berlaku universal," kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait.

Arist, misalnya, menggarisbawahi pengakuan atas asas keadilan restoratif alias pemulihan keadaan dan kerugian korban. Sebelumnya, penyelesaian perkara pidana anak masih didasarkan pada semangat menghukum anak yang dianggap bersalah. Akibatnya, anak pencuri sepasang sandal jepit atau setandan pisang, atau anak yang menyengatkan tawon ke pipi temannya, seperti yang pernah terjadi, masuk bui. "Sebelumnya, polisi dan hakim selalu bilang keadilan restoratif tak ada payung hukumnya," ujar Arist.

Undang-undang terbaru ini juga membuat polisi, jaksa, dan hakim tak bisa seenaknya menyeret anak ke pengadilan atau penjara. Sejak perkara masuk penyidikan, polisi diwajibkan mengupayakan musyawarah di luar jalur pidana. Jalur penyelesaian alternatif yang disebut diversi itu mengharuskan aparat—bersama keluarga pelaku dan korban—mengupayakan perdamaian. Bila diperlukan, pihak ketiga, seperti para pekerja sosial, bisa dilibatkan sebagai mediator. Jika kesepakatan damai tak terjadi di tahap penyidikan, jaksa harus mengupayakan hal itu di tahap penuntutan. Hakim pun wajib mengupayakan musyawarah keluarga sebelum melanjutkan pemeriksaan perkara di persidangan.

Para penyusun undang-undang rupanya tak mau proses diversi hanya menjadi anjuran atau resep di atas kertas. Dalam undang-undang itu disebutkan, aparat penegak hukum yang mengabaikan diversi akan mendapat sanksi. Polisi, jaksa, dan hakim yang tidak mengupayakan jalur musyawarah bisa dihukum dua tahun penjara dan didenda Rp 200 juta.

Adanya ancaman hukuman itu bukan tidak mendapat perlawanan. Saat rancangan undang-undang dibahas Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Ikatan Hakim Indonesia, misalnya, mengajukan keberatan resmi. Mereka menilai ancaman hukuman semacam itu bisa mengkriminalkan hakim yang bekerja atas perintah undang-undang. Adanya ancaman hukuman itu membuat perkumpulan hakim tersebut berencana membawa undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi. Arist menyesalkan sikap para hakim itu. "Kalau mereka mematuhi aturan, seharusnya tak perlu takut dikriminalkan," ujarnya.

Kendati sepakat undang-undang ini mengandung kemajuan, para pegiat perlindungan hak anak masih memberi catatan perihal pelaksanaannya. Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Apong Herlina, misalnya, ragu terhadap kemampuan pemerintah membangun begitu banyak tempat penampungan anak. Undang-undang ini memang mengamanatkan adanya tempat penampungan khusus bagi anak yang masih dalam proses peradilan, yang sudah divonis bersalah, dan yang selesai menjalani hukuman.

Dalam catatan KPAI, hingga saat ini ada sekitar 6.500 anak yang tinggal di penjara. Dari jumlah itu, hanya 2.600 anak yang tinggal di penjara khusus anak. Sisanya, lebih dari 3.900 anak, dititipkan ke penjara orang dewasa. Meski anak-anak itu menghuni sel terpisah di sejumlah penjara orang dewasa, sehari-hari mereka tetap bercampur dengan narapidana dewasa. Inilah yang menjadi kekhawatiran. Sebab, selain rentan menjadi korban kekerasan, anak-anak itu bisa mewarisi pengetahuan soal kejahatan dari narapidana dewasa. "Itu juga persoalan serius," kata Apong.

Membaca berbagai kepelikan itu, KPAI justru menyerukan penghapusan semua penjara atau lembaga pemasyarakatan yang memisahkan anak dari keluarga dan masyarakatnya. Sebaliknya, KPAI mengusulkan tempat pembinaan yang masih memungkinkan anak-anak berbaur dengan masyarakat umum. Menurut Apong, KPAI sudah menyampaikan usul itu kepada pemerintah dan DPR ketika rancangan undang-undang peradilan anak masih dibahas. "Tapi tak diakomodasi," ujar Apong.

Di luar fasilitas fisik, kesiapan aparat juga bisa menghambat. Undang-undang mewajibkan polisi, jaksa, dan hakim memiliki pengetahuan dan keahlian khusus soal perlindungan hak anak. Faktanya, di kepolisian, misalnya, penyidik khusus kasus anak baru ada di kantor setingkat resor (kabupaten). Padahal, menurut Arist, kasus pidana anak banyak terjadi di tingkat sektor (kecamatan). "Tanpa peningkatan kemampuan aparat, undang-undang ini tidak akan efektif," kata Arist.

Jajang Jamaludin, Ira Guslina, Ayu Cipta


Yang Baru di Peradilan Anak

Umur
Anak yang bisa diajukan ke sidang pidana harus berumur minimal 12 tahun.
Undang-undang lama: minimal 8 tahun.

Diversi
Polisi, jaksa, dan hakim wajib berupaya mengalihkan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan, misalnya musyawarah untuk perdamaian. Syaratnya:

  • Perbuatan pidana diancam hukuman di bawah tujuh tahun
  • Bukan merupakan pengulangan tindak pidana

    Undang-undang lama tidak mengenal mekanisme ini. Perdamaian atau "pemberian maaf" dari keluarga korban hanya meringankan, tidak menghapuskan hukuman.

    Penahanan
    Anak tidak boleh ditahan bila:

  • Ada jaminan dari orang tua/wali bahwa si anak tidak akan melarikan diri
  • Anak belum berumur 14 tahun
  • Ancaman hukuman pidana di bawah tujuh tahun

    Undang-undang lama tidak mengatur batasan ini.

    Hukuman untuk Pelaku
    Dikenal dua jenis hukuman: pidana dan tindakan

    1. Pidana dikenakan kepada anak yang berusia minimal 14 tahun berupa:

  • Pidana peringatan
  • Pidana bersyarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan)
  • Pelatihan kerja
  • Pembinaan dalam lembaga
  • Penjara

    2. Tindakan, maksimal 1 tahun, berupa:

  • Pengembalian kepada orang tua
  • Penyerahan kepada seseorang
  • Perawatan di rumah sakit jiwa
  • Perawatan di panti sosial
  • Kewajiban mengikuti pendidikan formal
  • Pencabutan surat izin mengemudi
  • Perbaikan akibat tindak pidana

    Undang-undang lama hanya mengenal pidana penjara dan denda.

    Keadilan Restoratif
    Penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, dan keluarganya dengan mengutamakan pemulihan kerugian korban, bukan "balas dendam" terhadap pelaku. Undang-undang lama tidak mengenal asas ini.

    Masa Penahanan

    Untuk kepentingan penyidikan, polisi bisa menahan anak paling lama 15 hari. Undang-undang lama bisa sampai 30 hari.

    Untuk kepentingan penuntutan, jaksa bisa menahan anak paling lama 10 hari. Undang-undang lama bisa sampai 25 hari.

    Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim bisa menahan anak:

  • Di pengadilan pertama maksimal 25 hari Undang-undang lama bisa 45 hari
  • Di pengadilan banding maksimal 25 hari Undang-undang lama bisa 45 hari
  • Di pengadilan kasasi maksimal 35 hari Undang-undang lama bisa sampai 55 hari
  • Total: 85 hari
  • Undang-undang lama 145 hari

    Hukuman bagi Aparat

  • Polisi, jaksa, dan hakim yang tidak mengupayakan diversi bisa dipenjara dua tahun dan didenda Rp 200 juta.
  • Polisi, jaksa, dan hakim yang melanggar batas masa penahan bisa dipenjara dua tahun.
  • Undang-undang lama tidak mengenal sanksi pidana bagi aparat yang melanggar hak anak.

    Sumber: Naskah akhir RUU Sistem Peradilan Pidana Anak

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus