Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melepas Sekat Kedaerahan

Kepiawaian berorganisasi menjadi modal Muhammad Yamin dalam bergaul dan berpolitik di era penjajahan Belanda. Tinggal bersama pemuda dari berbagai daerah lain di asrama Indonesische Clubgebouw, Jakarta, dan aktif di Jong Sumatranen Bond, urang awak ini berkontribusi besar dalam perjuangan untuk persatuan. Teks Sumpah Pemuda dan lirik lagu Indonesia Raya tak lepas dari sentuhannya.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nakhoda Terakhir Jong Sumatranen
Mengikuti jejak saudara-saudara tirinya, dia aktif di organisasi pemuda asal Sumatera. Ikut mendirikan perkumpulan Indonesia Muda.

HINGGA itu menyerupai pena setinggi 2,5 meter. Bagian bawahnya 2 x 2 meter. Semakin ke puncak, kian kecil. Di ujung atas terdapat benda menyerupai bola berwarna biru, kontras dengan tugu yang dominan putih. Pada sisi-sisinya tertulis: "Peringatan Rapat Besar Kesatoe J.S.B Persatoean Pemoeda Soematra".

Terletak di tengah area taman prasasti pemuda di persimpangan Jalan Gereja Padang, Kota Padang, monumen ini merupakan bangunan peringatan kongres pertama Jong Sumatranen Bond di Padang pada 4-6 Juli 1919.

Budayawan Rusli Marzuki Saria mengatakan tugu itu tak pernah bersalin rupa meskipun Pemerintah Kota Padang merenovasinya pada 1970. Saat monumen itu diperbarui, pemerintah hanya menambahkan prasasti bertulisan larik puisi karya penyair Chairil Anwar berjudul "Siap Sedia". "Saya usulkan puisi Chairil Anwar karena semangat keindonesiaan," ujar Rusli, Juli lalu.

Jong Sumatranen merupakan salah satu tonggak keterlibatan pemuda Andalas dalam gerakan persatuan Indonesia. Di kelompok inilah Muhammad Yamin mula-mula mengenal organisasi dan belajar berpolitik.

Organisasi ini didirikan pada 9 Desember 1917 oleh pelajar sekolah kedokteran STOVIA asal Sumatera di Jakarta. Mereka mengikuti jejak para pemuda Jawa yang mendirikan Tri Koro Dharmo—artinya Tiga Tujuan Mulia: Sakti, Budi, Bakti—pada 1915, yang belakangan berubah nama menjadi Jong Java.

Harsja W. Bachtiar, guru besar sosiologi Universitas Indonesia, dalam artikelnya, "Mohammad Amir: Tragedi Seorang Tokoh Pejuang Gerakan" (Juli 2006), menulis, tujuan pendirian Jong Sumatranen di antaranya memperkukuh ikatan antarpelajar asal Sumatera serta membangun kesadaran bahwa mereka kelak akan menjadi pemimpin.

Yamin mengenal Jong Sumatranen dari Nazir Datuk Pamuntjak. Hal ini dicatat Sutrisno Kutoyo dalam buku biografi Prof. H. Muhammad Yamin, S.H. Saat itu Januari 1918, sebulan setelah Jong Sumatranen didirikan. Nazir, pemuda asal Salayo, Sumatera Barat, yang baru menyelesaikan pendidikan di Hoogere Burgerschool di Jakarta, diutus ke Padang untuk memperkenalkan organisasi baru itu kepada pemuda dan pelajar Sumatera, sekaligus mendirikan cabang.

Di Padang, dengan bantuan Muhammad Taher Marah Sutan, pendiri Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiah, dia mengumpulkan pemuda dan pelajar Sumatera di Gedung Syarikat Usaha. Yasin hadir dalam pertemuan itu, juga Bahder Djohan, saudaranya, dan Mohammad Hatta, yang belakangan menjadi proklamator dan wakil presiden pertama Republik Indonesia. Selama sekitar satu jam Nazir menyampaikan pidato yang berapi-api mengenai pentingnya persatuan pemuda dan pelajar Sumatera.

Seusai pertemuan malam itu, Nazir membentuk Jong Sumatranen cabang Padang dan Bukittinggi. Dengan demikian, pada 1919, organisasi ini telah memiliki cabang di delapan kota, termasuk Jakarta, Bogor, Serang, Sukabumi, Bandung, dan Purworejo.

Tak jelas benar apakah Yamin sudah menjadi anggota Jong Sumatranen tahun itu. Soalnya, dia masih duduk di bangku HIS. "Itu setingkat sekolah dasar, di Padang," kata Fadjar Ibnu Thufail, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang juga kerabat Yamin. Menurut Fadjar, pada 1919 itu remaja asal Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, ini baru berusia 15 tahun.

Juga tidak ada catatan apakah Yamin turut berperan dalam kongres pertama Jong Sumatranen, yang dipimpin Mohammad Amir, yang kala itu Wakil Ketua Jong Sumatranen. Sebagaimana Bahder Djohan, Amir merupakan saudara seayah Yamin dari lain ibu.

Tapi yang pasti, menurut Fadjar, Yamin baru meninggalkan Padang setahun setelah kongres tersebut. Sempat belajar di sekolah pertanian Landbouw en Veeartsenijschool di Bogor, dia akhirnya melanjutkan pendidikan ke Algemene Middelbare School (AMS) Surakarta. Pada masa di Jawa inilah Yamin mulai aktif terlibat dalam Jong Sumatranen. "Boleh jadi Yamin diajak oleh Amir dan Bahder untuk bergabung," ujar Fadjar.

Menurut buku Prof. H. Muhammad Yamin, S.H., mula-mula berkecimpung di Jong Sumatranen pada awal 1920-an, Yamin belum meyakini paham kebangsaan Indonesia. Wawasan politik dan kebangsaannya masih seputar Andalas. Tapi, dengan bertambahnya usia dan semakin luasnya pergaulan, cakrawala pemikiran Yamin makin terbuka, keluar dari sekat-sekat primordial.

Ketika Lustrum I Jong Sumatranen Bond digelar di Jakarta pada 1923, Yamin mulai menggelorakan semangat keindonesiaan. Dalam pidatonya yang berjudul "De maleische taal in het verleden, heden en toekomst" ("Bahasa Melayu di Masa Lampau, Sekarang, dan Masa Datang"), ia mengemukakan idenya mengenai penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan Indonesia—meskipun pidatonya sendiri masih dibawakan dalam bahasa Belanda.

Seusai lustrum tersebut, Yamin dipercaya menjadi Ketua Jong Sumatranen Bond periode 1926-1928. Padahal dia belum lulus dari AMS. Sebelum Yamin, secara berturut-turut organisasi ini diketuai Tengkoe Mansoer, Mohammad Amir, dan Bahder Djohan.

Yamin baru hijrah ke Jakarta pada 1927 untuk kuliah di sekolah tinggi hukum Rechts Hogeschool. Di Jakarta, dia tinggal bersama pemuda dari berbagai daerah di asrama Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106.

Restu Gunawan, penulis biografi Yamin, mengatakan, pada periode tersebut, pengaruh Yamin semakin penting di Jong Sumatranen. Dia juga berpengaruh dalam Kongres Pemuda I dan II. Restu mencatat fase penting ketika Yamin menolak peleburan organisasi kepemudaan menjelang Kongres Pemuda II, 1928. Mulanya dia tak setuju terhadap ide penggabungan lembaga kepemudaan dan mengusulkan pembentukan federasi organisasi pemuda. "Setelah kongres, justru dia yang getol mendorong adanya fusi," kata Restu.

Seusai Kongres Pemuda II, Jong Sumatranen berganti nama menjadi Pemuda Sumatera, lantas lebur dalam wadah Indonesia Muda. Organisasi ini merupakan hasil fusi sejumlah lembaga pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, dan Sekar Roekoen.

Menyusul pembentukan Indonesia Muda, Yamin membubarkan Pemuda Sumatera dalam suatu acara di Gedung Pertemuan, Gang Kenari, Jakarta, pada 23 Maret 1930.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus