Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti rambutnya yang jarang kena sisir, pikiran Muhammad Yamin bercabang-cabang malam itu. Ketika gelap semakin menyelimuti Batavia pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, pikirannya tak bisa berfokus pada pidato pembicara.
Yamin, wakil Perhimpunan Pemuda Sumatera atawa Jong Sumatranen Bond yang menjabat sekretaris sidang, sedang sibuk memikirkan bahasa persatuan. Dalam kongres itu, perwakilan dari sepuluh organisasi pemuda se-Hindia Belanda sepakat tentang identitas tanah air dan kebangsaan. Namun silang pendapat terjadi soal persamaan bahasa.
Sejumlah kubu, termasuk Yamin, telah menginginkan penggunaan bahasa Melayu dalam Kongres Pemuda I, dua tahun sebelumnya. Bahasa Melayu—tepatnya Melayu Riau—dipilih karena telah menjadi bahasa pergaulan masyarakat pesisir.
Kubu lain menginginkan adanya bahasa Indonesia, seperti yang diutarakan Mohammad Tabrani dari Jong Java dalam kongres pertama. Alasannya: untuk menyamakan "bahasa" dengan "nusa" dan "bangsa" Indonesia. Kubu Yamin menampiknya karena waktu itu belum ada bahasa Indonesia.
"Pak Yamin tidak ingin kongres berakhir tanpa keputusan seperti kongres pertama," ujar Kepala Bagian Koleksi Museum Sumpah Pemuda, Misman, kepada Tempo di kantornya akhir bulan lalu.
Ketika Soenario menyampaikan pidato "Pergerakan Pemuda Indonesia dan Pemuda di Tanah Luaran", tangan Yamin menari di secarik kertas yang terletak di meja panjang ruang kongres—sebuah rumah kos di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat.
"Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (saya punya rumusan resolusi yang luwes)," Yamin berbisik kepada Soegondo Djojopoespito, pemimpin kongres, seperti dituliskan Welmar dalam Mengenang Mahaputra Prof. Mr. H. Muhammad Yamin Pahlawan Nasional RI (2003). Sidang memang berlangsung dalam bahasa Belanda, bahasa pergaulan kaum intelektual kala itu. Potongan kertas tersebut berpindah tangan. Soegondo mengangguk dan menuliskan paraf, lalu mempersilakan Yamin memberikan penjelasan kepada peserta sebelum mengesahkannya sebagai hasil kongres. Lahirlah Sumpah Pemuda.
Misman mengatakan, di bait ketiga, Yamin menggunakan "menjunjung tinggi bahasa persatuan" supaya bahasa daerah tidak dihilangkan. Bahasa Indonesia diambil dari bahasa Melayu, bahasa daerah dengan pengguna terbanyak ketiga—setelah Jawa dan Sunda—pada saat itu, karena Yamin menganggap bahasa ini paling berpotensi berkembang dan terstruktur. "Sudah memiliki sajak dan gurindam, tidak hanya di level pembicaraan," ujar Misman.
Setelah Yamin memimpin pembacaan ikrar tersebut, para peserta kongres, yang sebagian besar tidak tertampung di ruang tengah dan berdiri di halaman dinaungi pohon ketapang, bertepuk tangan dan memekikkan, "Hidup persatuan".
Yamin, kala itu 25 tahun, memang bukan orang nomor satu di Kongres Pemuda II. Tapi sejarah mencatatnya sebagai bidan yang melahirkan Sumpah Pemuda.
"Beliau sudah lama memikirkannya," kata Misman. Sejak Kongres Pemuda I, pemuda asal Sawahlunto itu menjadi orang yang paling sibuk mempersiapkan Kongres Pemuda II. Di sela kuliah hukumnya di Rechts Hogeschool Batavia—sekarang menjadi gedung utama Kementerian Pertahanan, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta—dia wira-wiri ke percetakan untuk memuat maklumat tentang rapat akbar itu di surat kabar. Ia menyusun kata demi kata di kamar kosnya di Kramat 106, tepat di balik ruang lahirnya Sumpah Pemuda.
Ananda B. Kusuma, peneliti senior di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menggambarkan Yamin sebagai kutu buku yang bisa melahap 200 halaman buku per malam. Putra R. Katjasungkana—notulis di Kongres Pemuda II sekaligus teman satu kos Yamin—itu mengatakan Yamin tampak lebih mirip seniman ketimbang intelektual. Rambutnya sering awut-awutan. Selain itu, "Kata Bapak, jasnya tidak diganti selama dua bulan," ujar Ananda, 79 tahun.
Menurut Momon Abdul Rahman dan Darmansyah dalam Muhammad Yamin: Sosok Seorang Nasionalis terbitan Museum Sumpah Pemuda, 2005, kongres menelan biaya 250 gulden. Kesepuluh organisasi pemuda dikenai urunan 35 gulden, tapi banyak yang menunggak dengan alasan kas kosong.
Kongres Pemuda II berjalan dalam tiga putaran. Pembukaan berlangsung di Katholieke Jongenlingen-Bond, kompleks Katedral Jakarta, Sabtu, 27 Oktober 1928, mulai pukul 21.30. Gereja dipilih karena memiliki aula dengan banyak bangku untuk menampung ratusan peserta.
Dalam pidato berjudul "Persatuan dan Kebangsaan Indonesia", Yamin mengatakan keterikatan sebagai suatu bangsa lahir sejak Kerajaan Sriwijaya di abad VII. "Mau atau tidak, dalam tubuh kita mengalir darah Indonesia," katanya seperti dikutip dari Sosok Seorang Nasionalis.
Menurut Momon dan Darmansyah, pada saat pemikir lain masih berkubang dalam pergerakan berlingkup lokal, Yamin berhasil melakukan lompatan orientasi ke pendirian Indonesia. "Pidatonya penting karena menjadi kerangka pola keyakinan kebangsaan para pemuda terpelajar di akhir 1920-an," ujar Momon.
Yamin berperan di balik layar dalam rapat kedua, yang berlangsung di gedung Oost Java Bioscoop—sekarang sekitar Mahkamah Agung, di Jalan Medan Merdeka Utara—Ahad pagi, 28 Oktober 1928. Ia menerjemahkan pidato Poernamawoelan dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu.
Ia kembali menyampaikan pentingnya persatuan dalam putaran ketiga pada Ahad malam, 28 Oktober 1928, di Kramat 106. "Persatuan bangsa Indonesia dimungkinkan kekal karena mempunyai dasar yang kuat, yaitu persamaan kultur, bahasa, dan hukum adat," katanya seperti dikutip Momon dan Darmansyah dalam Sumpah Pemuda, Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional (2008).
Raden Ajeng Sundari, 23 tahun, dari Keputrian Indonesia Muda, menanggapi pidato itu dengan mengatakan pentingnya menanamkan rasa cinta tanah air di kalangan perempuan. Putri bangsawan dari Kadilangu, dekat Demak, itu adalah tunangan Yamin. Mereka menikah sembilan tahun kemudian.
Ketegangan memuncak karena pidato Yamin. Seorang peserta, Inoe Martakoesoema, membalas buah pikiran Yamin dengan mengatakan "persatuan penting supaya negara kita bisa sejajar dengan Belanda dan tidak dijajah lagi". Mendengar peserta menyinggung kemerdekaan, sekelompok polisi yang dipimpin Ajun Komisaris Van der Plugt bangkit dari bangku mereka di halaman belakang dan menghentikan pidato. Mereka juga meminta peserta yang berusia di bawah 18 tahun meninggalkan lokasi.
Meski sidang dibolehkan terus bergulir, menurut Misman, kata "kemerdekaan" membuat kuping Van der Plugt cs merah. Polisi menyita semua dokumen sidang, termasuk kertas yang berisi Sumpah Pemuda, begitu kongres berakhir menjelang tengah malam. Tidak ada perlawanan dari peserta. Keberadaan dokumen tersebut tak terlacak hingga kini. Akibatnya, peristiwa bersejarah itu hanya bisa dirangkai dari cerita lisan dan potongan koran. "Bagi mereka, tujuan menyatukan para pemuda Indonesia tercapai," ujar Misman. "Itu yang paling penting."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo