Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rendang dalam Bahasa Persatuan

Gagasan Yamin menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan ditentang banyak pihak. Belum ada "wujud" bahasa Indonesia.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Demikian bunyi rumusan resolusi Kongres Pemuda I di Vrijmetselaarsloge—sekarang Gedung Kimia Farma, di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat—pada Ahad, 2 Mei 1926. Tiga klausul yang nantinya menjadi dasar Sumpah Pemuda itu disarikan Muhammad Yamin setelah mendengarkan pidato dari perwakilan organisasi kedaerahan, yakni Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Jong Studeerenden, Boedi Oetomo, Indonesische Studieclub, dan Muhammadiyah.

Dari tiga klausul tadi, hanya poin yang menyebutkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang menjadi kontroversi. Kecintaan Yamin terhadap bahasa Melayu tak lepas dari sejarah pendidikannya. "Dia mengenyam pendidikan pertama yang murni menggunakan bahasa Melayu," kata cicit Yamin, Fadjar Ibnu Thufail, dalam diskusi dengan Tempo, akhir bulan lalu.

Yamin belajar selama lima tahun di Sekolah Dasar Bumiputera Angka II di Talawi, Sawahlunto; Solok; dan Padang Panjang, Sumatera Barat, yang tidak mengajarkan bahasa Belanda. Ia mulai berbahasa Belanda ketika masuk Hollandsch-Inlandsche School di Lahat, Sumatera Selatan.

Keadaan ini berbeda dengan sekolah-sekolah di Pulau Jawa, yang menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Belanda dan bahasa daerah. Tak ada pelajaran wajib bahasa Melayu. Namun para pelajar dapat mengikuti pelajaran bahasa Melayu sebagai tambahan sekali sepekan selama satu jam dengan membayar 25 sen atau setalen.

Sejarawan Restu Gunawan mengatakan Yamin memang paling getol mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. "Tapi dia bukan orang pertama," ujarnya. Ki Hadjar Dewantara, kata dia, pernah mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda, 28 Agustus 1916. "Hanya, 'kampanye' Yamin lebih intensif."

Tidak satu-dua kali saja Yamin mengutarakan bahasa Melayu bakal menjadi bahasa besar. Dalam buku Muhammad Yamin: Sosok Seorang Nasionalis, yang ditulis Momon Abdul Rahman dan Darmansyah, disebutkan Yamin sering menulis artikel tentang bahasa persatuan dalam bahasa Melayu di majalah Jong Sumatra pada 1920. Artikel tersebut antara lain berjudul "Pemandangan dalam Basa Melayu" dan "Suara Semangat".

Ketika Lustrum I Jong Sumatranen Bond digelar di Weltevreden, Batavia, pada 1923, Yamin menyampaikan gagasannya dalam pidato bertajuk "Bahasa Melayu di Masa Lampau, Sekarang, dan Masa Depan". Meski pidato ini diucapkan dalam bahasa Belanda, selama dua setengah jam Yamin berbicara tentang pentingnya suku-suku bangsa di Tanah Air memiliki bahasa kebangsaan, yang menurut kenyataan sejarah kala itu telah diperagakan oleh bahasa Melayu.

Menurut sejarawan Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein, pemikiran Yamin ini didasari kondisi di hampir semua wilayah perairan dari Sabang sampai Merauke—bahkan lebih luas dari itu—yang menggunakan kosakata Melayu. "Bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) kendati setiap daerah punya dialek sendiri-sendiri," ujarnya.

Dalam Sumpah Pemuda: Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional karya Momon Abdul Rahman, Darmansyah, Suswadi, Sri Sadono Wiyadi, dan Misman, disebutkan Yamin menjadi salah satu motor penggerak perhelatan Kongres Pemuda I. Meski namanya tak tercatat dalam susunan kepengurusan kongres, peran Yamin sangat vital.

Bersama Ketua Kongres Pemuda I Mohammad Tabrani; Sekretaris Djamaloeddin, adik tiri Yamin; dan anggota dari Jong Bataks Bond, Sanoesi Pane, Yamin bertugas menyeleksi setiap naskah pidato dari perwakilan organisasi kedaerahan yang masuk. Proses penyaringan naskah ini menjadi penting karena ada Visbeen, Hoofdparker Commissaris PID atau Dinas Rahasia Belanda, yang mengawasi jalannya kongres.

Di hari terakhir kongres, Yamin yang belum genap berusia 23 tahun itu menyampaikan pidato berjudul "Kemungkinan Perkembangan Bahasa-bahasa dan Kesusastraan Indonesia di Masa Mendatang". Inti pidatonya hampir sama dengan yang diucapkan pada Lustrum I Jong Sumatranen Bond.

Pelajar Algemene Middelbare School Jurusan Oostersch Letterkundige (Sastra Timur) di Surakarta ini menyimpulkan hanya dua bahasa, Jawa dan Melayu, yang bisa menjadi bahasa persatuan. Landasannya, bahasa Jawa punya jumlah penutur terbanyak, sedangkan bahasa Melayu sudah menjadi bahasa pergaulan. Artinya, peluang bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan lebih besar ketimbang bahasa Jawa.

Tabrani menolak bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan. Menurut dia, tujuan kongres adalah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Maka bahasanya juga harus bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. "Walaupun unsurnya berasal dari bahasa Melayu," kata Sutrisno Kutoyo dalam buku Prof. H. Muhammad Yamin, S.H. terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Yamin menentang pendapat Tabrani karena bahasa yang ada saat itu adalah bahasa Melayu, belum ada "wujud" bahasa Indonesia. Akhirnya, Kongres Pemuda I menemui jalan buntu. "Kongres Pemuda I jadi lebih bersifat akademis, yang mengulas unsur-unsur persatuan," ujar sejarawan Taufik Abdullah.

Lambat-laun, gelombang penentang Yamin soal bahasa Melayu ini semakin besar. Argumentasinya, pertama, bahasa persatuan tak mutlak perlu. Mereka memberi contoh Swiss, yang rakyatnya menggunakan tiga bahasa, yakni Jerman, Prancis, dan Italia. Kedua, negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia sama-sama menggunakan bahasa Inggris. Namun, kenyataannya, ketiga negara itu terpisah dan tidak menjadi satu bangsa dengan Inggris.

Yamin kemudian menjawab penentangan ini dalam Kongres Pemuda II. Ia mengatakan argumentasi pertama tak bisa diterapkan pada bangsa Indonesia karena di sini ada ratusan bahasa daerah—tidak cuma tiga. Ihwal penentangan kedua, Yamin menilai pendapat itu keblinger karena bahasa Indonesia merupakan salah satu wujud persatuan.

Menurut Taufik, ketika menjawab itu, Yamin telah melampaui fase transisi kebangsaan. "Dia tak lagi menyanyikan Sumatera atau Andalas Tanah Airku, tapi Indonesia Tanah Airku," kata doktor lulusan Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat, ini.

Dalam sebuah guyonan dengan pemuda asal Yogyakarta, Jusupadi Danuhadiningrat, Yamin dan Adnan Kapau Gani—pemuda Minangkabau yang gemar menyantap makanan Palembang—berkelakar tentang persatuan "menu" Nusantara. "Kalau situ dahar gudeg ame nasi, jangan lupa plus ama pempeknya," ucap Adnan. Yamin lalu nyeletuk, "Dan bagusan lagi, tambah rendang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus