Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melihat negeri kublai khan

Kehidupan rakyat mongolia yang berkiblat kepada uni soviet. cara tradisional masih kuat, seperti adat ger bagi para peternak. perkembangan ekonomi, pendidikan, seni dan agama berakar pada sistem sosialis soviet.(sel)

12 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki yang berkuda berbesar hati selama satu jam Lelaki yang mendapat pelana berbahagia selama sehari Lelaki yang menikah mendapat kebanggaannya sepanjang tahun ITU syair tentang Tiga Kebahagiaan Lelaki, bagian dari folklor Yortontsiin Gurab (Tiga Pokok Kehidupan Dunia) yang terkenal dalam kehidupan masyarakat Mongolia. Di Republik Rakyat Mongolia, negeri yang terletak 5.200 kaki di atas permukaan laut, padang stepa berbukit-bukit dan lahan perburuan melekat dalam kehidupan tradisional rakyatnya. Sehingga, kuda-kuda dan gaung alam mewarnai balada-balada mereka. Padang rumput dan bukit-bukit batu berwarna tembaga menguasai pemandangan di luar kota Ulan Bator, ibu negeri. Adalah Terejl, kawasan peristiraha-tan sejauh 80 kilometer dari Ulan Bator, salah satu obyek pariwisata. Ada pula Gurun Gobi yang terkenal. Dan ada pelbagai museum di Ibu Kota, yang dituju para turis. Wartawan TEMPO Seiichi Okawa juga pergi ke tempat-tempat itu, ditemani seorang staf departemen luar negeri setempat. "Untuk pergi meninggalkan Ibu Kota dengan jarak lebih dari 40 kilometer, setiap orang asing harus mendapat izin perjalanan dari kepolisian," tutur Okawa. Di pinggir kota, surat-surat diperiksa petugas. Juga nomor mobil dan tujuan perjalanan. Turis asing di negeri ini sebagian besar orang Rusia atau negeri Blok Timur lain. Dari Jerman Barat Amerika Serikat, Negeri Belanda, Kanada, dan Jepang, dalam setahun jumlahnya hanya mencapai ratusan. Para pendatang itu diatur oleh Zhuulchin, biro perjalanan milik negara. Di kaki-kaki perbukitan di kawasan Terejl, bertebaran ger (Cina: bao), tenda-tenda dari kulit binatang. Inilah tempat tinggal asli orang Mongol yang sampai sekarang masih banyak di pelbagai pelosok negeri - bahkan di pojok-pojok kota, berdampingan dengan flat-flat atau bangunan lain yang khas negeri sosialis: serba kaku. Ger terutama ditinggali kelompok warga yang masih menyenangi gaya hidup mengembara. Setiap tahun jumlah ger yang dibuat mencapai 9.000. * * * Okawa berkesempatan pergi ke sebuah kawasan hunian dengan jumlah penduduk 700 jiwa atau 100 kepala keluarga. Ia menuju ger milik Baator, bekas pekerja tambang yang lahir 48 tahun lalu di Khovd Aymag alias Wilayah (setingkat provinsi) Khovd dekat Provinsi Xinjiang, RRC. Sebelum jatuh sakit setahun yang lalu, Baator tercatat sebagai buruh tambang batu bara di Nalajcha, dekat Ulan Bator, dengan gaji terakhir antara 900 tugrik (Rp 1.010.000) sampai 1.500 tugrik (Rp 1.680.000) per bulan - jumlah yang tidak hanya cukup banyak di Indonesia, tapi juga di Mongolia sendiri. Di dalam tenda kulit domba bergaris tengah 5 meter dengan tinggi langit-langit 2,60 meter itu, yang ia beli 15 tahun lalu dengan harga 5.000 tugrik, Baator tinggal bersama istrinya, Oyondelger, dan tiga anak. Ada sebuah lemari pakaian di dalam. Lalu lemari makan, dipan untuk suami istri, dan dipan anak-anak. Dibanding yang lain, kediaman Baator tampak lebih komplet. Pokoknya, ia adalah jenis rakyat yang cukup memenuhi syarat - atau yang telah dipersiapkan - untuk mempertontonkan "keberhasilan sosialis". Ia, misalnya, juga punya pesawat tv seharga 1.000 tugrik, lemari es (1.200 tugrik), setrika listrik (70 tugrik), mesin cuci (600 tugrik), kompor (200 tugrik), alat cukur listrik (120 tugrik), dan alat pengering rambut (100 tugrik) - dan semuanya buatan Soviet. Satu-satunya perkakas bikinan Jepang adalah radio kaset merk National Panasonic, yang di negeri ini berharga 1.600 tugrik. "Itu harga bekas pakai. Kalau baru, lebih mahal," kata Baator. Ia juga punya sebuah jip, yang dibelinya pada sebuah lelang barang bekas milik negara dengan harga 4.500 tugrik. Jip buatan Soviet, tentu. Bahkan harta kekayaan Baator tidak hanya barang-barang mati. Ia juga pemilik tiga ekor sapi betina dan empat ekor kuda. Di masa "pensiun" ini, "Saya lebih leluasa melaksanakan kesenangan saya, yaitu berburu," tuturnya. Dengan menenteng senapan, duduk di pelana, ia biasa menggelandang dikawasan pegunungan seputar Terejl, menguber serigala yang sepanjang tahun berkeliaran, atau beruang dan babi hutan yang biasanya bermunculan di musim panas. "Kulit serigala kami jual ke negara harganya 100 tugrik per lembar. Dagingnya kami makan." Oyondelger, istri Baator yang jelita, punya kesenangan jalan-jalan di hutan mencari buah-buahan liar. Wanita 42 tahun ini sudah terbiasa duduk di pelana. "Tanpa anak-anak, kami sering pergi berduaan ke hutan-hutan selama sekitar dua minggu," tuturnya. Selama itu mereka cukup menenteng sebuah tenda kecil. Sementara itu, bayangan anak-anak mereka tentang masa depan tak lepas dari semangat "realisme" di negeri ini. "Kalau lulus universitas kelak, saya mau menjadi insinyur listrik," kata Ganbold, 17, anak tertua. Profesi sebagai insinyur listrik memang menjadi kerinduan banyak pemuda Mongolia. Adapun kedua adik Ganbold oleh orang tua mereka diharapkan masing-masing menjadi dokter dan penari balet. * * * Mongolia, negeri yang membentang di jantung Asia, terjepit antara Soviet di sebelah utara dan RRC di sisi selatan. Ia bak sepotong daging terselip di setangkap roti, sehingga orang sering menyebutnya Negeri Sandwich. Luasnya 1.565.000 kilometer persegi - dua kali luas Turki atau empat kali Jepang (dengan penduduk 1/25 penduduk Turki atau 1/73 penduduk Jepang). Perbatasannya dengan Soviet meliputi 39% dari garis lingkarannya selebihnya berbatasan dengan RRC. Tetapi semangat sosialisme Soviet lebih pekat mengisi ruh negeri ini. Maka, jangan heran jika, misalnya, gambar Lenin lebih merata terpacak di banyak tempat di negeri itu ketimbang tokoh-tokoh sejarah lokal. Bermula dari pelbagai kelompok kerajaan kecil, yang memulai sejarah hidup mereka sejak tiga abad Sebelum Masehi, Mongolia terbentuk menjadi satu kerajaan pada 1206. Pada tahun itu Jenghis Khan yang lahir pada 1162, dengan nama Temujin berhasil menyatukan seluruh tanah Mongol. Sukses ini, juga semangat untuk memperluas wilayah, diteruskan oleh keturunannya dari generasi ketiga, Kublai Khan yang memaklumkan diri sebagai Khan Agung pada 1260 dan mendirikan Dinasti Yuan di Cina. Namun, di Museum Nasional di Ulan Bator (kota berpenduduk 500 ribu jiwa, yang terletak di tepian Sungai Tola) kedua Khan itu - meski dipuji sebagai pemersatu - tidak ditokohkan. Ada sebuah papan bertuliskan "Kerajaan di bawah Jenghis Khan dan Kublai Khan merupakan kenyataan masa lalu". Cukup begitu. Bahkan di seluruh kawasan Ulan Bator, sama sekali tidak ada patung atau gambar sekecil apapun tentang kedua kakek itu, berlainan dengan patung atau gambar Lenin. Apa boleh buat, konsepsi sejarah modern negeri ini harus mencap kedua Khan itu sebagai "imperialis" atau "reaksioner". Di Museum Revolusioner Mongolia, yang juga terletak di Ibu Kota. dua tokoh yang dipajang secara spektakuler - sampai masing-masing menempati kamar tersendiri - adalah Damdiny Suhbaatar (Damdiny Sukhe Bator, 1893-1923) dan Jugderdemidiin Gurragcha (lahir 1947). Yang terakhir ini adalah astronaut. Sukhe Bator adalah pahlawan tertinggi Republik Rakyat Mongolia (RRM). Disemangati Revolusi Bolsyewik Oktober 1917 di Rusia, ia mengorganisasi-kan kekuatan antifeodal di negerinya untuk menggulung kekuasaan Rusia Putih (Rusia Tsar) dan Cina atas bangsanya. Pada 11 Juli 1921 - tanggal yang di belakang hari menjadi Hari Nasional Kebangkitan Mongolia - kekuatan Sukhe Bator bersama kelompoknya dapat diwujudkan. Dan keberhasilannya tak lepas dari bantuan Tentara Merah yang dikirim Lenin dari Soviet. Hari Kemerdekaan Mongolia sendiri jatuh pada 26 November 1924 - setahun setelah Sukhe Bator meninggal. Tapi sampai saat ini pemerintah RRM lebih mementingkan 11 Juli daripada 26 November. Kenyataan bahwa Soviet, terutama Lenin, membantu kebangkitan Mongolia, berakibat jauh: hubungan kedua negara tidak sekadar bertingkat sekutu. Kecuali semangat pengembaraan bangsa Mongol yang tetap terpelihara, semua segi kehidupan negeri ini sudah dirasuki ruh Soviet. Di Ulan Bator (artinya: Pahlawan Merah) bahkan ada sebuah museum besar, namanya Museum Lenin. Di Museum Revolusioner Mongolia banyak lukisan cat minyak yang menggambarkan kerja sama Tentara Merah Soviet dengan Tentara Rakyat Mongolia. Lapangan Sukhe Bator, yang mementang lebar di depan Gedung Parlemen, bak fotokopi Lapangan Merah Moskow. Seperti halnya makam Lenin yang teronggok di depan Gedung Parlemen di Moskow, makam Sukhe Bator (dan Kh. Choibalsan, pahlawan perang revolusi lain) juga diletakkan di Gedung Parlemen. Pada upacara Hari Kemerdekaan Nasional, belasan anggota politbiro Partai Rakyat Revolusioner Mongolia atau PRRM berjejer di belakang makam itu, seperti yang biasa dilakukan di Moskow. Gedung tertinggi di negeri ini pun bangunan Kedutaan Besar Soviet, terletak di Jalan Enh Taivan (Perdamaian), Ulan Bator. Gedung ini terdiri dari belasan lantai tak jauh dari sebuah bangunan mewah: Klub Perwira Soviet. Di jalan yang sama ada sebuah restoran mewah dengan nama Moskow. Di kota ini orang Soviet malah mengisi hampir segala sudut - sebagian prajurit, sebagian lagi pekerja teknik. Sayang, memang, tidak ada instansi pemerintah yang bersedia menyebutkan berapa banyak jumlah mereka. Hanya, menurut sumber di kalangan diplomatik Blok Barat, mereka mencapai 30 ribu orang, meski tetap tak jelas berapa di antara mereka yang tentara. Inilah pemandangan saban malam di sebuah bar di Hotel Ulan Bator: Orang-orang Rusia itu, dalam seragam militer hijau tua, bergelayut dalam buaian wiski atau vodka, sementara musik yang menyemarakkan suasana adalah musik pop dan rock Barat. * * * Sebelum Revolusi 1921, konon, 99% rakyat buta huruf. Sebelum membangun 16 sekolah dasar pada 1924, di negeri yang menurut sensus 1918 berpenduduk (waktu itu) tak lebih dari 650 ribu ini, hanya ada sebuah tempat pendidikan umum. Pada 1940 baru ada 331 sekolah umum dan tujuh sekolah menengah. Mulai 1940-an, pembangunan pendidikan ditekankan pada pembangunan sekolah-sekolah tinggi dengan meningkatkan segala fasilitas pendidikan dasar dan menengah. Universitas Negeri Mongolia, misalnya, berdiri pada 1942. Pada tahun 1970 tercatat hampir 600 buah sekolah dasar umum, 20 sekolah kejuruan, dan lima pendidikan tingkat tinggi - termasuk Universitas Negara itu, kemudian Sekolah Tinggi Partai, pusat latihan guru, pendidikan tinggi kedokteran, dan pendidikan tinggi pertanian. Catatan terakhir, menurut Kementerian Pendidikan, ada tujuh universitas (lima yang di atas plus Universitas Ekonomi dan Teknologi), 62 sekolah menengah kejuruan dan 889 buah sekolah dasar umum. Sekitar 60% anak usia sekolah di daerah, yaitu anak-anak para pengembara, diasramakan pemerintah. Kecuali itu, dalam setahun paling tidak 11 ribu orang dikirim belajar ke luar negeri Soviet dan Jerman Timur. Pada 1960-an komunikasi satelit mulai dimanfaatkan, dan pada 1967 stasiun televisi mulai menyiarkan gambarnya. Penyebaran televisi yang dimungkin-kan atas bantuan Soviet itu dikatakan telah ikut menghapuskan buta huruf. Tiga tahun setelah siaran dalam negeri menyala - dengan isi siaran lebih dari separuhnya berita atau film dokumenter kegiatan PRRM - pada 1970 siaran dari negeri induk, yaitu Soviet, mulai di-relay melalui satelit Orbita. Maka, isi siaran sekarang selain kegiatan PRRM adalah olah raga, musik, dan film hiburan Soviet. Siaran internasional, yaitu dari negeri-negeri Blok Timur, terutama Kuba, di-relay pula melalui satelit bumi intersputnik. Astronaut pertama dari rumpun Asia adalah dari negeri ini juga. Dialah Jugderdemidiin Gurragcha lahir 38 tahun lalu sebagai anak petani di Wilayah Bulgan (Bulgan Aymag), sebelah utara Ulan Bator. Rakyat menjulukinya "Sukhe Bator zaman ini". Lelaki kekar (tinggi 169 cm, berat 75 kg) ini pada 22 Maret 1981 mengikuti penerbangan Soyuz 39 yang diluncurkan Soviet. Jadilah ia satu-satunya orang Mongolia yang memiliki medali kepahlawanan Uni Soviet. "Waktu kecil, saya tidak berbeda dengan anak-anak lain," kata Gurragcha kepada Okawa. "Seperti umumnya, saya juga senang berkuda mengarungi padang rumput. Tetapi begitu mendengar Yuri Gagarin berhasil mencapai angkasa, saya tergugah. Eh, tanpa saya sangka sebelumnya, impian saya untuk menjadi astronaut terkabul juga." Sebagai orang yang dielu-elukan di mana-mana, Gurragcha - dengan pakaian seragam militer warna hijau, lengkap dengan seabrek tanda jasa, sebagai mayor jenderal sering mendampingi Jambyn Batmunkh, 58 tahun, orang paling kuat di Mongolia kini. Batmunkh, yang menduduki jabatan Sekjen PRRM sejak Agustus 1984, tak pelak lagi memanfaatkan kepopuleran pengembara angkasa ini. Ekonomi Mongolia mulanya mendasarkan diri pada peternakan dan sedikit pertanian. Jumlah ternak di sini memang luar biasa: 23,54 juta ekor - meliputi kuda, domba, sapi, kambing, dan unta. Maklum, negeri padang rumput. Padahal, jumlah penduduknya sendiri pada 1984 tercatat hanya 1,87 juta jiwa. Beberapa tahun belakangan ini pemerintah mulai mencoba melepaskan diri dari gambaran "negeri pengembara dan peternak" ke "negeri industri pertanian". Sektor agraris dikembangkan dengan pembentukan pertanian sistem kolektif, meniru kolkhoz Soviet. Untuk pelaksanaannya, Soviet, sang negeri induk, jelas membantu. Lahan pertanian di negeri itu berjumlah 1,16 juta hektar atau 0,7% dari luas seluruh negeri. Padang rumput 123,55 juta hektar atau 78,9% dari daratan. Pekerja di pertanian dan peternakan 300 ribu orang jadi, angka rata-rata per kapita 408,5 hektar. Ada empat sistem pertanian kolektif: Sangiin Aji Akhui (Pertanian Negara), 51 tempat, Khodoo Aji Akhuin Negdel (Asosiasi Pertanian Kooperatif), 255 lokasi, Lahan Pertanian Pangan (14 buah), dan Perusahaan Interkoperasi (17). Biasanya, sebuah Sangiin Aji Akhui memiliki modal 42 juta tugrik, 16 ribu hektar tanah, 91 traktor, dan 40 buah kombain ' (mesin pemungut hasil ladang). Sedangkan setiap Khodoo Aji Akhuin Negdel memiliki modal 10 juta tugrik, 441 ribu hektar tanah, 70 ribu ekor ternak, 15 traktor, dan 13 mobil. Menurut Pusat Statistik Mongolia, sekitar tiga perempat atau kurang lebih 5,86 juta ton hasil pertanian bersumber dari Kodoo Aji Akhui Negdel. Asosiasi ini memiliki sekitar 76% jumlah ternak di seluruh negeri. Nuhurlel adalah salah satu lokasi Kodoo Aji Akhuin Negdel - terletak tiga jam perjalanan dengan mobil dari Ulan Bator. Nuhurlel dikelilingi perbukitan dan padang rumput, dihuni 400 kk, dilengkapi dengan sebuah taman kanak-kanak, sebuah sekolah (untuk usia 8-16tahun, dengan murid 432 orang), sebuah rumah sakit (10 buah tempat tidur), dan beberapa kios penjual pakaian jadi. "Penghuni di sini, seluruhnya sekitar 2.000 orang, terkumpul dari 8 aymag," kata seorang staf di situ. Mongolia terdiri dari 18 aymag. Biaya pembangunan kawasan ini mencapai 63. juta tugrik. "Semuanya atas bantuan Soviet," tutur Bat Tulga, 39, Sekretaris Pertama Kohodoo Aji Akhuin Negdel Nuhurlel. Kawasan pertanian dan peternakan yang dibangun pada 1981 ini setiap tahun, setidaknya sejak 1983, menghasilkan 674 ribu liter susu sapi, 10 ribu liter susu kuda, 98.200 ton daging sapi dan domba, dan 10.416 ton gandum. Selain produksi utama itu, Nuhurlel juga mengeluarkan 19,4 ton bulu domba, 2.670 lembar kulit binatang (2.100 kulit domba, 350 kulit sapi, 100 kulit kuda, dan 120 kulit kambing). "Tahun itu produksi kami bernilai sembilan juta tugrik," kata Bat Tulga. "Tetapi itu sebenarnya belum memuaskan, mengingat banyak juga asosiasi semacam kami yang sanggup menghasilkan uang 33 juta tugrik setahun." Tentu saja keterangan seperti ini susah dicek. Dengan cuaca yang berat (di Ulan Bator, misalnya, musim panas 12-20 derajat Celsius, musim dingin minus 25 derajat) di musim dingin semua petani atau peternak yang biasanya mengembara menyusuri stepa tinggal di Sangiin Aji Akhui atau Aji Akhuin Negdel. Pada saat salju melenyap, dan rumput bertumbuhan lagi - biasanya dari bulan Mei sampai September -mereka keluar lagi, menggiring ternak ke padang-padang. * * * Kebiasaan seperti itu pula yang dijalani Avirmid, 59 tahun, peternak dan penghuni ger yang ketika ditemui Seiichi Okawa sedang berada sekitar dua jam perjalanan mobil dari Nuhurlel. Musim panas tahun lalu Avirmid memancangkan ger-nya di kaki sebuah bukit, dekat sebuah sumur tua di padang rumput tanpa cakrawala. Avirmid, pemilik 340 sapi, 30 kuda, 10 kambing dan 20 domba, tinggal di situ bersama seorang istri dan dua anak. Kecuali di musim salju, selama tujuh bulan - biasanya dari Mei sampai November "Kami sekeluarga berpindah-pindah mencari rerumputan," tuturnya. "Selama itu rata-rata kami pindah tempat 15 kali tetapi kadang kala, terutama kalau susah mendapat rumput yang subur, sampai 30 kali." Jarak pindah yang pendek, biasanya sekitar lima kilometer, tak membuat Avirmid repot: cukup mengerahkan tenaga lembu atau unta milik sendiri untuk mengangkut segala perkakas, termasuk ger yang sudah dilipat. Jika harus pindah sejauh 50 atau 100 kilometer, "Kami minta tolong ke Sangiin Aji Akhuin untuk dibolehkan menggunakan truk mereka," - Avirmid bermaksud menonjolkan kebaikan lembaga resmi itu. Di Mongolia ada ungkapan: Siapa yang tidur larut akan mengetahui banyak hal baru. Jika bangun awal, banyak pula hal baru akan diperoleh. "Begitulah saya. Saya pengikut petuah itu," katanya. "Saya biasanya pergi tidur sekitar pukul 12 malam atau pukul 1 dinihari," - sembari mereguk airak, susu kuda yang lazim diminum di musim panas. Pukul lima pagi segenap keluarga Avirmid biasanya sudah bergegas memulai hidup rutin mereka. Sepagi itu, segenap ternak milik mereka mulai digelandang di padang rumput. Setelah itu baru mereka menikmati makan pagi, dengan menu seperti laiknya orang Mongolia di kota ataupun desa, dan minum airak yang asam dan agak apak itu. Mangkuk khusus untuk airak bentuknya mirip baskom. Selain airak, mereka biasa pula makan keju dari susu sapi, domba, dan kambing - dinamai aruul atau byaslak, atau ezqyi. Ada pula hidangan sebangsa roti dengan ukuran sebesar kepala bayi - tetapi jarang mereka makan pada saat pengembaraan. Pada saat yang sama, "Kami juga sangat jarang makan daging," tutur Avirmid. Idem dito untuk sayuran. Aneh. Adapun makanan yang populer untuk musim dingin adalah engeniisuu - semacam keju dari susu unta. Tsagan tos - dari selaput yang biasanya muncul ketika susu sapi, kambing, atau domba direbus - juga terbilang top. Meski merupakan makanan di hari turun salju, tsagan tos dibuat di musim panas. Untuk mengolesi roti biasanya digunakan semacam mentega dari susu sapi, kambing, atau domba - namanya shar tos. Ger milik Avirmid bergaris tengah empat meter. Di tengahnya, di bagian dalam, ada sebuah pendiangan dengan bahan bakar kayu dan kotoran ternak. Permadani yang melapisi lantainya terbikin dari wol. Ada rak tempat makanan dan minuman, dapur, dan di pojok terdalam foto-foto hitam putih berbingkai - gambar anggota keluarga dan kerabat. Di sana sini tergeletak cambuk, sebuah pisau belati, dan batu api - tiga perlengkapan wajib pengembara berkuda. Avirmid, yang sudah mulai duduk di pelana sejak berusia lima tahun, mencoba tidak pernah lupa ketiganya. Maklum, ketiga barang itu belakangan memang sudah tidak banyak dimanfaatkan dan di ger, Avirmid meletakkannya dengan begitu saja. Tak lain karena ia sudah memiliki sepeda motor - buatan Soviet. Satu-satunya barang mewah yang ia punyai ini ia tunggangi untuk menghalau ternak-ternaknya keluar- masuk kandang. "Sudah berkali-kali saya mengganti sepeda motor saya," tuturnya. "Yang terakhir saya punyai ini memiliki 75 HP, saya beli dengan harga 6.782 tugrik." Sepeda motor sudah jamak di kalangan peternak pengembara, paling tidak yang mampu, sebagai pengganti kuda. Avirmid sebenarnya memiliki sebuah pesawat tv, sehingga ia termasuk dalam daftar 45% (dari seluruh KK) yang dikatakan memiliki pesawat itu. Tetapi, dalam pengembaraan dan hidup di ger, tempat yang tidak memungkinkan mendapat aliran listrik, barang itu tidak dibawa. "Saya titipkan di pertanian negara Nuhurlel," Avirmid mengaku. Entah benar-tidaknya. * * * Sejak 1970-an, pemerintah mulai menekankan industri pengelolaan sumber mineral. Dengan demikian, ketergantungannya pada hasil peternakan, terutama sebagai komoditi ekspor, sudah mulai berkurang. Lebih-lebih karena pengelolaan peternakan - dengan hasil berkualitas tinggi dan laku tetap tidak bisa terhindar dari ancaman bencana alam. Dengan bantuan industri, PRRM sebagai pemegang kendali pemerintahan merasa memiliki payung penyelamat selama mengatur pengeluaran anggaran belanja negara yang, pada 1985 ini, dikatakan berjumlah 5,7 milyar tugrik. Dari industri, tahun lalu, bisa didapat uang sejumlah 5,3 milyar tugrik antara lain ditopang oleh hasil tambang batu bara sebanyak 4,97 juta ton. Harian Unen (Kebenaran), organ PRRM, serentak dengan pemberitaannya mengenai APBN tersebut, tidak memungkiri kenyataan: Perdagangan internasional Mongolia sebagian besarnya bergantung pada Uni Soviet. Dalam pada itu, hubungan Mongolia dengan RRC makin beku saja sesudah mulai dingin sejak awal 1960-an, ketika Soviet tak lagi akrab dengan Cina. Padahal, dahulu, pada 1936, Mao Zedong pernah meramalkan, "Mongolia, secara otomatis - dengan kesadarannya sendiri - akan menjadi bagian dari Cina." Pada 1950, di awal kepemimpinan diktator proletariat Mao, Cina mengirimkan 20 ribu tenaga kerja ke negeri ini untuk ikut membangun jalan, gedung-gedung, dan jembatan. "Kami tidak memiliki perasaan anti-Cina," kata Menteri Luar Negeri Mangalyn Dugersuren, 62 tahun, kepada TEMPO. "Kami menghormati RRC. Cuma kami tidak menyetujui kebijaksanaan-kebijaksanaan para pemimpinnya di Beijing." Persahabatan Mongolia (anggota Comecon) dengan Soviet sendiri telah terkukuhkan dengan sebuah monumen yang tegak menjulang di pucuk Bukit Zaisan Tolgoi, di tepi Sungai Tola, tak jauh dari pusat Ibu Kota. Pada tugu bernama Monumen Pahlawan Mongolia-UniSoviet ini tertera kalimat: "Jiwa Anda selalu berada dalam kebersamaan kita kemuliaan Anda lahir dalam kenyataan". Wah. * * * Kenyataan yang dimaksudkan itu adalah semangat realisme sosialis gaya Soviet. ini pula yang merasuki 300-an orang (60 di antaranya wanita) anggota Asosiasi Pelukis Mongolia, yang berdiri 1942. "Di negeri kami," kata Tsembeldorzhy, 53, yang paling tersohor dari mereka "Lukisan realis, yang sesuai dengan semangat PRRM dalam menegakkan realisme sosialistis, sangat dipuja rakyat," begitu ia berpropaganda. Abstraksionisme sebenarnya tidak diharamkan. "Tetapi, yang begituan bagi masyarakat kami merupakan barang asing, di luar jangkauan pemikiran." Tsembeldorzhy, bapak delapan anak (lima lelaki, tiga perempuan), lahir pada 1933 di Dundgov Aymag, Gurun Gobi Sentral. Ayahnya seorang peternak. Sehingga, masa bocahnya ia lalui seperti laiknya anak dusun lainnya, menggembala ternak sambil mengikuti pendidikan dasar empat tahun. Pada usia ke-24, lelaki yang rambutnya sekarang memutih ini mulai masuk asosiasi. Dan mulai melukis - terutama potret alam, dengan gaya - tentu saja - realistis. Banyak gambar tentang kampung halamannya, Gurun Gobi, yang ia buat. Studio tempat kerja Tsembeldorzhy menyatu di apartemennya yang berada pada lantai kesembilan sebuah gedung perumahan di Ulan Bator. "Upah yang saya dapatkan dari asosiasi tidak begitu besar cuma 700 tugrik," katanya jujur. Seperti galibnya seniman di negeri ini, ia tidak berhak mendapat-kan kekayaan dari hasil lukisannya. Namun, dalam setahun ia diberi kesempatan berkeliling ke pelbagai pelosok negeri untuk menggali tema-tema lukisan, dan perjalanan yang biasanya berlangsung 30 atau 45 hari itu ditanggung pemerintah. "Pernah saya membuat lebih dari 100 gambar pesanan Museum Kesenian Nasional." Seolah hendak melunturkan ekspresi kesenian lokal - misalnya tarian rakyat - yang berakar pada kebudayaan pengembara dan stepa, realisme sosialis Soviet melekat pula dalam bentuk balet, opera, dan rombongan teater, yang sebenarnya asing bagi si pengendara kuda. Di Pahlawan Merah, Ibu Kota, terdapat gedung-gedung pertunjukan, Akademi Drama, Balet & Opera, Teater Boneka, dan panggung-panggung konser. Hampir semua pemain balet dan opera berpengalaman belajar di Soviet atau negeri-negeri Eropa Timur, kata Okawa. Di pelbagai kompetisi internasional, mereka banyak yang mendapatkan pujian dan hadiah. Khas negeri sosialis, memang. Seragam. Film adalah tangan Soviet yang lain di sini. Sejak Studio Film Ulan Bator berdiri, 1935, perlengkapan dan segala teknik produksi dikangkangi negeri induk itu. Produksi lokal tak banyak, kalau tidak boleh dikatakan hampir nol: yaitu cuma dua atau tiga judul per tahun dan hampir semuanya di warnai sejarah Revolusi 1921. Jamjian Buntar, lulusan Institut Sinematog.afi Moskow 1963, sudah menjadi seorang sutradara terkenal. Sudah menghasilkan sembilan film cerita dan 13 film dokumenter. Yang tersohor misalnya Garid Magnai (Garuda Perkasa), tentang kehidupan seorang bokh, pemain gulat - jenis olah raga yang di hari kemarin tak lepas dari upacara keagamaan tradisional. Pada Festival Film Internasional di Moskow 1973, Jamjian Buntar - dengan karya Nar Khirtsen Jir (Tahun Gerhana Matahar) - mendapat penghargaan istimewa. Sutradara lain yang juga terpandang adalah R. Dorjpalam, pembuat Tungalag Tamir (Sungai Tamir yang Jernih, 1970) dan Khurgen Khuu (Menantu Lelaki, 1971). Mengingat jumlah produksi yang minim, tak ada bintang film yang sempat terkenal. Film produksi Soviet dan negeri-negeri Eropa Timur lebih mendominasi pasaran dalam setahun tak kurang dari 30-an judul diputar di Ulan Bator. Dalam film yang hampir semuanya berbahasa Rusia itu, cerita yang tampil berkisar soal cinta dan perang. Semaraknya kehidupan di Ibu Kota - yang begitu kontras dengan kehidupan di ger di padang-padang rumput - diwarnai pula oleh kehadiran grup-grup musik. Ulan Bator, tempat bermukim sepertiga rakyat Mongolia, tidak hanya memiliki gedung-gedung apartemen belasan tingkat, bangunan kedutaan, restoran, hotel-hotel besar, atau toserba milik negara. Atau gedung-gedung pertunjukan balet dan teater. Tetapi juga Uriyn Tuyaa (Dinihari, berdiri 1976) - grup musik penerima medali emas Persatuan Pemuda Revolusioner Mongolia 1980 dan sejak itu menjadi sangat populer, sehingga diundang main ke Soviet, Jerman Timur, dan Kuba. Medali itu didapat pada acara kontes musik politik yang berlangsung dua tahun sekali dan biasanya diikuti puluhan utusan dari seluruh (18) aymag. Sebenarnya, sembilan orang (dua di antaranya wanita) yang tergabung dalam Uriyn Tuyaa merupakan anggota tetap Orkes Simfoni dari Opera dan Balet Nasional Mongolia. Cuma mereka berhasil memanfaatkan waktu senggang untuk membentuk grup band. Yang menarik, dari 150 lagu yang mereka kuasai, 20 di antaranya adalah lagu Barat. "Kami bisa mendengar musik pop dan rock Barat melalui radio. Tahu juga kami, siapa itu Beatles," kata D. Baatar, 31, pemain organ dan sekaligus pemimpin grup. "Tetapi kami lebih menyukai musik dalam negeri." Piringan hitam mereka terjual laris di Soviet dan negeri-negeri Eropa Timur. "Tetapi berapa banyak, dan berapa hasil uangnya kami tidak tahu juga tidak berminat untuk tahu," kata P. Urna, 24, salah satu anggota wanita. Ibu muda yang cantik ini setiap bulan menerima gaji 700 tugrik. Kecuali Uriyn Tuyaa, grup musik yang juga terkenal misalnya Bayan Mongol (Mongolia Makmur), terdiri dari belasan lelaki dan perempuan. Atau Soyel Erdene (Permata Kebudayaan). Keduanya sudah banyak (entah berapa) menelurkan piringan hitam, lewat Melodia - perusahaan rekaman Soviet. Musik mereka kebanyakan melantunkan soal cinta, persahabatan, penghormatan, dan kerinduan kepada orangtua, dan mantra-mantra yang berkaitan dengan kehidupan alam dan padang rumput. Semangat lagu rakyat dan gema suasana tradisional masih bisa terdengar di antaranya. Warna tradisional begitu juga mengisi jiwa hasil kesusastraan Mongolia - meski realisme sosialis Soviet mencoba menguasainya. Dalam bait-bait puisi dan cerita pendek 1930-an - awal kebangkitan kesusastraan modern menurut pengertian di situ, yang dirintis Dashdorjiyn Natsagorj - realisme lokal sangat terasa. Khuuchin Khuu (Masa Lampau sebagai Bocah), Ezerkheg Turemgii Bayirdaan (Perang Invasi), dan lakon drama Bi Bish (Bukan Saya), merupakan sebagian contoh karya puncak D. Natsagorj yang tetap populer hingga sekarang. Ia sendiri meninggal pada 1937, dalam usia 31, dan sampai sekarang belum ada dari angkatan muda yang bisa menandinginya. Karya puisi D. Natsagorj yang paling tersohor adalah Minii Nutag (Kampung Halaman Kita), yang dibuat tiga tahun sebelum mati. Puisi ini sudah diterjemahkan ke banyak bahasa: Rusia, Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Jepang, dan Vietnam. Para penulis yang lebih muda, yang tampil di tahun-tahun 1950-an dan 1960an, lebih banyak merekam semangat kontemporer, mencoba melantunkan keseimbangan antara unsur psikologis dan semangat kemasyarakatan. Sementara itu, novel-novel yang realistis dan epis dikatakan tetap disukai konsumen. * * * Unsur lokal yang masih mencoba bertahan sampai saat terakhirnya, kini, dalam menghadapi pitingan komunisme, adalah agama. Lamaisme Sekte Kuning, selama 400-an tahun - sejak kepercayaan ini diimpor dari Tibet oleh Kublai Khan pada abad ke-16 sampai meninggalnya Bogda Jebzundamba, atau Budha Hidup, tokoh pemimpin Lamaisme Mongolia, pada 1924 - menguasai kehidupan jiwa rakyat dan para penguasa Mongolia. PRRM, yang berhasil bangkit pada 1921, bahkan tidak bisa merontokkannya ini terutama lantaran waktu itu Bogda Jebzendamba, yang sangat dicintai rakyat, belum meninggal. Sebab itu pula, Republik Rakyat Mongolia baru dapat diproklamasikan pada 1924, tanggal 26 November. Dalam undang-undang dasar tidak ada pengharaman terhadap Lamaisme. "Tetapi kami tidak tahu berapa banyak warga negeri ini yang masih memeluknya," kata Ish Samdar, 66, biarawan di Kuil Gangdanthek chenling, pusat (sisa-sisa) Lamaisme di Ulan Bator. Di kuil yang belakangan di jadikan obyek turisme ini masih tersimpan, kata Ish Samdar, "100 ribu jilid kitab ajaran Budha." Masih pula bertahan 150 biarawan, dengan usia 50-an atau 60-an tahun. Generasi muda memang sudah tidak peduli apa itu Lamaisme - dan, agaknya, apa itu agama. Tetapi setiap hari, menurut penjaga kuil, masih ada sekitar 1.000 orang pemeluk yang datang bersembahyang - dengan usia rata-rata 60-an tahun. Anak-anak mudanya memang hidup dalam semangat sosialis - sambil tak lupa mencuri-curi untuk membeli atau menukar dengan barang antik, barang-barang negeri kapitalis misalnya celana jin atau jam tangan Seiko. * * * Belakangan, pemerintah sibuk mengurusi persoalan jumlah penduduk - bukan lantaran kebanyakan, seperti tetangganya, RRC, tetapi justru karena terlalu sedikit. Usaha meningkatkan jumlah penduduk pun digencarkan. Untuk tahun 2000, pemerintah merencanakan peningkatan penduduk menjadi 2,7 juta jiwa (70 persen lebih banyak dibanding catatan sensus 1980). Untuk mengejar ini, sistem hadiah digencarkan. Kalau seorang ibu melahirkan anak lebih dari empat, maka ia akan mendapat Penghargaan Pahlawan Ibu kelas II. Dengan anak lebih dari delapan, Penghargaan Pahlawan Ibu kelas I. Menyertai penghargaan itu adalah jatah uang 50 tugrik untuk setiap anak per bulan. Ibu-ibu itu juga berhak memperoleh libur istimewa selama 14 sampai 21 hari dalam setahun. Dan waktu melahirkan mendapat pelayanan gratis. Wanita pekerja yang hamil mendapat jatah libur 45 hari sebelum melahirkan dan enam bulan sesudahnya - dengan mendapat gaji penuh. Dengan cara seperti ini, untuk periode 1977-1980 pemerintah menyatakan telah menghabiskan 5,28 juta dolar AS. Malah di luar pelayanan istimewa itu, bagi keluarga yang banyak anak masih ada hak khusus pula untuk menempati rumah yang lebih besar. Plus hak pensiun pada usia 50, lima tahun sebelum semestinya. Menurut peraturan yang normal, ibu yang memiliki masa kerja 20 tahun baru berhak memperoleh pensiun setelah usia 55. Tapi, inilah problemnya: generasi muda tidak begitu menggubris segala seruan dan iming-iming pemerintah untuk memperbanyak keturunan itu. Entah disambar setan dari mana, wanita-wanita muda, demi pekerjaan dan karier, pada keberatan mengurus banyak anak. Rata-rata mereka menolak memiliki anak lebih dari dua. Namun, untuk membeli alat kontrasepsi, kondom misalnya, harus ada izin dokter. Catatan Departemen Luar Negeri Mongolia menyatakan: 50,6% dari seluruh anggota asosiasi pertanian kooperatif dan 51,6% dari seluruh buruh pabrik adalah wanita. Jumlah dokter wanita 61,4%, guru 65,5%. Ada 370 anggota Ardyn Ikh Khural, atau parlemen. Nah, 90 orang di antaranya adalah wanita. Tak perlu ada teriakan emansipasi, semangat kerja wanita di sini lebih riil. Mereka semua berkuda. * * * Problem lain yang, mestinya, ikut membuat pemerintah waspada adalah masalah perbatasannya dengan RRC dan Soviet. Dalam suasana hubungan kedua negara pengapit itu, letupan-letupan kecil bisa menciprati Mongolia - paling tidak merongrong keamanan di dalam negeri. Soviet, bagaimanapun, di garis perbatasannya menempatkan pasukan 470 ribu serdadu (52 divisi), sementara RRC menyiagakan 1,5 juta prajurit (66 divisi). Lebih dari itu, menurut sumber TEMPO di Mongolia, Soviet juga bersiaga di dalam wilayah Mongolia sendiri. Yaitu dengan menempatkan 2-5 divisi pasukan tempur, 400 tank (kebanyakan tipe T-62), dua pangkalan udara di sisi timur, dan, konon, beberapa pangkalan peluru kendali. Bahkan jumlah seluruh angkatan (infanteri, pasukan tank, dan angkatan udara) Mongolia yang 30 ribu orang masih lebih kecil dibanding serdadu Soviet yang bercokol, konon. Musik, sandiwara, cerita-cerita novel, atau film (yang lebih banyak impor) boleh saja menyuarakan semangat sosialisme dan harapan perdamaian dunia. Tetapi, jangan lupa, untuk menghadapi abad ke-21, kata Gurragcha, sang astronaut, "Di sini masih banyak masalah yang harus diselesaikan." Dan, kalau saja terjadi baku tembak antara Soviet dan RRC, Mongolia bukan lagi menjadi Negeri Sandwich tetapi daging cincang. Maka, rakyat di pedalaman padang stepa hanya akan mampu menyanyikan sebait syair dari Yortontsiin Gurab yang ini : Gigi putih milik pemuda Rambut putih milik pak tua Tulang- putih milik si mati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus