BAGAIMANA orangtua di Pontianak, Kalimantan Barat, tak gelisah. Beberapa murid TK dan SD di kota itu telah menjadi korban penculikan dan penganiayaan. Terakhir, seorang gadis cilik berusia 10 tahun, Liliwaty, malah ditemukan sudah tak bernyawa. Mayat murid kelas III SD itu tergeletak dalam parit di gang yang penuh belukar. Di lehernya ada bekas cekikan, mulut serta tenggorokannya tersumpal tanah. Minggu siang pekan lalu, tersangka seteru anak-anak itu tertangkap saat baru turun dari oplet di muka Gang Amal, Jalan Merdeka Timur, Pontianak. Ia tak lain Supandy, 35, penyanyi keroncong merangkap buruh serabutan, yang selalu berpakaian necis. Pada malam sebelumnya, menurut sumber di Polda Kalimantan Barat, tersangka sudah sempat dikejar-kejar di daerah Jeruju. Tapi ia sempat menghilang. Kepada polisi, tersangka mengaku bahwa dialah yang sejak Agustus lalu seolah telah menyebar teror. Ia mengaku, perbuatan itu sebenarnya karena terdorong oleh keinginan mempunyai anak. Tapi, karena anak yang dibawanya berkeliling naik sepeda kemudian rewel dan menangis, perasaannya berubah menjadi marah dan benci. Mulut korban lalu disumpal dengan batu, pasir, atau tanah. Karena masih tetap menangis, lehernya dicekik, sampai pingsan. Menyaksikan korban dalam keadaan demikian, menurut sumber TEMPO, tersangka merasa senang, seperti berada di awang-awang. Tapi kemudian ia merasa takut dan menyesal. "Mungkin ia menderita kelainan jiwa," ujar sumber itu. Polisi menjejaki tersangka berdasarkan pengakuan korban pertama, Rudianto, yang baru berumur enam tahun murid TK Bruder Melati, yang lolos dari maut. Pada 24 Agustus lalu, Rudi diculik sepulang sekolah dan sorenya ia ditemukan di semak-semak dekat stadion olah raga. Mulutnya juga tersumbat batu dan di leher ada bekas cekikan. Belum lagi pelakunya diketahui, 10 hari kemudian Tedy, alias Titi, 8, mendapat giliran. Anak bungsu Thiam Tjua itu dibawa seseorang saat sedang bermain-main di petang hari. Beberapa jam kemudian ia ditemukan dalam keadaan sama dengan Rudi. Sedikitnya, ada empat korban lagi, menurut beberapa sumber, yang sempat diculik. Rudi dan Tedy, saat ditanyai, menyebutkan ciri-ciri si pelaku: berewokan, bertubuh kekar, berpakaian rapi, selalu naik sepeda. Dari data tersebut, dibuatlah foto identifikasi. Tak lama, petugas mendapat masukan yang menyatakan Supandylah yang memboncengkan Liliwaty di hari saat gadis itu terbunuh, 25 September lalu. Kecurigaan petugas bertambah karena tahun 1982, ia pernah dihukum 2 bulan 15 hari karena menculik anak tetangganya. Rupanya, penyakitnya yang dulu itu kini kambuh lagi, dengan lebih hebat. Akibat yang ditimbulkannya juga hebat, khususnya di kalangan WNI keturunan Cina. Sebab, para korban yang menjadi sasaran memang anak WNI keturunan. Kie Khu, 53, sampai meliburkan kedua cucunya dari sekolah selama sebulan, karena tak ada yang mengantar jemput. Tjeng Tjong, 42, untuk sementara juga melarang masuk sekolah dua anaknya yang masih di SD. Misjum, 25, istri kedua Supandy - istri pertamanya, yang mengidap sakit ayan, Ijah, meninggal 1982 karena tersungkur masuk parit - kaget mendengar suaminya ditangkap. Ketua RT dan warga Gang Semangka II, Kelurahan Sungai Jawi Luar, juga tak kalah kaget. Sehari-hari, tersangka dikenal taat beribadat dan rajin bekerja. "Ia tak pernah menolak disuruh bekerja apa saja. Menggali parit, menggali sumur, memotong rumput, atau membersihkan WC," tutur Hadri, ketua RT. Hadri dan Majid - pemilik rumah yang ditempati tersangka - malah menitipkan anak-anak mereka bila hendak bepergian kepada Supandy. Dan selama ini, tak pernah terjadi apa-apa dengan anak-anak mereka. Tapi, kata Letkol Guntur Sumastopo, Kepala Polres Pontianak, tersangka telah mengakui semua perbuatannya. Dan saat ini, ia masih terus diperiksa. "Siapa tahu, ada orang di belakangnya," kata Guntur. Karena yang menjadi korban umumnya anak-anak WNI keturunan, memang sempat muncul dugaan: jangan-jangan kasus ini berlatar belakang soal SARA. Sur Laporan Djunaini KS (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini