Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harold Crouch
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah seorang jenderal yang tidak biasa memberikan perhatian banyak terhadap masalah politik luar negeri. Sebagai presiden, politik luar negerinya tidak dijiwai oleh visi hebat tentang peran Indonesia dalam politik dunia. Dibandingkan dengan Presiden Soekarno yang melaksanakan ”politik mercusuar” dan bercita-cita menjadi seorang ”Pemimpin Besar” di panggung dunia, pendekatan Soeharto hanya bertujuan memperoleh manfaat konkret bagi negaranya.
Politik luar negeri Indonesia pada zaman Soeharto sangat berkait dengan kepentingan dalam negeri. Pendekatan ini sangat jelas pada awal pemerintahannya. Pada akhir zaman Orde Lama ekonomi Indonesia sudah rusak sama sekali. Presiden Soekarno lebih suka berkonfrontasi dengan negara-negara Barat yang disebut ”nekolim”, sedangkan masalah ekonomi dalam negeri dibiarkan saja. Sebaliknya Soeharto mendekati negara-negara Barat dan Jepang untuk mencari bantuan ekonomi dan menarik penanam modal asing.
Dengan demikian politik luar negeri memberikan sumbangan yang sangat besar kepada proses pembangunan ekonomi yang membawa manfaat yang mendalam bagi bangsa Indonesia—walaupun bukan semua golongan dalam masyarakat dapat menikmatinya. Pembangunan ekonomi juga menopang stabilitas politik, sehingga Orde Baru dapat bertahan selama 30 tahun lebih. Soeharto, sebagai presiden, juga memanfaatkan pembangunan ekonomi untuk ”membeli” dukungan para elite politik. Sudah tentu yang mendapat keuntungan yang paling besar adalah anggota keluarganya, para kroninya dan perwira-perwira militer yang dekat dengannya.
Walaupun Indonesia tetap menjunjung tinggi ”politik bebas aktif” yang dicanangkan oleh Wakil Presiden Hatta pada zaman revolusi, pada prakteknya negara ini tidak lagi berdiri di tengah antara kubu Barat dan kubu Timur, tetapi sangat condong ke arah Barat. Hubungan erat dengan negara kapitalis Barat dan Jepang paling jelas dapat dilihat dalam bidang ekonomi di mana konsorsium negara IGGI menjadi sumber bantuan ekonomi dan perusahaan asing menguasai sektor modern.
Tetapi hubungan erat dengan negara Barat tidak terbatas pada bidang ekonomi saja. Sebagai ”sekutu tidak resmi”, Indonesia juga mendapat bantuan militer dari Amerika Serikat dan negara Barat yang lain. Peralatan militer banyak yang berasal dari negara Barat dan para perwira ABRI (nama TNI pada waktu itu) mendapat pendidikan dan latihan di negara-negara tersebut.
Pada awal Orde Baru, musuh bersama negara Barat dan Indonesia adalah negara komunis. Indonesia di bawah Soeharto dianggap sebagai benteng anti-komunisme di Asia Tenggara. Pada waktu itu pemerintah AS dan negara Barat lain kurang memperhatikan pelanggaran hak asasi manusia, asalkan pelanggaran itu dilakukan oleh pemerintah anti-komunis. Walaupun setengah juta rakyat komunis atau pro-komunis dihabisi pada 1965 dan ratusan ribu lagi ditahan, tidak ada protes apa-apa dari pemerintah negara-negara Barat.
Meskipun demikian, Soeharto tetap menjaga jarak dari AS dan negara-negara Barat. Misalnya Indonesia tidak ikut negara Asia lain yang mengirim pasukan untuk membantu AS di Vietnam pada tahun 1970-an. Sesuai dengan konsep bebas-aktif, Presiden Soeharto tidak mau bergabung dalam persekutuan pertahanan dengan negara lain. Sebaliknya Indonesia lebih suka meningkatkan kerja sama non-militer dalam ASEAN, yang dibentuk pada 1967. Pengaruh Soeharto dalam ASEAN menjadi semakin besar karena pemimpin negara-negara lain (kecuali Singapura) sering diganti tetapi beliau tetap berkuasa hingga 1998. Sulit sekali bagi ASEAN untuk mengambil tindakan yang tidak dibenarkan oleh Indonesia.
Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam Gerakan Non-Blok, yang terdiri dari negara-negara yang tidak mau bersekutu dengan AS ataupun blok komunis. Semula, anggota gerakan itu menganggap Indonesia terlalu dekat dengan negara Barat, tetapi akhirnya Presiden Soeharto terpilih sebagai ketua gerakan itu di Konferensi Non-Blok yang digelar di Jakarta pada 1992. Ironisnya, Soeharto baru terpilih sebagai pemimpin gerakan itu justru pada waktu Perang Dingin sudah berhenti dan gerakan itu tidak banyak diperhatikan lagi.
Sebagai adikuasa regional, Indonesia sering mengambil prakarsa untuk menyelesaikan konflik di wilayah Asia Tenggara. Misalnya Indonesia berperan sebagai mediator untuk menyelesaikan perang saudara di Kamboja; Indonesia menyediakan bantuannya kepada Filipina dalam usahanya untuk menyelesaikan pemberontakan bangsa Moro; dan Indonesia menyediakan fasilitas untuk mengadakan serangkaian diskusi di antara negara yang mempunyai klaim-klaim yang bertumpang tindih di Laut Cina Selatan.
Usaha Indonesia untuk mendukung perdamaian tidak terbatas pada wilayah Asia Tenggara saja. Indonesia merupakan salah satu negara yang sering bersedia menyumbang pasukan kepada misi-misi pemelihara perdamaian PBB. Tentara Indonesia mendapat nama baik dari kegiatan ini.
Walaupun Soeharto tetap menentang komunisme, beliau juga bersikap pragmatis dalam melangsungkan hubungan dengan negara-negara komunis. Hubungan diplomatis tidak pernah diputuskan dengan Uni Soviet dan Vietnam, sedangkan pada 1967, atas nasihat Menteri Luar Negeri Adam Malik, hubungan diplomatik dengan RRC tidak ”diputuskan” tetapi hanya ”dibekukan”. Ini memudahkan pembukaan kembali hubungan diplomatik dengan RRC pada tahun 1980-an sesuai dengan kepentingan Indonesia pada waktu itu. Soeharto selalu mementingkan perhitungan pragmatis di atas ideologi.
Dapat dikatakan prestasi politik luar negeri Indonesia di bawah pimpinan Soeharto cukup baik tetapi sayangnya tidak begitu dihargai oleh dunia internasional. Mengapa tidak? Ganjalannya adalah Timor Timur.
Pada 1975, ketika Menteri Luar Negeri Adam Malik sedang berusaha meyakinkan pemimpin Timor Timur bahwa Indonesia tidak bermaksud merebut daerah itu, ada jenderal-jenderal yang mempersiapkan intervensi militer. Konon, Soeharto sendiri belum yakin bahwa invasi merupakan jalan yang terbaik untuk menyelesaikan proses dekolonisasi tetapi akhirnya jalan itu diambil. Soeharto barangkali berharap bahwa masalah itu akan cepat selesai—seperti invasi India terhadap koloni Portugis di Goa pada 1962.
Selama hampir seperempat abad tentara Indonesia menghadapi perlawanan yang terus-menerus. Indonesia memang membangun banyak sekolah, rumah sakit, dan jalan raya di Timor Timur, namun banyak sekali rakyat yang menjadi korban dan pelanggaran hak asasi menjadi perkara biasa. Bagi rakyat Timor Timur, seribu sekolah atau rumah sakit atau jalan raya tidak dapat mengganti seorang ayah atau kakak atau anak yang dibunuh oleh tentara Indonesia. Menteri Luar Negeri Ali Alatas menyebut kasus Timor Timur sebagai ”kerikil tajam”, tetapi kerikil itu ternyata berbisa dan menyebabkan luka yang tidak dapat disembuhkan selagi Soeharto menjadi presiden.
Salah satu tujuan politik luar negeri adalah untuk mempertahankan negara itu dari ancaman luar dengan menggunakan cara-cara non-militer. Dalam hal itu, pada umumnya politik luar negeri Presiden Soeharto cukup berhasil. Tetapi akhirnya politik luar negeri ternyata tidak mampu menangkis sebuah ancaman yang tidak dijangka dan berwujud dalam bentuk baru. Pada Juli 1997 keguncangan dalam nilai baht di Thailand menjadi sumber keguncangan yang melanda bukan saja Indonesia tetapi hampir semua negara Asia. Di antara korban krisis moneter itu adalah negara Indonesia dan Presiden Soeharto sendiri.
Pada zaman globalisasi ini, ancaman luar tidak lagi terbatas pada ancaman militer atau politik dari negara-negara tertentu. Pengalaman Presiden Soeharto menunjukkan bahwa proses globalisasi mempunyai dinamika sendiri yang kadang-kadang membawa manfaat yang sangat penting tetapi juga dapat merupakan ancaman yang paling dahsyat. Agaknya, Presiden Soeharto tidak mengerti bagaimana ancaman itu dapat dihadapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo