Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
12 Mei 1998.…
Halaman parkir Universitas Trisakti padat oleh khalayak pada pukul 11 pagi. Ada guru besar, dosen, mahasiswa, kar- yawan, alumni. Mereka meriung sembari menantikan orasi mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution.
Beranjak siang, aliran manusia kian deras. Hawa mulai menghangat tatkala 5.000-an mahasiswa bergantian memekikkan yel-yel. ”Turunkan harga sembako! Reformasi politik! Mundurlah Soeharto!”
Abdul Haris, jenderal tua itu, batal datang. Tapi anak-anak muda yang menantikannya tidak membatalkan pergelaran akbar mereka: berjalan kaki ke gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta Pusat—sepuluh kilometer lebih dari kampus Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.
Saat itu tengah hari, sekitar pukul 12.00 WIB. Baru 100-an meter keluar dari kampus, pasukan Pengendali Massa Polres Jakarta Barat, Korps Brimob Polda Metro Jaya, dan Pasukan Anti-Huru-Hara Resimen Induk Kodam Jaya menghadang barisan mahasiswa Trisakti.
Wakil mahasiswa, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo, dan Komandan Kodim Jakarta Barat, Letkol (Inf.) Amril Amin, berunding. Hasilnya? Aksi damai hanya sampai di depan kantor lama Wali Kota Jakarta Barat. Kurang-lebih 300 meter dari kampus.
Adi menemui mahasiswa seusai berembuk. ”Saya minta kalian berjanji tidak ada aksi kekerasan di tempat ini,” ujarnya, disambut tepuk tangan mahasiswa. Aksi berjalan tertib. Sesekali mahasiswa bercanda dengan aparat keamanan, membagikan minuman kemasan, permen, dan bunga mawar
Sekitar pukul 16.30 WIB, aparat meminta aksi dibubarkan dan mahasiswa diminta mundur ke kampus. Sempat terjadi ketegangan. Menurut saksi dari mahasiswa, ketika mereka bergerak ke kampus, ada yang melontarkan kata-kata kotor dan makian. ”Sepertinya polisi sengaja memancing kemarahan mahasiswa,” kata seorang saksi.
Tiba-tiba dentuman senapan mengoyak udara petang hari. Mahasiswa kocar-kacir, apalagi belum semuanya masuk ke kampus. Walau kemudian terbukti kampus bukan lagi ”inner sanctum” alias ”wilayah suci”—yang bebas dari senjata dan kekerasan.
Berondongan senjata tak berkeputusan ke arah kampus berlangsung hampir tiga jam. Ratusan orang terluka. Empat mahasiswa gugur: Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, Hendriawan Sie.
Oditur militer kemudian mendakwa Komandan Unit II Patroli Motor Gegana Brimob, Iptu Erick Kadir Sully. Dia bersama 10 anggota Brimob ditugasi ke Polres Jakarta Barat pada hari itu. Sekitar pukul 13.30 WIB—seperti yang tercantum dalam dakwaan oditur—datang panggilan dari Wakil Kepala Polres Jakarta Barat, Mayor Herman Hamid, meminta mereka segera ke depan kantor wali kota untuk menghadang mahasiswa yang bergerak ke DPR/MPR.
Saat itulah Erick, lagi-lagi menurut dakwaan oditur, memerintahkan anak buahnya yang bersenjata Styer kaliber 5,56 menembak ke arah massa.
Jenis peluru itulah yang bersarang di tubuh empat mahasiswa yang tewas—setelah diperiksa melalui uji balistik di Montreal, Kanada, dan Belfast, Irlandia Utara.
Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II punya catatan sendiri soal tragedi ini. Menurut Komisi, pasukan gabungan telah menyerang, memukul, menendang, dan menembak dengan peluru serta gas air mata ke para mahasiswa Trisakti yang berlindung di kantor lama Wali Kota Jakarta Barat maupun yang telah kembali ke kampus.
Peristiwa Trisakti kemudian memicu kerusuhan di berbagai tempat di Jakarta. Demo mahasiswa marak di mana-mana, dan berujung pada pendudukan gedung DPR/MPR, Jakarta, oleh mahasiswa selama empat hari sampai Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Kita tahu, proses hukum kasus ini hanya berhenti pada sejumlah pelaku lapangan. Inilah rinciannya:
12 Mei 1998
Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak.
12 Agustus 1998
Dua anggota Brimob dihukum 34 bulan penjara.
31 Maret 1999
Empat anggota Brimob lainnya diganjar vonis serupa.
Lantas, ke mana jenderal-jenderal yang menjadi atasan para serdadu terpidana itu? Mereka masih bebas merdeka, tak tersentuh sampai kini.
Rencananya, mereka akan diadili di pengadilan hak asasi manusia pada tahap berikutnya.
Faktanya, mereka hanya ”dikenang” dalam ritual tahunan 12 Mei, tatkala mahasiswa menagih utang keadilan bagi nyawa empat anak muda yang mati terlalu dini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo