Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Gua Semar, Wangsit itu Berasal

Soeharto muda telah melakukan perjalanan tapa yang panjang. Ketika itu jalan ke Dieng masih berbatu-batu dan berlubang

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEHARTO nama yang sangat akrab bagi penduduk kawasan Pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Soeharto pernah bersemadi di Gua Semar—salah satu gua yang terletak di Dieng—sebelum menjadi presiden. Di gua itulah ia memperoleh wangsit menjadi pemimpin.

Gua Semar atau Gua Mandala Sari, yaitu istana Begawan Sampoerna Djati (Semar), berada di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Letaknya di antara kawasan pariwisata. Gampang dijangkau—satu jam perjalanan dari alun-alun Wonosobo—tapi tak mudah memasukinya. Dengan kata lain, harus menempuh rantai izin yang panjang. Pertama-tama, Tempo minta izin ke sang juru kunci. Sang guru kunci itu harus minta izin ke beberapa sesepuh sakti di perkampungan itu. Setelah semua terpenuhi, barulah keluar cerita dari mulut Rusmanto, juru kunci Gua Semar.

Sebelum sampai ke Gua Semar, tutur Rusmanto, Soeharto telah melakukan serangkaian pertapaan: di Gua Jambe Lima dan Gua Jambe Pitu, lalu Gua Suci Rahayu di kawasan Gunung Selok, Cilacap, Jawa Tengah. ”Di Suci Rahayu itulah Soeharto melakukan penyucian awal,” kata Rusmanto.

Langkah selanjutnya, bertapa ke Gunung Srandil, masih di Cilacap. Gunung di tepi pantai itu dikenal sebagai tempat khusus untuk ziarah. Di sanalah dimakamkan para leluhur tanah Jawa: Eyang Agung Heru Cokro, Eyang Sukmo Sejati, Eyang Kaki Tunggul Sabdo Jaati Doyo Amongrogo, Nini Dewi Tanjung Sekar Sari, dan Eyang Lalangbuono atau yang lebih terkenal disebut Ismoyo Ratu.

Dari sana, Soeharto melanjutkan tapa di Gunung Lawu, tempat menghilangnya raga Raja Brawijaya. Empat tahap pertapaan, di Argo Dalam, Argo Tumila, Argo Piruso, dan Argo Tiling. Setelah itu, ia bertapa lagi di sebuah gunung kecil di Kecamatan Bobotsari, Purbalingga, Jawa Tengah. Selain bertapa, di gunung tersebut juga ada acara nyekar di makam Syekh Jamu Karang. ”Barulah setelah itu, lokasi terakhir pertapaan dilakukan di kawasan Dieng,” ucap Rusmanto.

Ketika Soeharto datang, kondisi Dieng belum sebagus sekarang. Jalannya berbatu-batu, menanjak dan berlubang. Menurut Rusmanto, Gua Semar istana terakhir Mandala Sari alias Semar. Di gua itulah Semar bersemadi abadi setelah pertapaan di berbagai tempat. Menurut kepercayaan, urut-urutan pertapaan di tanah Jawa selalu berakhir di kawasan Dieng.

Rusmanto tak langsung mengantar Soeharto bertapa. Ia mendapat cerita yang lengkap—tentang perjalanan tapa Soeharto—dari pamannya, Darmaji, yang ketika itu menjadi juru kunci. Ketika bertapa, Soeharto hanya ditemani oleh juru kunci Darmaji. Para pengawalnya menunggu pada jarak yang agak jauh. Sebelum bertapa, Soeharto harus melakukan bimolukar, atau mandi lulur untuk menghilangkan nafsu angkara murka.

Dari Gua Semar, Soeharto mandi di Telaga Warna, telaga yang melambangkan empat nafsu yang harus dikendalikan: lawamah, amarah, sufiyah, dan mutmainah. Dan pengendalian nafsu itu dilakukan di Gua Jaran, gua yang terletak di sebelah utara Gua Semar. Disebut jaran (kuda) karena gua itu, menurut cerita leluhur di Dieng, awalnya adalah jaran milik Resi Kendali Seto yang bertujuan mengendalikan nafsu manusia yang ada di aliran hitam dan putih.

Gua selanjutnya adalah Gua Sumur. Sedikit lebih lebar dari Gua Semar, dan memiliki sumber air yang tingginya stabil. Musim hujan atau kemarau, volume airnya tetap. Sumber air di gua tersebut juga disebut air kehidupan. Dari penghuni Gua Sumur Soeharto mendapat petunjuk: jangan ragu untuk pasrah kepada Sang Kuwasa (Yang Kuasa), agar selalu dilindungi atau disembuhkan dari berbagai penyakit.

Soeharto menutup perjalanan tapanya di Kawah Si Kijang, simbol hewan yang bisa dijadikan contoh bagi manusia atas kepintaran dan rasa rendah hatinya. Dilanjutkan ke Kawah Sileri, kawah yang mengajarkan agar orang hidup untuk tidak melanggar empat wewaler (aturan), yakni aturan keluarga, masyarakat, negara, dan Tuhan. Dan dua tahap selanjutnya adalah menuju Sumur Jolotundo dan Kawah Condrodimuko.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus