Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arief Budiman
Pada 1965, kedatangan Soeharto sebenarnya diharapkan untuk memulihkan demokrasi dan membebaskan masyarakat madani atau civil society dari cengkeraman negara. Pada zaman Soekarno, dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Tahun 1959, masyarakat madani praktis dibungkam. Maka, ketika Jenderal Soeharto muncul dan mengambil alih kekuasaan pada 1965, banyak orang berharap masyarakat madani akan kembali hidup.
Memang ada beberapa orang yang menyatakan pada waktu itu, betapa tidak realistis mengharapkan demokrasi bisa pulih di bawah pimpinan seorang anggota militer. Tapi suara ini tenggelam di antara harapan terhadap demokrasi yang semarak.
Setelah mendapatkan Surat Perintah 11 Maret Tahun 1966, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia dan menangkapi lawan politiknya. Oleh banyak orang, tindakan ini tidak dianggap sebagai hal yang tidak demokratis, karena Partai Komunis Indonesia dianggap sebagai partai yang anti-demokrasi. Begitu juga dengan tindakan pemerintah yang menangkap para pemimpin politik.
Para pendukung gerakan demokrasi mulai terkejut ketika pada akhir tahun 1960-an pemerintah menolak permintaan rehabilitasi dua partai yang dulu dilarang, Masyumi dan PSI.
Untunglah, para anggota partai tersebut masih dipersilakan membentuk partai baru. Tapi kemudian pemerintah juga menolak mantan pimpinan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia untuk duduk di partai-partai baru yang didirikan. Muncul pertanyaan, apa makna dari tindakan-tindakan ini.
Soeharto memberikan jawaban dengan memperkenalkan konsep Trilogi Pembangunan. Konsep ini menyatakan ada tiga tugas pemerintah: pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan pemerataan pendapatan. Soeharto menugaskan militer untuk menciptakan stabilitas politik, tugas melaksanakan pertumbuhan ekonomi diberikan kepada para teknokrat ekonomi. Setelah itu, pemerataan pendapatan dapat diselenggarakan. Biarlah Soeharto memusatkan perhatian kepada tugas-tugas ini dulu, tidak direpotkan oleh konflik-konflik masa lalu, begitu kira-kira yang mau dikatakan. Biarlah Soeharto diberi kesempatan dulu untuk bekerja.
Jawaban ini tampaknya diterima oleh masyarakat waktu itu, termasuk oleh para mahasiswa dan kaum cendekiawan. Yang paling penting pada waktu itu adalah memulihkan kehidupan ekonomi. Bukankah dalam keadaan ekonomi yang terpuruk, masyarakat madani juga tidak akan bisa berfungsi?
Tapi ada sedikit yang mengganggu. Korupsi mulai muncul, meski saat itu masih kecil-kecilan. Korupsi yang saat itu mulai merebak adalah Pertamina. Sementara itu, para wakil mahasiswa yang menjadi anggota parlemen mulai ikut-ikutan membeli mobil Holden fasilitas pemerintah dengan harga murah. Ini dianggap korupsi karena pada waktu rakyat masih miskin, para tokoh mahasiswa ini sudah mau memasuki hidup yang mewah. Para asisten pribadi Presiden juga mulai terlibat bisnis, dan Ibu Tien Soeharto menggusur tanah rakyat untuk mendirikan Taman Miniatur Indonesia Indah atau TMII.
Kaum cendekiawan dan para mahasiswa, yang merupakan corong bagi masyarakat madani, mulai bereaksi terhadap gejala ini. Protes oleh para cendekiawan dan demonstrasi oleh para mahasiswa mulai bermunculan. Tahun 1970 sampai 1972 merupakan tahun-tahun yang marak dengan protes dan demonstrasi. Tapi protes-protes ini pada umumnya berkisar pada masalah korupsi, bukan masalah demokrasi. Protes dan demonstrasi terhadap larangan dihidupkannya kembali Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, serta larangan para pemimpin kedua partai itu untuk aktif dalam partai-partai yang ada, relatif sangat sedikit. Korupsi tampaknya masih dianggap sebagai masalah yang lebih serius pada waktu itu. Kepercayaan bahwa Soeharto masih punya komitmen terhadap demokrasi masih besar.
Karena itulah, dari empat demonstrasi besar yang terjadi pada waktu itu, tiga mempersoalkan korupsi, dan hanya satu yang mempersoalkan demokrasi.
Demonstrasi Mahasiswa Menggugat (1970), Komite Anti-Korupsi (1970), dan gerakan anti-TMII adalah gerakan anti-korupsi. Hanya demonstrasi Golongan Putih (1971), yang menentang UU Pemilu yang baru, yang berkaitan dengan kehidupan demokrasi.
Pada mulanya Soeharto melayani protes-protes ini dengan baik. Demonstrasi Mahasiswa Menggugat ditanggapi dengan memerintahkan para menteri kabinet untuk menerima para mahasiswa dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Sedangkan demonstrasi Komite Anti-Korupsi dilayani langsung oleh dirinya, dengan menerima sendiri empat wakil mahasiswa untuk berdialog di rumahnya di Jalan Cendana. Memang demonstrasi Golongan Putih dihadapi dengan penangkapan mahasiswa untuk diinterogasi, tapi hanya untuk beberapa jam. Tidak ada penahanan. Ini memperkuat anggapan bahwa Soeharto tidak melihat mereka sebagai lawan politiknya. Saat itu, masyarakat menganggap komitmen Soeharto terhadap demokrasi masih ada.
Kemudian, dalam demonstrasi TMII, Soeharto bertindak lebih keras. Dia memerintahkan penahanan terhadap empat orang pimpinan demonstrasi dan menahannya sampai sekitar satu bulan. Tapi hal ini masih dimaklumi, karena demonstrasi tersebut menyinggung pribadi Ibu Tien, dan ini membuat Soeharto marah. Soeharto memang dikenal sensitif bila keluarganya diusik.
Tapi, memang benar juga, para cendekiawan/mahasiswa mulai merasa bimbang. Kalaupun Soeharto masih memiliki komitmen terhadap demokrasi, dia tampaknya lemah dalam tindakannya terhadap korupsi. Apalagi kalau korupsi ini menyangkut anggota keluarganya. Masihkah Soeharto perlu didukung?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut segera muncul. Pada saat kerusuhan—yang kemudian dikenal sebagai—Peristiwa Malari (1974), tatkala para mahasiswa memprotes dominasi Jepang atas perekonomian Indonesia, dan menuduh beberapa asisten pribadi Presiden sebagai ”antek” para pengusaha Jepang, Soeharto mengambil tindakan tegas dengan menangkapi mahasiswa dan cendekiawan yang dianggap punya kaitan dengan demonstrasi ini. Mereka kemudian dipenjarakan sampai beberapa tahun. Beberapa media besar dicabut izin terbitnya, karena dianggap memanaskan suasana dan mengganggu stabilitas.
Dengan Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari), Soeharto tampaknya mengambil sikap tegas: ”Go to hell with civil society.” Dia sepertinya mengingatkan para cendekiawan/mahasiswa ”who is the boss”. Pada titik ini tampaknya ”perkawinan” antara Soeharto dan masyarakat madani bubar jalan.
Setelah ”perceraian” ini, apa yang terjadi bisa diramalkan. Protes dan demonstrasi, yang tadinya merupakan gerakan koreksi, sekarang menjadi gerakan konfrontasi. Demonstrasi berikutnya, pada 1978, yang dilakukan oleh para mahasiswa ITB di Bandung, tidak lagi menuntut supaya Soeharto mau memberantas korupsi, tapi menuntut Soeharto tidak mencalonkan diri lagi sebagai presiden. Ini bahasa halus dari teriakan: ”Minggir!” Soeharto pun menjawab dengan tegas pula: Kampus ITB diserbu dan diduduki militer, para pimpinan mahasiswanya dijebloskan ke penjara selama beberapa tahun.
Tindakan-tindakan Soeharto selanjutnya setelah tahun 1974 merupakan seruan: ”Masyarakat madani minggir, pemerintah mau lewat”. Partai-partai disederhanakan menjadi tiga, para pemimpin partai dikenai penelitian khusus (litsus) militer untuk membuktikan kesetiaannya kepada negara. Media massa semakin ketat diawasi.
Sejak saat ini, meskipun masyarakat madani memang tidak mati total, dia hanya hidup di bawah tanah, bergerilya. Kekuatan politiknya praktis nol. Masyarakat madani hidup dalam dunia bisik-bisik dan humor-humor politik yang menyindir pemerintah, dalam diskusi-diskusi terbatas para mahasiswa dan cendekiawan, dalam pembacaan puisi-puisi kritis Rendra, atau dalam drama sindiran yang dipentaskan Teater Koma dan monolog Butet Kertaredjasa. Salah satu humor politik yang menjadi favorit saya adalah yang menyatakan bahwa orang-orang Indonesia pada zaman Soeharto punya tiga sifat dasar: pintar, jujur, dan pro-pemerintah. Tapi tiap orang Indonesia hanya bisa memiliki dua saja. Kalau dia pintar dan pro-pemerintah, dia tidak jujur; kalau dia jujur dan pro-pemerintah, dia tidak pintar; dan kalau dia pintar dan jujur, dia pasti anti-pemerintah.
Kadang-kadang ekspresi ini muncul lagi dalam bentuk protes dan demonstrasi, seperti ketika demonstrasi untuk membela para petani Kedung Ombo yang digusur (1988). Demonstrasi ini diprakrasai oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, para mahasiswa, dan Romo Mangun. Tapi gerakan ini segera ditumpas secara militer.
Semua ”perlawanan” ini terus bermunculan sampai jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Setelah militer dan partainya sendiri, Golkar, menarik dukungannya, Soeharto, dengan hati pahit tapi dengan wajah tenang, membacakan surat pengunduran dirinya sebagai Presiden RI, setelah lebih dari 30 tahun berkuasa.
Masyarakat madani pun tiba-tiba muncul dan bangkit kembali. Tapi yang kita dapatkan adalah masyarakat madani yang sakit, yang tidak tahu batas-batas kebebasannya, yang menggunakan kebebasannya untuk keuntungan dirinya sendiri. Ibarat orang sakit yang tadinya dilarang makan, maka ketika ”sembuh” dia segera melahap apa saja yang ada di sekitarnya, sambil menyikut teman-temannya yang ada di kiri dan kanannya. Korupsi pun tiba-tiba muncul kembali, bahkan mungkin lebih dahsyat dari keadaan sebelumnya.
Memang, masyarakat madani sudah bisa hidup kembali. Tapi kita masih belum menyadari bahwa masyarakat madani ini masih perlu belajar berjalan lagi, karena setelah lebih dari 30 tahun dipasung, kesanggupan dasar ini sudah lama terlupakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo