Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memburu Sang Ilham di Wonokromo

Tetralogi Buru berlatar sejarah kolonialisme di Indonesia. Roman sejarah Pram terilhami sejumlah tempat di Surabaya?

8 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA belas tahun kemudian catatan pendek ini kubacai dan kupelajari kembali, kupadu dengan impian, khayal. Memang menjadi lain dari aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan begini kemudian jadinya.

Demikian Pramoedya Ananta Toer membuka kisah dalam bab pertama Bumi Manusia. Roman sejarah berlatarkan Jawa Timur akhir abad ke-19 itu merupakan buku pertama tetralogi Pulau Buru karya Pram. Latar utamanya adalah Kota Surabaya. Namun latar peristiwa terus bergerak ke Wonokromo, Tulangan, Sidoarjo, hingga Bojonegoro.

Tema utama Bumi Manusia berpusar pada hubungan Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh. Minkesebagai tokoh sentralterlibat hubungan asmara nan menggetarkan dengan Annelies, gadis indo jelita putri pasangan Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema. Mereka saling jatuh cinta lewat pandangan pertama. Namun kisah kasih itu harus berakhir tragis. Pernikahan mereka dinyatakan tak sah lewat keputusan pengadilan Surabaya, meski telah diikat menurut hukum Islam.

Sejak awal, seperti tertulis dalam bab pertama Bumi Manusia, Pram menyatakan bahwa roman karyanya itu perpaduan dari catatan sejarah dan imajinasinya. Adapun menurut Profesor A. Teeuw, tak hanya dalam jilid pertama imajinasi kreatif Pram tampil dominan. Hal serupa juga terjadi pada jilid kedua tetralogi Buru, Anak Semua Bangsa. “Itu disebabkan Pram kekurangan data sejarah mengenai masa muda tokoh yang mengilhaminya,” kata Teeuw seperti dikutip buku Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer.

Teeuw menyatakan, roman tetralogi BuruBumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kacayang terbit pada 1980-an, sudah mulai dirancang Pram jauh sebelumnya. Persisnya sejak 1956, saat ia mulai getol melakukan penelitian sejarah tentang zaman permulaan nasionalisme Indonesia. Dalam penelitian itulah Pram menemukan tokoh Tirtho Adhi Soerjo, nasionalis angkatan pertama yang kurang mendapat perhatian dalam penulisan sejarah nasional. “Tirtolah yang mengilhami Pramoedya menulis roman tetralogi bersejarah,” kata Teeuw.

Kemiripan kisah Minke dan Tirto memang bisa dibaca dalam jilid ketiga tetralogi, Jejak Langkah. Pengalaman dan petualangan Minke di Betawi (kini Jakarta), sejak masuk STOVIA (sekolah dokter Jawa) hingga ditahan sebagai sandera karena berutang, hampir semuanya menimbulkan kesan seolah yang diceritakan adalah riwayat Tirto Adhi Soerjo yang sesungguhnya. Dan belakangan, kisah hidup Tirto Adhi Soerjo yang ditulis Pram dalam Sang Pemula sama dengan riwayat tokoh Minke dalam Jejak Langkah.

Mulyono SH, eks tahanan politik yang sebarak dengan Pram di Pulau Buru, membenarkan bahwa tokoh Minke diilhami Tirto Adhi Soerjo. Menurut dia, Pram sempat mengungkapkan langsung kepadanya saat Mulyono menanyakan siapa sesungguhnya Minke. “Suatu hari Bung Pram mengatakan, tokoh Minke memang terinspirasi Tirto Adhi Soerjo,” ujar Mulyono, yang dulu menjadi pemasok kertas, kopi, dan rokok bagi Pram ketika sama-sama di Pulau Buru, Maluku.

Toh, Mulyono maupun Teeuw menyatakan bahwa tetralogi Buru tetap sebagai roman. Apalagi dalam jilid pertama dan kedua (Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa), imajinasi kreatif pengarang sangat dominan. Tapi benarkah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa imajinasi Pram belaka? Dua pekan lalu, Tempo mencoba melakukan napak tilas sejumlah lokasidi Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timuryang menjadi latar cerita kedua roman nan memikat itu.

Misalnya, rumah mewah Wonokromo, yang disebut-sebut Pram sebagai istana pribadi Tuan Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia. Pram mungkin terilhami sebuah rumah besar bergaya arsitektur Belanda yang kini terletak di Jalan Joyoboyo 28, Surabaya. Rumah yang terletak di Kelurahan Sawunggaling, Wonokromo, itu berada di dekat terminal Joyoboyo.

Menurut Dukut Imam Widodo, penulis buku Surabaia Tempo Doeloe, rumah itu telah berdiri sejak 1900-an. Adapun rumah yang berdiri di kiri-kanannya dibangun antara 1950-an dan 1960-an sebagai perumahan milik Perusahaan Jawatan Kereta Api. Rumah tua itu berdiri di atas lahan sekitar 40x40 meter. Bangunan rumah induk berukuran 20x10 meter. Rumah itu disekat persis di tengah menjadi dua bagian. Kini rumah di Jalan Joyoboyo itu mirip sebuah kompleks berbentuk W dan dihuni 14 kepala keluarga.

Menurut Sarijoen, 83 tahun, satu di antara penghuni kompleks itu, pada zaman Belanda rumah itu milik perusahaan partikelir kereta api yang mengoperasikan trem Wonokromo-Tanjung Perak (pelabuhan) dan Wonokromo-Karang Pilang. Wilayah operasi kantor itu dari Solo, Jawa Tengah, hingga Banyuwangi, Jawa Timur.

Selain rumah itu, menurut Dukut, ada satu lagi rumah seumur yang terletak di Jalan Gunungsari 22. Kedua rumah itu masih ada dalam satu kompleks besar. “Saya menduga, kedua rumah itulah yang telah mengilhami Pram sebagai rumah besar dalam Bumi Manusia,” kata Dukut menjelaskan.

Lalu dalam Bumi Manusia disebutkan pula perusahaan pertanian milik keluarga Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh: Borderij Buitenzorg. Pram menulis, “... Sebuah rumah bergaya Tiongkok yang berpelataran luas dan terpelihara rapi. Inilah rumah pelesir Babah Ah Tjong. Barang seratus meter dari rumah tadi, di sana berdiri ‘Borderij Buitenzorg’, sebuah Perusahaan Pertanian....”

Warga Surabaya kini mengenal perusahaan itu sebagai pabrik kulit Wonocolo di Jalan Ahmad Yani. Dukut juga menduga pabrik kulit inilah yang mengilhami Pram sebagai perusahaan pertanian dalam roman Bumi Manusia. Tapi, menurut Dukut, tak tertutup kemungkinan pabrik beras di Ketintang juga menjadi inspirasi Pram sebagai perusahaan pertanian itu.

Setelah pabrik kulit dipindahkan ke Sidoarjo, gedung tua itu terbengkalai. Tampak kusam dan cenderung kumuh. Kini gedung itu menjadi aset Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Dan rencananya, bangunan tua itu akan disulap menjadi Gedung Jatim Expo.

Dalam Bumi Manusia, Pram juga menulis Minke tinggal di pemondokan di Jalan Kranggan. Tak jelas benar di mana letak persisinya rumah pemondokan itu sekarang. Yang pasti, Jalan Kranggan pernah menjadi tempat pemondokan haji sebelum berangkat ke tanah suci, yang akhirnya Surabaya memiliki Asrama Haji di Sukolilo.

Minke bersekolah di Hoogere Burger School (HBS) Surabaya. HBS ini adalah sekolah yang pernah menjadi sekolah Soekarno sewaktu mondok dan berguru ke H.O.S. Tjokromaninoto di Kampung Peneleh. Bekas HBS ini kini menjadi Kantor Pos Besar Jalan Kebonrojo, sekitar setengah kilometer utara Tugu Pahlawan. Hingga kini, gedung bekas HBS itu masih terawat baik.

Yang menarik dalam Bumi Manusia adalah kampung halaman Nyai Ontosoroh: Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Nyai Ontosoroh yang bernama asli Sanikem itu anak kasir pabrik gula Tulangan. Ia diambil sebagai gundik oleh tuan besar administrator Pabrik Gula Tulangan, Herman Mellema. Sebelum pindah ke Wonokromo, Nyai Ontosoroh dan Mellema tinggal di kompleks perumahan pabrik gula itu.

Tulangan berjarak sekitar 30 kilometer dari arah Kota Surabaya, atau 25 kilometer dari Wonokromo. Pabrik gula Tulangan berada di Desa Tulangan, Kecamatan Tulangan, Kabupaten Sidoarjo. Tulangan sekitar 4 kilometer barat daya Sidoarjo. Pabrik gula ini berupa bangunan tua. Tak ada catatan tahun persisnya. Yang pasti, pabrik gula Tulangan adalah bagian dari kebijakan Gubernur Jenderal Belanda Van Den Bosch pada 13 Agustus 1830, yang menyetujui untuk menanam tebu di karesidenan-karesidenan Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang situasinya dianggap menguntungkan.

Kini, pabrik gula Tulangan adalah sebuah pabrik renta. Hanya cat kuning tembaga yang baru disaput beberapa hari lalu yang membuat pabrik gula itu terlihat segar. Ini untuk menyambut musim giling yang digelar pekan-pekan ini. Rumah administrator pabrik gula Tulangan berada persis di seberang lokasi pabrik. Ini adalah sebuah rumah besar.

Menurut Suparman, 55 tahun, pegawai pabrik itu, di depan rumah besar tersebut dulunya berjejer pohon cemara tinggi-tinggi. Kini pohon cemara itu sudah ditebang. Sebagai gantinya berdiri pohon kenari yang baru setinggi dua meter. Nah, dalam Bumi Manusia, rumah besar itulah yang diduga telah menginspirasi Pram sebagai rumah administrator pabrik gula, Herman Mellema, dan menjadi “sangkar” Sanikem sebagai Nyai Ontosorh yang direnggut dari keluarganya.

Nurdin Kalim, Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus