Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka berbicara tentang seseorang, juga ten-tang sebuah masa yang jauh.
Oey Hay Djoen datang ke Tempo, Rabu la-lu, dengan ditopang sepotong tongkat. U-sianya 77 tahun. Tapi suaranya masih lan-tang-. Ingatannya pada masa lalu masih jernih. Oey a-dalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat dan ang-go-ta MPR/DPR GR dari Partai Komunis Indonesia. Ia dikarantina sejak 1969 sampai 1979. Ia menempati U-nit 3 Wanayasa. Oey adalah tahanan politik (tapol) berbaju nomor 001.
Wartawan Amarzan Loebis dibuang ke pulau de-ngan- ladang-ladang sagu dan bukit-bukit kayu putih- i-tu pada 1971. Ia menempati Unit 16 dan bernomor 056. Amarzan dipercaya sebagai administratur unit dan dikenal sebagai ”Bapak Protokol” lantaran selalu- di-minta menjadi pembawa acara.
Mulyono SH ditempatkan di Markas Komando (Ma-ko)- dan dipercaya meng-u-rusi- koperasi. Sedangkan Marsudi Sumanto adalah se-orang dokter yang tinggal sa-tu barak dengan Mulyono dan bernomor baju 594.
Empat sekawan itu mempercakapkan kisah haru-bi-ru- semasa menghuni kamp per-budakan—begitu sebu-tan- Oey pada Pulau Buru. Ju-ga kisah karib mereka de-ngan seorang pujangga—be-gitu Amarzan menyebut-—yang baru saja wafat, 30 A-pril lalu. Seorang pengarang- yang telah menerbitkan 50-an- buku yang telah diterje-mah-kan ke dalam 41 baha-sa-. Seorang penulis yang da-lam beberapa tahun terak-hir- dicalonkan sebagai pene-ri-ma Nobel Sastra. Sang sastrawan itu anggota rom-bong-an pertama tapol yang beranggotakan 500 orang yang dibagi dalam 10 barak. Ia berseberangan tempat- ti-dur dengan Oey di Unit 3 dan bernomor baju 007: Pramoedya Ananta Toer.
Pram bergabung dengan Lekra, sebuah organisa-si ke-budayaan yang punya hubungan erat dengan PKI, pa-da 1959. Pram kemudian mengasuh ruang-an kebu-da-yaan Lentera di harian Bintang Timur, Jakarta, yang berhadap-hadapan dengan para penan-da ta-ngan- Manifes Kebudayaan. Ketika ditahan, ru-mahnya- dirampas, perpustakaannya dijarah dan di-bakar, delapan bukunya yang sedang ia tulis dib-akar. Gempa politik 1965 telah memelantingkan Pram ke kamp kerja paksa itu. ”Sejarah hidup saya adalah sejarah perampasan,” ucap Pram.
Pengarang kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Feb-rua-ri 1925, itu pun bertahan di Buru dengan bekerja dan menulis. Sejak pukul 04.00 pagi hingga petang hari, tapol harus bekerja membuka hutan, menjadi-kannya sawah dan ladang, membangun jaringan irigasi, jalan, membudidayakan berbagai jenis hewan ternak. Hanya enam bulan pertama tapol diberi makan. Selebihnya, kata Amarzan, ”Kami menghi-dupi diri sen-diri dan menghidupi serdadu yang menjaga kami.”
Pram, misalnya, aktif bertukang. ”Tapi ia sok me-nger-ti bangunan,” ucap Oey seraya tergelak. Perhi-tung-annya sering meleset. Pernah suatu kali, tutur Oey, Pram menyia-nyiakan bahan bangunan dengan- ni-lai puluhan juta rupiah hanya dalam beberapa ming-gu.
Pram acap sok pintar. Selain bertukang, Pram menga-ku mengembangkan tanaman mangga dan me-na-nam sendiri tembakau. ”Tapi tembakaunya keras-nya- minta ampun,” ucap Pram. Ia juga memelihara de-la-pan ayam. ”Saya menjual ayam dan telurnya untuk mem-beli kertas dan rokok,” kata Pram dalam wawan-ca-ra dengan Tempo pada Me-i 1999.
Kertas-kertas berukuran ku-a-rto itu selain didapat da-ri menjual telur ke Namle-a, i-bu kota Pulau Buru, juga di-peroleh dari uluran te-mantemannya. Mulyono men-ceritakan, ia selalu me-nyisih-kan jatah kertas dan kar-bon milik tentara yang a-da di koperasi yang ia kelola- untuk Pram. Ini tindakan berbahaya.
Hersri Setiawan, kawan lai-n Pram, yang menghabiskan delapan setengah tahun hidupnya di Buru, menu-tur-kan sebuah perubahan pendekatan. Sebelum Pang-lima Komando Pengamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro berkunjung pada 1973, kertas dan alat tulis menjadi barang terlarang. Munajid, seorang tapol asal Jawa Barat, misalnya, ketahuan membaca surat kabar. Ia pun disiksa sampai mati.
Soemitro membebaskan para tapol seniman untuk berkreasi. Amarzan dan Mul-yono pun menyelenggarakan pentas ludruk. Pram ju-ga mendapat privilege me-nulis. Menurut Hersri, ker-tas yang digunakan Pram adalah kertas bungkus semen yang disumbang-kan oleh teman-temannya sesama tapol.
Dari mana Pram mendapatkan mesin ketik? Sastrawan terkenal Prancis, Jean-Paul Sartre, kabarnya menyumbang mesin ketik untuk Pram. Oey mengaku masih menyimpan surat Sartre yang ditujukan kepada pemerintah saat itu dan ditembuskan kepada Pram. Sartre menuntut pembebasan Pram sembari memberi hadiah mesin ketik. Menurut Oey, mesin ketik yang dipakai Pram bukan mesin ketik dari Sartre, tapi sudah diganti mesin lain.
Dari mesin ketik inilah, kata Oey, lahir delapan karya Pram: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Sang Pemula, Arok Dedes, Mangir, dan Arus Balik. Sedangkan Max Lane, penerjemah awal buku-buku Pram ke dalam bahasa Inggris, tak memasukkan Sang Pemula, tapi menambahkan Mata Pusaran yang sampai kini naskahnya belum ditemukan.
Naskah-naskah itu diketik rangkap tujuh, satu di-serahkan ke penjaga, sisanya diedarkan kepada teman-temannya termasuk Oey, Mulyono, dr Marsudi, dan Amarzan. Kopian naskah diedarkan di 14 unit desa tapol di Pulau Buru.
Meski bebas menulis, Pram tak diperbolehkan mem-pu-blikasikan di luar kamp. Ia membangkang dengan ca-ra menyelundupkan melalui seorang pengemudi ka-pal- yang membawa bahan makanan atau kayu antar-pu-lau di sekitar Pulau Buru. Dari situ, naskahnya di-serahkan ke Gereja Katolik di Namlea untuk dise-la-matkan. ”Jadi, naskah itu diselundupkan secara ber-gelombang, dan berbentuk lembaran-lembaran ker-tas. Sewaktu saya keluar dari Pulau Buru, semua ker-tas dirampas oleh Angkatan Darat,” Pram meng-ung-kapkan.
Sekadar ilustrasi, cerita pembangkangan yang sa-ma dilakukan ketika pemerintah melarang Ha-sta Mitra—yang didirikan oleh Joesoef Isak, Hasyim Rahman, dan Pram—menerbitkan karya-karya Pram. Joesoef menyiasati penerbitan pada hari Jumat karena pada Sabtu dan Minggu, Kejaksaan Agung libur. Jika mereka ditegur, mereka memintanya dalam perintah tertulis, sementara penjualan terus dilanjutkan. Jika pelarangan tertulis telah mereka dapatkan, Hasta Mitra pun menyelundupkan buku-buku Pram ke luar negeri. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, mi-salnya, diterbitkan dulu di Belanda dan baru diterbitkan di Indonesia saat Pram berusia 70 tahun. ”Karena dianggap terlalu berbahaya,” kata Joesoef,
Joesoef adalah tapol yang masuk golongan A. Go-longan ini dianggap berbahaya dan direncanakan dibawa ke pengadilan karena cukup bukti. Golongan B golongan berbahaya tapi tidak cukup bukti untuk diseret ke pengadilan. Golongan B dibuang ke Buru. ”Saya beruntung, belum sempat diadili sudah ada tekanan internasional kepada Soeharto agar menye-lesaikan masalah tahanan politik,” ucap Joesoef.
Menurut Oey, pada tahun-tahun awal di Buru, Pram be-lum menuliskan kisah-kisahnya. Ia hanya me-nu-tur-kannya secara lisan kepada teman-temannya di ba-rak I setiap sore sepulang bekerja. Pram duduk di am-ben dan dikelilingi kawan-kawannya. Mula-mula ha-nya teman satu barak, tapi semakin hari kisah-ki-sah-nya didengar oleh semakin banyak tapol. Cerita yang ia tuturkan sepenuhnya mengandalkan ingatan, dan- kata Oey, ”Persis seperti yang tertulis dalam bu-ku.”
Setiap mengakhiri cerita, Pram meminta komentar dari pendengarnya. Belakangan, ”dongeng” Pram dan interaksinya dengan kawan-kawannya itu dike-tahui sebagai cara untuk membangkitkan semangat hidup para tapol.
Pram menceritakan, waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. ”Sa-ya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.” Nyai Ontosoroh adalah tokoh dalam novel Bumi Manusia.
Setelah periode ”sastra lisan”, Pram menggambar komik, sebelum akhirnya Soemitro memperbolehkannya menulis. Amarzan ingat betul Pram menyusun semacam komik tentang masuknya agama Hindu Hinayana ke Tanah Jawa, Oroh Sanagara namanya. Entah ada di mana naskah itu sekarang.
Amarzan juga ingat suatu kali ia bercerita kepada Pram bahwa kepala adat di Pulau Buru menyimpan buku dari lembaran-lembaran tembaga dan menyim-pannya dalam bumbungan bambu. Buku itu ditulis dalam bahasa yang tak dikenali para tapol. Mende-ngar cerita itu, secara spontan Pram berseru, ”Curi saja! Itu milik nasional.” Ide gila Pram itu tentu saja tak ditanggapi.
Mulyono juga menuturkan Pram kerap mengail ide dari penduduk Buru. Ia antara lain bertemu dengan- be-berapa guru sejarah yang ada di sana untuk menco-cokkan pengetahuan tentang sejarah Majapahit dan Singasari. Guru-guru itulah yang memasok bahan pada Pram saat menulis Arus Balik dan Arok Dedes.
Sedangkan dalam tetralogi Buru, Pram memperoleh data jauh sebelum ia ditahan di Buru. Ketika mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti) pada 1962-1965, ia memberi tugas kepada setiap mahasiswa untuk mempelajari koran selama satu tahun, lalu membuat naskah kerja. Dari tugas-tugas mahasiswanyalah Pram mendapat sumber-sumber historis. Ia mengingat setiap detail sebelum menuangkannya menjadi ”sastra lisan”.
Kehidupan di kamp pengasingan itu digambarkan- A-marzan sebagai kehidupan yang pedih. Tapi, de-ngan- menulis dan bekerja, kata Marsudi, ”Pram mem-beri teladan bagaimana bertahan dalam pende-ri-taan.”
Dokter yang menangani penyakit diabetes Pram itu mencontohkan bagaimana di tanah pembuangan Pram, melalui surat-suratnya, masih memberi sema-ngat pada istri dan anak-anaknya yang ditinggalkan. Marsudi tak tahu apakah surat-surat Pram itu di-kirim-kan oleh penguasa teritori Buru. Tapi suatu kali ia pernah membaca sebuah surat Pram yang tergeletak di meja seorang jaksa di Buru yang ditujukan kepada Astuti Ananta Toer, anaknya. Isinya tentang ayah Astuti yang pasti akan pulang dan menceri-takan sejumlah perubahan yang akan terjadi jika ia pulang.
Selain menerima surat dari Sartre, Pram juga menerima surat dari Presiden Soeharto, yang sangat ia benci. Tapi uniknya, kata Amarzan, Pram menjawab surat Soeharto itu dalam nada yang santun.
Paradoks ini juga terjadi dalam hubungannya de-ngan H.B Jassin. Bagi Pram, Jassin adalah guru yang mengajarkan nilai-nilai humanisme universal. Tapi lantaran Jassin tak bereaksi ketika 1,5 juta orang digelandang sebagai tapol, Pram menjauh dari Jassin. Ia bahkan tak mau menengok Jassin ketika sakit.
Surat-menyurat Jassin-Pram, menurut Mujib Hermani dari Penerbit Lentera Dipantara, dapat dibagi menjadi beberapa periode: ketika Pram menganggap Jassin sebagai guru, periode Pram menganggap Jassin sebagai teman, dan periode Pram yang berseberangan dengan Jassin. Yang agak lucu, ada suratme-nyurat keduanya yang menyangkut bisnis. ”Pram dan Jassin ternyata pernah mau berbisnis timah. Jassin membawa sampel timah ke Pram, Pram yang mencari pembelinya,” kata Mujib, yang berniat menerbitkan surat-menyurat keduanya.
Kawan lain yang tak terlupakan bagi Pram adalah Ramadhan K.H. Ajip Rosidi, dalam buku Mengenang Ramadhan KH Sebagai Sahabat, menulis Pram yang sangat individualistis menganggap pengarang Priangan Si Jelita itu sebagai sahabat. Salah satu sebabnya, ketika Pram menikah dengan Maemunah Thamrin, Pram tak punya uang di sakunya. Ketika Pram hendak membayar mahar, ia meraba-raba sakunya yang kosong. Ramadhan pun mengambil dompetnya sendi-ri- sambil berkata, ”Ini dompetmu, Pram, tadi terjatuh- di mobil.”
Pram mengakui kejadian itu dalam surat kepada anaknya yang dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bi-su (1995). Tapi Pram menyebut, ia meraba-raba sa-ku yang tak ada uangnya itu karena harus memba-yar- buku nasihat pernikahan karangan Nazaruddin La-ti-ef.
Kawan lain yang kocak adalah pelukis Djoko Pekik. Ketika bertemu, Djoko menceritakan, mereka saling pamer harta. Sang pelukis yang juga pernah ditahan membanggakan ratusan ternak, mobil Peugeot 206, dan bus bergambar celeng yang diberi judul Pengkhianat Revolusi. Tak mau kalah, Pram membeberkan cerita tentang rumah bertingkat enam miliknya yang dibangun di tengah kebun di Bojong Gede, Bogor. ”Ini untuk menunjukkan kemampuan saya kepada Orde Baru,” kata Pram.
”Pamer kekayaan itu adalah bagian dari guyonan kami. Wong dia itu sudah kaya sejak dulu, kok,” kata pelukis Djoko Pekik. Adu pamer itu mungkin akan bertambah seru bila Djoko mengetahui Pram telah menjual hak memfilmkan Bumi Manusia kepada sebuah rumah produksi senilai Rp 1,5 miliar.
Berbagai gambaran Pram itu menunjukkan bahwa so-sok yang penuh kontroversi itu punya cerita berwarna. Ia dikecam sekaligus dipuja. Ia dikurung, ta-pi karya-nya terbang bebas. Ia mendapat banyak peng-hargaan internasional, tapi pada saat yang sama mis-kin- pengharga-an di negeri sendiri. Ia membenci, tapi se-kaligus santun. Ia menghardik, tapi sekaligus me-nya-pa.
Pram membenci wayang yang mengkultuskan fi-gur, tapi memuja Soekarno. Ia anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, tapi tidak anti terhadap pinjam-an luar negeri. Ia gampang menyadari kesalahan, tapi se-kaligus sulit meminta maaf. ”Ia manusia biasa yang penuh kekurangan,” kata Oey.
Sebagai manusia biasa pula, Pram di saat sengit mempertahankan ide-idenya bisa tiba-tiba berubah lunak, mengajak bicara soal obat kuat, misalnya. Amarzan menceritakan, suatu kali Pram mendatangi-nya sembari bertanya, ”Ada obat kuat model baru?” Amarzan pun menjawab sekenanya.
Oey pun menuturkan, saat pulang dari Amerika pada 1999 lalu, Pram ternyata juga membawa viagra. Beberapa hari kemudian Pram meneleponnya dan memintanya menjual kembali viagra dari Amerika itu. ”Mungkin tak manjur. Maklumlah, Pram kan punya gula darah yang tinggi,” ucap Oey.
Gula darah, penyakit jantung, dan belakangan sa-kit ginjal menggempur tubuhnya. Sebulan sebelum meninggal, Pram pun mengeluh pada Oey. Ia me-rasa kesepian dan tak pernah lagi dikunjungi kawan-kawannya.
Namun, Pram pergi di tengah puluhan kawan yang menjenguknya. Tak seperti Minke, tokoh dalam tetralogi Buru, yang cuma diantar oleh enam pelayat ke pekuburan Karet, Pram berangkat diantar ratus-an pelayat yang hiruk menyanyikan lagu-lagu mars, di Karet. Dalam Rumah Kaca, ia berucap: Semua akan bertemu dalam alam mati, tidak peduli raja tidak peduli budaknya. Betapa sederhananya mati.
Yos Rizal Suriaji, Kurie Suditomo, Evieta Fadjar, LN Idayanie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo