Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memilih Berpeluh Bersama Petani

Selama 20 tahun terakhir Ida Yurinda Hidayat giat membina petani. Bekas wartawati itu memelopori lahirnya jaringan radio untuk mencerdaskan mereka.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYOLAN si Cepot malam itu terdengar begitu menyegarkan. Bagi warga Lembang, daerah pegunungan berhawa dingin di Jawa Barat, celoteh tokoh jenaka dalam pertunjukan wayang golek itu menjadi hiburan yang mampu menghangatkan suasana.

Tak aneh jika hampir tiap malam Suara Petani, yang mengudara di gelombang 95,55 FM, menyiarkan acara wayang golek. Bila si Cepot absen, alunan musik dangdut terdengar mendayu-dayu menggantikannya. Wayang golek dan dangdut merupakan kiat jitu Suara Petani untuk menjaring pendengar di kalangan petani pedesaan.

Namun acara hiburan sejatinya bukan sajian utama radio yang hanya memiliki daya pancar 6-7 kilometer tersebut. Di siang hari, sesuai dengan nama dan tujuannya, program yang paling sering mereka putar adalah siaran pendidikan bagi petani. Isinya panduan cara-cara praktis bertani dan beternak. Pengelola radio biasanya mewawancarai narasumber ahli. "Kami merekam dan bertanya sesuai dengan kebutuhan petani. Setelah itu, baru disiarkan di radio," kata Ida Yurinda Hidayat.

Suara Petani merupakan salah satu upaya Ida membina petani selama 20 tahun terakhir. Kepedulian Ida terhadap nasib petani berawal dari pekerjaannya sebagai jurnalis. Menjadi wartawati Kompas sejak 1975, ia kerap menulis soal kemiskinan di kalangan wanita penghibur dan buruh industri di sekitar Bandung.

Namun pena tajamnya ternyata mendatangkan masalah. Beberapa pejabat pemerintah marah lantaran tulisan yang "mengumbar kemiskinan" itu. Para bos di kantornya pun, kata dia, ikut gerah. Mereka jadi sangat berhati-hati dalam menugasi Ida—khususnya dalam liputan tentang pemerintah daerah. "Saya dibuang ke kompartemen pendidikan," kenang ibu dua anak itu.

Merasa tak nyaman, Ida yang drop out dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu akhirnya meletakkan pena wartawannya pada 1983. Setelah itu, ia berkonsentrasi mempelajari kemiskinan dan menetapkan pilihan membantu petani, kaum miskin yang jumlahnya paling banyak. "Saat itu buruh masih sedikit, belum seperti sekarang," kata perempuan kelahiran 57 tahun silam itu.

Kebetulan saat itu Ida diserahi tugas mengurus perkebunan keluarga di Sampirun, Sumedang, Jawa Barat. Kesempatan menggarap lahan seluas 500 hektare itu tak disia-siakan. Ia mengundang para petani dan memutuskan ikut memeras keringat bersama mereka menggarap lahan berstatus hak guna usaha berbendera PT Sampirun Agrotama Kokobit.

Di samping menyediakan lahan, Ida memanggil ahli tanaman cabai. Sang ahli ia suruh mendidik petani. Hasilnya menakjubkan. Panen cabai mereka meningkat empat kali lipat, sehingga petani penggarap bisa meraup uang Rp 2 juta setiap panen. Hal itu terjadi sebelum demam cabai merebak di masyarakat.

Ida juga punya cara jitu mengatasi kesulitan petani mendapat pupuk berharga murah. Ia melobi para pengelola pabrik pupuk agar bisa memperoleh pupuk secara langsung. Dengan cara itu, mata rantai perdagangan pupuk yang terlalu panjang bisa diputus. Harga zat penyubur tanaman itu pun menjadi lebih murah.

Lobi dengan kalangan perbankan juga digunakannya untuk menyediakan kredit sepeda motor bagi petani. Dengan memiliki motor, petani bisa mencari penghasilan tambahan dengan menjadi tukang ojek. Anak-anak pun tak lagi terlambat sekolah karena ayah mereka punya motor yang siap mengantar.

Dalam membina petani, Ida mengaku tak mendasarkan diri pada ideologi atau aliran politik tertentu. "Saya hanya ingin mendidik kaum tani agar bebas dari belenggu kebodohan," katanya tegas di rumahnya di Lembang.

Toh, tuduhan miring tetap menerpa. Ketika pada 1993 Ida membentuk Ikatan Keluarga Petani Mandiri, cap komunis segera diterakan pada dirinya. Pakaian seragam organisasi yang berwarna hijau pun dipertanyakan. "Kami dituduh mau latihan kemiliteran oleh pihak keamanan," ujarnya.

Ketika seragam ia ganti menjadi berwarna jingga, tuduhan tak menjadi pupus. "Saya ganti dituding simpatisan Partai Demokrasi Indonesia," kata Ida. Kala itu PDI memang menjadi ancaman bagi rezim Orde Baru. Pusing dengan pelbagai tuduhan yang mengesalkan, ia mengganti warna seragam itu dengan warna kuning, seperti warna Golkar. "Setelah itu, kami tak pernah ditegur," kata perempuan yang masih gemar bersolek itu sambil tersenyum.

Lambat-laun petani binaannya berkembang tak cuma di sekitar Sumedang, tapi meluas ke daerah lain seperti Indramayu, Cirebon, Banten, dan Purwakarta. Pada suatu ketika, jumlahnya pernah mencapai 120 ribu orang. Bersama para anggota organisasi itulah Ida kemudian mendirikan jaringan radio Suara Petani di berbagai daerah.

Selain di Lembang, radio komunitas berbentuk jaringan itu telah mengudara di 26 tempat lain. Di samping itu, masih ada delapan radio lagi yang sedang melakukan siaran uji coba. Berapa modal untuk mendirikan radio itu? Ternyata tak mahal. Tiap radio cuma membutuhkan biaya Rp 2-3 juta untuk membeli mixer dan pemancar. Duit itu mereka kumpulkan secara gotong-royong.

Biaya operasional radio sehari-hari juga ditanggung oleh para petani sendiri. Mereka mengumpulkan dana dengan segala cara, termasuk menerbitkan kupon permintaan lagu seharga Rp 1.000 per lagu. Ida tegas menolak pembiayaan dari luar negeri atau lembaga swadaya masyarakat lain. "Kami ingin mandiri," ujarnya.

Untuk menghemat biaya, para pengelola radio bekerja tanpa bayaran. Toh, mereka tak mengeluh. "Radio ini kan dibangun untuk mencerdaskan petani," ujar Dedi, seorang penyiar Suara Petani Lembang.

Malang, di tengah sukses membangun jaringan radio, tahun lalu perkebunan Ida diserbu aksi unjuk rasa. Peristiwa itu terjadi hanya beberapa bulan sebelum masa kontrak hak guna usaha miliknya habis. Aksi demo tersebut membuat Ida terpaksa hengkang dari Sampirun, yang kini dikuasai perusahaan lain.

Beruntung, jaringan radio Suara Petani masih bertahan. Dengan modal radiolah Ida berusaha terus melanjutkan cita-citanya mencerdaskan para petani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus