Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TULISAN tangan pada guntingan formulir pertanyaan yang diedarkan TEMPO itu terbaca dengan jelas. Seorang pengirim bernama Jimi Piter, yang beralamat di sebuah kampus di Bandung, tak ragu memilih penyanyi Iwan Fals sebagai pahlawannya. Alasannya? "Dia penyanyi yang berani mengatakan kritik kepada yang berkuasa."
Lain halnya Sri Yunaidah, seorang pengajar di Universitas Sriwijaya, Palembang. Dia memilih Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan alasan sederhana: "Dia tidak seperti raja-raja tempo dulu, yang suka selir banyak."
Ada banyak alasan orang memilih tokoh idola dan pahlawannya. Setengah abad setelah pertempuran 10 November di Surabaya, orang tak lagi hanya melihat pahlawan sebagai "mereka yang rela mati dalam pertempuran".
Keanekaragaman tokoh, serta alasan pemilihan, tampak benar dari tanggapan yang dikirim para responden ke redaksi kami. Redaksi menerima sekitar 250 lembar formulir, yang diedarkan melalui Koran Tempo Juli lalu, dan menerima 100-an surat elektronik melalui fasilitas layanan interaktif dari situs berita Tempo Interaktif.
Selain Iwan dan Sultan, masih ada empat tokoh lagi yang menurut para pembaca pantas mewakili semangat "Indonesia Belum Menyerah".
Sholahuddin Wahid
Inilah tokoh nomor satu pilihan pembaca. Hampir sepertiga dari surat elektronik dan lembar formulir yang masuk memilih Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini sebagai kandidat tokoh "Indonesia Belum Menyerah".
Warga nahdliyin mengenal Gus Sholahdemikian panggilan akrabnyasebagai salah satu elite organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia adalah putra ketiga Kiai Haji Hasyim Wahidcucu pendiri organisasi itu. Namun, dengan posisinya yang istimewa itu ia tak lantas membela dengan kacamata kuda setiap langkah dan kebijakan NU. Dia juga dikenal kritis terhadap mantan presiden Abdurrahman Wahid, yang notabene kakak kandungnya sendiri. Barangkali karena itu pulalah ia bisa diterima oleh kalangan Islam di luar NU.
Sikap Sholahuddin berseberangan pendapat dengan Abdurrahman sejak awal tak ditutup-tutupinya. Bayangkan saja. Di saat sejumlah warga NU ramai-ramai menyokong Abdurrahman agar bertahan sebagai presiden, Sholahuddin malah menyayangkan jajaran petinggi NU yang justru kurang tegas bersikap terhadap kakaknya.
Sikap NU yang cenderung mendukung Partai Kebangkitan Bangsa, partainya Wahid, juga tak luput dari kritikan Sholahuddin. Nyatanya, pilihan sikap itu tak menghalangi Sholahuddin untuk bertahan di jajaran teras PBNU. "Ia figur yang terbuka dan independen," begitu ditulis seorang pembaca yang mengaku dari Flores Timur, Zainal B., ketika memilih Sholahuddin sebagai sosok idolanya.
Hidayat Nurwahid
Hingga penutupan jajak pendapat, tokoh ini menempati urutan kedua dari kandidat pilihan pembaca. Seorang warga dari Jalan Utan Kayu, Jakarta Timur, M. Soedradjat, mengaku tertarik mencalonkan Presiden Partai Keadilan ini karena gaya bicaranya yang sederhana, lugas, dan "tidak meledak-ledak".
Kalangan Partai Keadilan mengenal Hidayat sebagai pemimpin yang memiliki integritas cukup tinggi. Politisi berusia 42 tahun ini tak gelap mata ketika Presiden Megawati Soekarnoputri di masa awal pemerintahannya menawarkan jabatan menteri bagi dirinya. Tawaran serupa bukan barang baru kendati partai ini memiliki suara minoritas dalam parlemen. "Biarlah kami tetap berada di luar struktur," kata alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu.
Hidayat lahir dan besar dari keluarga berlatar belakang pendidik. Selain kedua orang tuanya, banyak pula paman dan bibinya yang berprofesi sebagai pengajar. Pilihan profesi seperti itu, menurut Hidayat, cukup mempengaruhi sikapnya dalam mendidik empat anaknya, dan ia mengembangkannya pula di lingkungan partai. Kesadaran penuh akan pendidikan itu pula yang antara lain membuatnya tidak cepat keblinger oleh hal-hal yang bersifat duniawi semata. "Ia tidak gila jabatan," demikian ditulis Nurhadi, warga Jalan Margasatwa, Cilandak, dalam formulir yang ia kirimkan kembali ke kantor redaksi untuk mendukung pencalonan Hidayat.
Abdullah Gymnastiar
Entah angin apa yang mendorong para pembaca ramai-ramai mendudukkan para pemuka dan tokoh Islam. Setelah Sholahuddin dan Hidayat, pembaca menempatkan Abdullah Gymnastiar, seorang pendakwah yang kini kondang. Pengasuh Pondok Pesantren Daarut Tauhid di Bandung itu lebih akrab dipanggil dengan Aa Gym.
Sering muncul di televisi, ia dikenal luas sebagai sosok yang murah senyum. Dua orang pembaca dari Jalan Sukasari, Bandung, Setiaji dan Nurhadi, menyebut Aa Gym bak menyiram rohani dengan "air yang sejuk" ketika berceramah. Pilihan katanya yang santun dan membuat orang tergelitik untuk melakukan introspeksi membuat mubalig berusia 40 tahun ini segera populer di kalangan pendengar ceramah atau pengajiannya di beberapa kota di Tanah Air.
Tak cuma pintar berpidato di depan umat, Aa Gym mengamalkan ajarannya dalam hidup sehari-hari untuk diri dan enam anaknya. Daarut Tauhid, pondok pesantren miliknya yang berarti "perkampungan tauhid", terbuka bagi semua orang.
Pernah mengecap pendidikan teknik elektro di Universitas Ahmad Yani, Bandung, ia tak hanya mahir menyitir ayat-ayat suci Al-Quran, tapi juga pintar dalam mengembangkan bisnis. Salah satu tulang punggung usaha Aa Gym adalah Keluarga Mahasiswa Islam Wiraswasta, yang dirintisnya sejak 1987 dari sebuah usaha kecil-kecilan pembuatan gantungan kunci, stiker, sablon dan cetak T-shirt.
Belakangan, penceramah yang getol mengembangkan konsep "manajemen qalbu" ini berhasil menelurkan koperasi pesantren. Kini rentang usaha Aa Gym dan rekan-rekannya telah merambah ke bisnis Radio Ummat, penerbitan tabloid, hingga gedung serbaguna dengan perkiraan total aset lebih dari Rp 6 miliar.
Kwik Kian Gie
Apa yang terpikir dalam benak pembaca jika mendengar nama Kwik Kian Gie? Seorang menteri dari partai yang tengah berkuasa, atau sosok ekonom? Barangkali petikan surat dari warga Pondok Cilegon Indah, Banten, Nopiar Makawaru, cukup mewakili sebagian isi hati masyarakat tentang sosok Kwik. "Ceplas-ceplos, jujur, apa adanya, nasionalis, dan berani mengkritik pengusaha kotor tanpa pandang bulu."
Puluhan faksimile dengan nada serupa mengalir ke meja redaksi. Di tangan Kwik, 67 tahun, ilmu ekonomi yang penuh dengan angka dan perhitungan serba njelimet menjadi mudah dibaca. "Tulisannya sangat taktis" dan mudah dipahami. Kesan ini muncul dari warga Jalan Kalibata Selatan, Muhsin, yang mengaku getol mengikuti ulasan ekonomi lulusan Nederlands Economische Hogeschool (kini Universitas Erasmus), Rotterdam, Belanda, tersebut.
Kwik tak sekadar jago berteori. Keandalannya dalam menguasai ilmu ekonomi juga dipraktekkan untuk dirinya. Kalangan pengusaha mengenalnya sebagai Direktur PT Altron Panoraman Electronics dari tahun 1978 sampai 1990. Belakangan perusahaan ini dia lego ketika memutuskan "turun gunung" dari pengusaha menjadi pengamat ekonomi.
Dia juga terjun ke dunia politik: bergabung dengan PDI Perjuangan. Walau telah duduk sebagai pejabat partai dan menteri, bukan berarti Kwik lantas berdamai jika melihat kejanggalan yang terjadi. Kritik dan komentarnya, yang tak jarang membuat pedas telinga pejabat yang lain, terus mengalir.
Susilo Bambang Yudhoyono
Tenang tapi artikulatif dalam berbicara membuat Susilo Bambang Yudhoyono masuk dalam bursa tokoh "Indonesia Belum Menyerah" di mata para pembaca. Purnawirawan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia itu ternyata mampu memancing simpati dari sejumlah pembaca yang rajin mengamati gerak-geriknya. "Dia berpikir secara konseptual dalam melaksanakan tugas, baik di TNI maupun sebagai anggota kabinet," demikian ditulis warga Tirtayasa, Serang, Farid Lutfi.
Lulus dari Akademi Militer Nasional pada 1973, Susilo boleh dibilang merupakan prajurit yang "bersenjata" komplet, termasuk bekal akademis. Terlahir sebagai putra seorang letnan, dia merampungkan materi latihan di berbagai sekolah atau pelatihan khusus tentara Amerika Serikat. Salah satunya di Fort Benning, Negara Bagian Georgia, ketika ia belajar "Airborne and Ranger Course". Tak hanya itu. Ia juga mengantongi gelar pascasarjana dari Universitas Webster, Amerika Serikat.
Walau menguasai ilmu keprajuritan, bukan berarti Susilo mengandalkan otot dan senjata dalam bertindak. Dalam berbagai kesempatan, menteri berusia 53 tahun ini justru tampak lebih mengandalkan upaya dialog sebagaimana yang ia usulkan dalam menangani pergolakan di Aceh. Namun, kesabarannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan seperti dalam batas ujian ketika gelombang kekerasan dan aksi teror mencapai puncaknya dalam ledakan bom di Bali tempo hari, yang menewaskan lebih dari 180 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo