Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berlari untuk Kejayaan Negeri

Yon Daryono layak ditiru bukan karena ia andal mencetak atlet lari, tapi lebih karena keteguhannya mempertahankan semangat.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YON Daryono bukan ingin nyentrik seperti Forrest Gump, sosok anak pandir dalam film yang berlari sepanjang hidupnya. Namun, dalam benak pria asal Jepara ini yang ada memang hanya berlari dan berlari. Dia yakin olahraga lari adalah sarana menggapai kehormatan negeri. Lari, satu dari sekian cabang atletik, bukan olahraga populer di sini. Tak banyak anak muda yang tertarik menggelutinya. Tak banyak pemodal mau mengucurkan investasi pada "ibu" olahraga ini. Selain pengusaha Bob Hasan—kini dihukum di Nusakambangan karena kasus manipulasi—nyaris tak ada yang mempedulikan atletik. Yon Daryono adalah satu dari yang sedikit itu. Dan ia menonjol karena dia bukan kelas konglomerat seperti Bob. Ia berasal dari kelas ekonomi biasa saja, tapi berani menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk olahraga lari. Sedikit demi sedikit ia mengumpulkan kekuatan untuk membangun sasana atletik Dragon, Salatiga. Hasilnya tidak mengecewakan. Padepokannya itu berhasil menjelma menjadi sebuah pabrik pelari andal, meski tingkatnya hanya untuk nasional atau paling mentok tingkat Asia Tenggara. Sampai kini ia masih bergelut mencetak atlet. Semua dia lakukan dengan tenaga dan cucuran keringatnya sendiri. Semua biaya ia cari sendiri, dengan sedikit bantuan pemerintah daerah. Dengan cinta dan kesenangan, dia lakukan "tugas"-nya tanpa banyak menuntut, apalagi mengeluh. Dan anak-anak didik pria kelahiran 10 Oktober 1946 itu lahir satu demi satu. Di sebuah lemari kaca, di ruang pendapa padepokannya, tersimpan ratusan piala, medali, dan piagam yang direbut nama-nama seperti Maryati, M. Khabib, Noor Amin, Rumini Sudragni, Hanny Melon, dan Ferry Junaidi. Dua nama terakhir sungguh istimewa. Hanny Melon menyelamatkan muka Indonesia dalam kejuaraan terbuka Asia 1995 dengan merebut dua medali perak. Setahun sebelumnya, Ferry Junaidi menyumbangkan emas di kejuaraan atletik Asia junior. Merekalah "anak kandung" kesetiaan Yon Daryono dalam menggeluti atletik. "Kami sudah membuktikan bahwa perjuangan kami tidak main-main," ujar sarjana muda hukum alumni Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, ini dengan mata berbinar. Tentu semua itu tak dicapai dalam sehirupan napas. Jalan tersebut ditempuhnya cukup berliku. Bak seorang perajin mutiara, ia turun langsung mencari bibit unggul. Semua itu bermula saat ia merasa perantauannya di Jakarta, 20 tahun silam, tak berbuah hasil. Daryono akhirnya banting setir, kembali menggumuli dunia lamanya: atletik. Setiba di kampungnya, ia langsung menggelar lomba lari "Pemudathon", yang dibiayainya dari koceknya sendiri. Setelah itu, anak-anak berbakat tersebut direkrutnya menjadi anak didiknya dan ditampung di rumah kontrakan, bercampur bersama anak dan istrinya. "Obsesi saya adalah melahirkan atlet yang andal," tuturnya. Tentu saja obsesi itu bukan terbangun tanpa sebab. Saat menjadi atlet, prestasinya tidaklah cemerlang. Paling pol catatan prestasi terbaiknya adalah runner-up dalam nomor lari 1.500 meter dalam Pekan Olahraga Wilayah Jawa Tengah pada dekade 1960. Prestasi istimewa, ia memang selalu menjadi langganan atlet Pekan Olahraga Nasional (PON) memperkuat kontingen Jawa Tengah antara tahun 1962 dan 1969. Tapi, soal prestasi, maaf saja: nihil. Dibakar dendam itulah ia berketetapan hati untuk mencetak atlet andal. Selain itu, keputusannya membangun padepokan tersebut didorong oleh kekecewaannya terhadap sistem pembinaan di Jakarta, yang dinilainya keliru. Usahanya berbuah hasil. Di tahun pertama, ia berhasil mengorbitkan Lestariyanto, salah satu anak didiknya, masuk peringkat 10 besar pada lomba lari Wonogirithon tahun 1982. Sejak itulah pelari asuhannya muncul menjadi pelari andal dalam kejuaraan nasional ataupun internasional. Tapi, jangan bayangkan prestasi gemilang itu lahir karena padepokannya memang memiliki fasilitas modern. Kondisi kompleks di stadion itu jauh dari standar resmi sebuah kamp latihan. Lihat saja tiga bangunan yang terletak di kompleks padepokan itu. Asrama tempat hunian para atlet itu hanya berupa ruang kosong berukuran 3 meter kali 5 meter. Tempat berleha-lehanya cuma sebuah kasur busa, dipan pendek, satu lemari, dan satu tempat minum. Tentu saja empat kamar ini tak bisa menampung enam atlet yang tinggal di sana. Alhasil, atlet lainnya harus menginap di rumah keluarga Daryono. Hanny Melon, atlet putri yang melejit namanya di tahun 1995, adalah salah satu atlet yang tinggal di sana. Sudah sembilan tahun ia nebeng di sana. Lebih memprihatinkan lagi adalah aktivitas latihan anak asuhnya. Peralatan berlatihnya, waduh, sangat jauh berbeda dengan yang ada di berbagai pusat kebugaran. Klub ini hanya memiliki empat buah barbel ukuran 1 kilogram hingga 5 kilogram, enam rompi beban warna merah yang sudah tidak layak pakai karena sudah robek di sana-sini, dan dua papan lintasan yang kayunya mulai lapuk. Alat-alat lainnya? Sama saja. Sepatu butut dan papan bantalan untuk start yang sudah jelek disimpan dalam sebuah lemari besar yang kondisinya juga menyedihkan. Lintasan di lapangan pun kini sudah mulai gundul. "Saat ini Padepokan Dragon hanya melanjutkan dari program yang sudah ada. Regenerasinya tidak terlalu sering," ujarnya lirih saat ditemui TEMPO pertengahan Oktober silam. Persoalan tidak berhenti di situ. Soal dana sering kali membuat kepala Daryono cekat-cekot. Bukan apa-apa, bantuan yang rutin diterimanya dari Pemerintah Daerah Jawa Tengah dirasakan tak cukup. Efeknya sudah langsung ketahuan. Memasuki dekade 2000, padepokannya sepi prestasi. Kalaupun ada, itu hanya di tingkat daerah seperti yang diraih Ruwiyati, yang menjadi nomor tiga dalam kejuaraan Borobudur 10 K pertengahan Oktober lalu. "Sekarang ini sudah untung masih ada atlet yang mau bergabung," katanya. Namun, hal itu tak lantas membuat semangatnya patah. Baginya, untuk menciptakan bunga-bunga di lahan kering, banyak cara bisa dilakukan. Salah satunya adalah "menodong" para donatur untuk dijadikan orang tua asuh bagi para atletnya. Cara inilah yang diyakininya dapat menghidupkan terus nyala semangat atletnya. Beberapa nama yang menjadi orang tua asuh itu antara lain adalah istri seorang menteri, yang membekali Hanny Melon tiap bulannya dengan duit Rp 1,5 juta. Begitu pula dengan para pejabat daerah. "Saya akan tetap mempertahankan padepokan ini, apa pun rintangannya," tuturnya. Yon Daryono tidak hanya berarti bagi atletik, tapi juga ilham bagi setiap kita yang tak ingin segera menyerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus