ANGKAT besi adalah olah raga yang sepi hadiah miliaran seperti pada tenis atau golf. Bahkan sepi peminat. Tidak banyak lagi remaja kita yang ingin berbadan kekar berotot laksana Hercules. Jarang orang tua yang rela putrinya menjelma menjadi gadis tambun dengan tangan sebesar milik Mike Tyson dan paha sekukuh kepunyaan Maradona. Dari angkat besi, dan juga angkat berat, atlet hanya mengejar medali di kejuaraan yang membawa nama negeri. Jika ia berhasil, nama negerinya berkibar-kibar. Tapi, di Indonesia, jangan terlalu berharap si "empunya" negeri akan membalas dengan layak sumbangan si atlet.
Imron Rosadi tahu benar kondisi tidak menyenangkan ini. Toh keadaan ini tidak sanggup memutus cintanya: Imron dan angkat besi laksana ikan dan air. Usianya hampir 60 tahun, dan 40 tahun di antaranya ia habiskan menjalani hidup sebagai atlet dan kini sebagai pelatih. Di saat orang seusianya sibuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya sebelum mati, Imron justru berpikir bagaimana membiayai atletnya untuk menembus pentas dunia. Sebuah pentas tempat Indonesia kini babak-belur dalam segala hal.
Mungkin cita-cita selangit itu dulu tak pernah digapainya. Atau bahkan tak terpikirkan ketika ia mengenal angkat besi dari siaran televisi. Di zaman itu ia dan anak sebayanya kagum akan tubuh berotot Hercules dan Samson—dua jagoan dalam mitologi Yunani itu. Maka, anak asli Lampung ini berguru kepada Khoe Hwie Liang, lifter asal Semarang yang membuka tempat latihan di Lampung. "Karena sering lewat tempat itu, hati saya tergerak melihat barbel-barbel yang dibawanya dari Jawa," cerita Imron. Kian hari ia kian serius berlatih dan memutuskan pindah ke Jakarta. Dia berlatih di Sen Ming Hwi, sanggar pelatihan milik Rudi Tilaar di Jakarta Pusat. Bakatnya terasah, bisnisnya pun tak berhenti.
Selama kurun 1964 sampai 1979, ia memang raja kelas 75 kilogram baik di Indonesia maupun Asia Tenggara. Hanya, kelas dunia masih jauh dari jangkauan. Sampai suatu ketika di tahun 1979, dalam persiapan menuju pesta olahraga SEA Games, angkatan besinya meleset dan menimpa tubuhnya dengan telak: tangan kirinya cedera. Karirnya sebagai atlet putus.
Pada saat yang sama karirnya sebagai pelatih berawal. Karir baru ini tak gampang. Putra keempat pasangan Liu Chouw Piang dan Hi Alow ini mesti mengerahkan segala kemampuannya untuk bertahan. Bisnis yang ia tekuni sejak berusia 16 tahun—dari berdagang jam tangan, kain, mobil bekas, sampai tanah—ia genjot habis. Ia biasa berdagang dari satu kota ke kota lain. "Dulu saya berlatih di kota mana saja tempat saya singgah," katanya.
Ia perlu waktu lama untuk mengumpulkan duit, sebelum pada tahun 1996 membangun pusat pelatihan angkat besi dan angkat berat yang diberi nama Padepokan Gajah Lampung di Pringsewu, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Padepokan di atas tanah 2.500 meter persegi ini terletak sekitar 50 kilometer sebelah barat Bandar Lampung. Selain dua hall tempat berlatih, di padepokan ini juga dibangun 19 kamar untuk asrama atlet. Sebuah fasilitas yang sangat "mewah" untuk ukuran Lampung.
Imron enggan bicara soal dana yang telah ia habiskan di sana. Yang bisa diketahui, untuk 30 set barbel buatan Swedia saja ia harus mengeluarkan Rp 60 juta. Semua dari koceknya sendiri, sampai ia tak kuasa menolak bantuan Gubernur Lampung (ketika itu) Poedjono Pranyoto, yang membantu melalui KONI Lampung sebesar Rp 260 juta. "Saya tidak enak. Pak Soesilo Soedarman ketika itu adalah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, jadi takut saya ada apa-apa dengan gubernur," ujarnya menunjuk almarhum Soesilo, yang bekas Ketua Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, dan Binaraga Seluruh Indonesia
Di padepokan itu semua gratis. Semua biaya ditanggung Imron. Bahkan aturan yang sama ia terapkan pada atlet Malaysia yang berlatih di sana. Kementerian Olahraga Malaysia sempat mengirim Rp 35 juta ke Pringsewu, tapi kemudian Imron mengembalikannya. "Dengan bantuan yang ada saja saya sudah sesak. Saya tak mau terikat," kata Imron. Padahal setiap bulan ia membelanjakan sekitar Rp 50 juta-60 juta. Dulu Soesilo Soedarman memberikan bantuan Rp 3 juta per bulan. Tapi, sejak Soesilo meninggal, bantuan tak pernah lagi mampir ke Pringsewu walaupun Imron kini menjadi Ketua Pengurus Daerah PABBSI Lampung.
Bebannya sedikit enteng tatkala padepokannya ditunjuk sebagai pusat pelatihan nasional, seperti menjelang Asian Games September lalu. Ada dana dari Jakarta yang mengalir ke sana. Di luar itu, semuanya dikerjakannya sendiri bersama istrinya, Juniarti. "Dia pemandu bakat yang bagus. Pilihannya jarang meleset," kata Imron tentang istrinya. Kini setiap hari ada 40 sampai 60 orang atlet remaja yang berlatih di Pringsewu.
Latihan itu sungguh berat. Lihatlah Amirul Hamizan Ibrahim. Dia sudah dua jam berlatih. Keringatnya membanjir, tapi wajahnya cerah. Dengan penuh semangat dia mengulang-ulang mengangkat barbel seberat 120 kilogram. Sesekali Imron datang, membentaknya agar lebih keras berlatih. "Di sini saya tidak bisa tertawa-tawa, mesti pasang wajah garang," kata Emi, panggilan Amirul, juara nasional Malaysia itu. Berkat latihan keras itu Emi menjuarai kelas 56 kilogram di Pekan Olahraga Persemakmuran (Commonwealth Games)—diikuti 56 negara—Juli lalu di Manchester, Inggris.
Di Pringsewu juga ada Winarni dan Sri Indriyani, dua nama yang sangat menonjol. Setelah sukses meraih emas di Kejuaraan Dunia Angkat Besi Yunior tahun 1997, tahun berikutnya Winarni menjuarai kelas 53 kilogram di kejuaraan dunia di Thailand. Pada tahun 1999 giliran Indriyani juara ketiga di Athena. Keduanya juga meraih perunggu di Olimpiade Sydney.
Dengan program begitu ketat, rasanya tinggal soal waktu kita akan berjaya di nomor-nomor angkat besi dan angkat berat. Dan seorang Imron menyadarkan kita bahwa tugas mengharumkan nama negeri tidak harus selalu dibebankan pada pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini