Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kemerdekaan di Ujung Hidup-Mati

Berita Film Indonesia pimpinan Raden Mas Soetarto adalah satu-satunya kantor berita "kiblik" yang membuat film dokumenter semasa perang kemerdekaan. Sebuah perjuangan yang penuh kekerasan dan tipu daya. Karya film mereka, yang kini hanya tersisa duplikatnya di negara lain, merupakan sebuah perenungan tentang hakikat manusia merdeka.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yudhi Soerjoatmodjo Kurator fotografi, Direktur "i see"

Raden Mas Soetarto mencabut pistolnya. Dibidikkannya moncong senjata itu ke batok seorang petinggi Jepang yang keras kepala—jari telunjuknya siap menarik pelatuk. Hari itu, di kantor Nippon Eiga Sha di Jakarta, kesabarannya telah sampai pada titik penghabisan.

Lewat satu setengah bulan setelah proklamasi kemerdekaan, Republik Indonesia yang kere dan lemah malah semakin terjepit. Di Tanjung Priok, kapal-kapal perang Inggris yang bertugas melucuti bala tentara Jepang sudah hampir tiga pekan berlabuh. Bersama mereka mendarat pula pasukan Belanda dan KNIL—serdadu kolonial asal Jawa, Ambon, Manado, dan Indo yang selama perang Pasifik bersembunyi di Australia. Mereka menyusup ke kota, berkedok sebagai rombongan administrasi sipil Hindia-Belanda NICA.

Dari atas truk militer yang hilir-mudik di jalan raya, "NICA-inlanders" itu mulai menebar teror. "Bersorak-sorak, seolah-olah mereka itu setelah bertempur mati-matian berhasil memasuki dan merebut Kota Jakarta," demikian tutur almarhum Bung Tomo, tokoh Surabaya yang pada masa-masa itu sempat bertandang ke Ibu Kota. Tangsi-tangsi Belanda pun kembali menunjukkan taringnya. Batalion X yang tersohor ganas menangkapi pemuda Indonesia. Mereka yang kepergok mengenakan lencana merah-putih dipaksa menelan benda dari seng itu.

Sementara itu, Jepang, yang katanya kalah perang, masih saja berkuasa. Salah satu indikasinya adalah kontrol mereka yang tetap kuat atas sarana komunikasi. Radio masih disegel. Badan sensor terus menjalankan tugasnya. Sepanjang Agustus hingga awal September 1945, media massa Jepang—di antaranya kantor berita Domei, harian Asia Raja di Jakarta, dan lembaga film propaganda Nippon Eiga Sha—masih terus beroperasi. Alhasil, seperti yang ditulis bekas wartawan Asia Raja, Rosihan Anwar, "Kejadian-kejadian penting yang menyangkut kehidupan rakyat banyak dan mempengaruhi masa depannya sering tidak dapat disiarkan."

Pada akhirnya rakyat memang dipaksa membuat keputusan-keputusannya sendiri, sementara para pemimpin yang minim pengalaman itu terjebak dalam berbagai perundingan alot dengan pihak Sekutu dan Belanda. Di luar, kelompok pemuda, buruh dan jagoan pasar, para juru kamera Indonesia, termasuk yang pertama bertindak. Sejak hari-hari pertama kemerdekaan, para fotografer Antara yang berada di bawah komando mantan kepala foto Domei Abdoelwahab Saleh, kakak-beradik Mendur pendiri IPPHOS, serta awak film Berita Film Indonesia masing-masing mengorganisasi dirinya dan melakukan berbagai liputan penting dalam sejarah RI-tanpa dana, tanpa menunggu perintah, bahkan tanpa peralatan yang memadai.

Dari tiga serangkai pers "kiblik" ini, Berita Film Indonesia (BFI), yang merupakan sempalan dari perusahaan film propaganda Nippon Eiga Sha, menempati posisi unik. Diprakarsai dan dipimpin oleh Raden Mas Soetarto, bekas juru kamera, wakil ketua bidang film, dan ketua pekerja Indonesia di Eiga Sha, BFI merupakan kantor berita nasional pertama dan satu-satunya di zaman revolusi yang memproduksi film dokumenter. Sudah tentu, dibandingkan dengan IPPHOS dan Antara, BFI yang juga membuat reportase foto memiliki potensi jangkauan lebih luas dan beragam, baik dalam bentuk penerbitan maupun melalui tayangan publik.

Sialnya, dibandingkan dengan IPPHOS dan Antara, produksi Berita Film Indonesia perlu didukung peralatan dan sarana yang jauh lebih lengkap—bukan perkara mudah, apalagi mengingat sikap keras yang diperlihatkan bekas atasan mereka. Selain melakukan penyitaan karya dan pengejaran wartawan, orang-orang Jepang juga acap kali menyembunyikan peralatan foto dan film untuk mencegah pemberitaan yang tak diinginkan sekaligus mengekang bawahannya. Dengan cara ini, misalnya, mereka mengandaskan rencana Soetarto untuk memfilmkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada hari bersejarah itu, para petinggi Nippon Eiga Sha tiba-tiba menutup kantor dan studio mereka. Seluruh peralatan pun digembok.

Soetarto, yang sejak tahun 1930-an sudah memiliki segudang pengalaman sebagai aktivis Partai Indonesia Raya, wartawan foto Soerabaische Handelsblaad, dan juru kamera Multi Film di Batavia, tidak kehabisan akal. Dengan sedan kantor yang dapat dibawanya kabur (kemudian dihiasi tulisan "BFI", tentunya) malam itu juga ia menyatroni Ishimoto, bekas pemimpinnya yang bersimpati kepada perjuangan Republik. Ia mendapatkan sebuah kamera Eyemo dan beberapa gulungan film. Dengan peralatan itu, para juru kamera Berita Film Indonesia akhirnya berhasil merekam beberapa kejadian penting, di antaranya pengesahan UUD 1945, pengangkatan presiden dan wakil presiden, serta aksi pemuda menulis slogan-slogan perjuangan di seputar Kota Jakarta.

Selama berminggu-minggu sejak saat itu, tipu-muslihat dibalas akal bulus. Menjelang pertemuan besar di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, misalnya, anak buah Soetarto berhasil mendapatkan beberapa perlengkapan tambahan yang mereka curi sedikit demi sedikit dari bekas kantor mereka. Jadilah pagi itu rombongan Berita Film Indonesia tiba di lokasi kejadian mengendarai sebuah truk, di atas Raden Mas Soetarto—baru 31 tahun saat itu—bertengger di samping sebuah kamera Mitchell. Namun orang-orang Eiga Sha yang juga pantang menyerah masih sempat melakukan sabotase. Baterai aki mereka sembunyikan. Akibatnya, liputan yang menegangkan itu (awak BFI sempat ditahan empat jam oleh balatentara Jepang bersenjatakan bayonet terhunus) terpaksa direkam tanpa suara. Soetarto sendiri harus mengoperasikan kamera besarnya dengan cara mengengkolnya dengan tangan.

Dengan mendaratnya pasukan Sekutu dan Belanda di Indonesia pada akhir September 1945, Soetarto sadar bahwa waktu yang dimiliki pihak Republik untuk mempertahankan kedaulatannya semakin sempit. Permainan "kucing-kucingan" dengan pihak Jepang tak bisa diteruskan. Ia pun berupaya membujuk Nippon Eiga Sha agar menyerahkan seluruh aset dan studionya kepada Berita Film Indonesia. Tapi pihak Jepang tetap bersikap ngeyel, hingga akhirnya pria ningrat dari trah Mangkunegaran tersebut terpaksa menimpali dengan perbuatan yang lebih nekat: mengancam untuk menembak siapa pun yang menentang upaya itu.

Sikap brutal itu justru membuahkan hasil. Pada 6 Oktober 1945, dalam sebuah perjanjian tertulis yang ditandatangani Ishimoto dan Soetarto, Nippon Eiga Sha menyerahkan seluruh aset dan haknya, termasuk studio mereka di Bidara Cina 125 (kini Perusahaan Film Nasional di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur), kepada Berita Film Indonesia, yang kala itu sudah bernaung di bawah Kementerian Penerangan RI. Sayangnya, perayaan itu tak berlangsung lama. Sebulan kemudian, sekitar 200 tentara NICA menyerbu dan mengobrak-abrik studio tersebut. Untungnya, para awak BFI sudah lebih dulu melarikan dan menyembunyikan seluruh peralatan dan dokumentasi film mereka, antara lain ke rumah sakit CBZ (kini Cipto Mangunkusumo), St. Carolus, dan kediaman pribadi Soetarto.

Untuk sementara waktu setelah kejadian itu, para awak Berita Film Indonesia bahkan terpaksa tinggal dan beroperasi dari sal dan laboratorium rumah sakit, tapi momentum yang telah mereka bangun tak tertahankan lagi. Hingga akhir perang revolusi, Berita Film Indonesia, di samping rekan-rekan mereka dari IPPHOS dan Antara, berperan penting dalam mempertahankan kemerdekaan bangsanya. Mereka melakukannya melalui foto-foto reportase seperti yang diterbitkan dalam majalah Indonesia pada 1945 dan 1946, serta melalui berbagai film dokumenter—mulai dari rapat akbar Lapangan Ikada tanggal 19 September 1945, pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, perebutan kembali Yogya, hingga penyerahan kedaulatan oleh Belanda di Istana Den Dam pada 1949, semuanya disebarluaskan hingga ke Amerika dan Eropa.

Setengah abad kemudian, barangkali kita bisa menyikapi semua karya Berita Film Indonesia itu—yang sayangnya kini hanya tersisa duplikatnya di negara lain—bukan cuma sebagai sebuah dokumen sejarah, tapi juga sebagai sebuah perenungan, dalam bentuk suara dan gambar bergerak. Perenungan itu berisi apa yang menjadi esensi tindakan almarhum Raden Mas Soetarto dan seluruh bangsa Indonesia, pada detik-detik ketika mereka harus membuat pilihan hidup mati, yakni: seberapa jauhkah pengorbanan yang siap ditem- puh setiap manusia dalam menggapai dan mempertahankan kemerdekaannya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus