RONALD Reagan adalah sosok unik dalam sejarah para presiden Amerika. Ia memiliki cara berpikir seorang ideolog dan politikus sekaligus. Reagan memang punya kekuatan moral yang diperlukan seorang presiden Amerika di masa kini - ketika Amerika lagi diancam krisis keyakinan. Di dalam dirinya berkembang kepercayaan yang tak tergoyahkan. Retorikanya tajam dan membelah bagaikan sambaran kilat di kegelapan - tentang yang dianggapnya baik maupun buruk - sehingga ia sempat terasing dari kubu moderat. Hanya, tidak seperti politisi berkeyakinan teguh kaliber Barry Goldwater atau William Jennings Bryan, Reagan pedagang kuda sejati yang tak segan-segan mengompromikan posisinya untuk gerakan dan tujuan politik. Tampaknya cara berpikir yang terkesan kontradiktif ini bersesuaian dengan watak dan kondisinya. Secara politik, presiden satu ini sukses luar biasa. Popularitasnya seperti bermuatan tenaga sihir. Untuk segala tindakan komprominya, sampai yang paling gila sekalipun, ia tetap mampu bertahan sebagai seorang yang teguh prinsip. Reagan telah membuktikan dan memperagakannya di dalam banyak kesempatan. Gagasan-gagasannya itu bahkan tertampung dalam keputusan-keputusan legislatif, dan mendorong terlaksananya agenda nasional menurut arah telunjuknya - yang menurut dia menuju ke kebenaran. Komitmen sang presiden dengan prinsip-prinsipnya itu membawanya ke berbagai tindakan kontroversial. Misalnya, menjalankan defisit anggaran yang belum pernah dilakukan sebelumnya, dan menyulut persaingan baru di bidang militer dengan Uni Soviet di angkasa luar. Kecaman-kecaman, bahkan berbagai pertanyaan dari anggota stafnya, menunjukkan betapa mendalamnya ia meyakini berbagai masalah secara aneh, hingga para staf khawatir bos mereka itu tidak berhati-hati di hadapan berbagai kenyataan. Bagaimana orang dapat memahami jalan pikiran Ronald Reagan? Ini memang pertanyaan pokok yang sering diajukan dalam lusinan wawancara, baik kepada para pembantu presiden yang dulu maupun yang sekarang, kepada musuh-musuh politiknya, maupun langsung kepada Presiden sendiri dalam kesempatan wawancara berjam-jam. Para pewawancara juga ingin tahu bagaimana ia mengambil keputusan, di samping cita-rasa kesejarahannya, caranya memperoleh informasi, dan peranan yang dimainkan istri dan para pembantunya. Apa yang muncul adalah sebuah potret yang kaya warna, provokatif, dan acap kontradiktif. Tidak seorang pun di antara teman-teman dan para pembantu yang diwawancarai, misalnya, yang mengisyaratkan bahwa Presiden adalah - dalam gambaran yang lazim sekalipun - seorang yang analitis, yang memiliki rasa ingin tahu seorang intelektual atau pencari informasi yang baik. Para staf umumnya tidak pula memandang perlu imaji semacam itu. Berkali dan berulang kali para pembantu membuat gambaran tentang seorang presiden yang memiliki kekurangan intelektual sangat parah - tapi tak terbantah sebagai seorang politikus kelas berat, seorang pemimpin yang kepekaan naluri dan intuisinya acap lebih tinggi dari daya analisa rata-rata mereka. Kemampuan pikirnya, kata mereka, hampir seluruhnya dibentuk oleh sejarah pribadinya sendiri dan bukan oleh kearifan yang muncul dari buku-buku sejarah. Ia berpikir secara anekdot. Jalan pikiran Presiden, kata para staf, berkisar pada dua kutub filosofi: kebenaran dan kebutuhan. Baginya, kebenaran sederhana saja adanya, dan ia mengenalnya. Ia boleh saja menyerah sesaat jika merasa tak mempunyai pilihan politik lain, tetapi kemudian dengan berbagai cara kembali kepada prinsip-prinsip asalnya. Dan, dalam hal ini, ia sebenarnya keras kepala dan tidak mudah berkompromi seperti yang terjadi pada 1981, ketika ia terpaksa menyetujui undang-undang pajak yang memotong lebih sedikit daripada yang ia inginkan. Reagan, kata para pembantunya, seorang yang mampu melakukan manuver-manuver rumit di samping muslihat politik biasa. Itulah serenceng kunci pokok pemikiran Ronald Reagan - kunci-kunci suksesnya sebagai ketua Persatuan Aktor Layar Putih Amerika, sebagai gubernur California, dan akhirnya presiden Amerika Serikat. Para pengecamnya, sebaliknya, acap mempertalikan semua suksesnya dengan kecekatannya sebagai "komunikator akbar" atau "si kaku canggung yang beruntung". Tapi, di atas itu semua, siapa pun sepakat, Reagan tahu apa yang sedang ia lakukan, kapan ia harus mundur dan bila harus bertempur. "Dan ia bebas memperbincangkannya selama wawancara di Gedung Oval," tulis Leslie H. Gelb dalam The New York Times Magazine 5 Oktober silam. Pada satu kesempatan, Reagan ditanyai tentang berbagai kritik terhadap beberapa kompromi politik yang telah ia buat. Ia mengaku tahu siapa para pengecam itu. Katanya, "Kaum konservatif kepala batu itu beranggapan bahwa jika saya tidak memperoleh semua yang saya inginkan, saya harus melompat dari tebing karang dengan bendera berkibar-kibar - terjun ke dalam kobaran api di bawah. Tidak, jika saya memperoleh 70% atau 80% saja dari yang saya inginkan, saya akan mengambilnya, sambil terus mencoba mendapatkan sisanya di masa-masa yang akan datang. Dan mungkin itu akan lebih mudah diperoleh setelah mereka menyaksikan rencana tersebut memang berjalan. Itulah yang mereka khawatirkan, dan itu yang mereka kritik. Ternyata, mereka tak dapat mempertahankan pendiriannya, sementara saya dapat merundingkannya dan menyetujui perolehan yang kurang dari yang saya minta." Baru saja, beberapa bulan yang lalu, Presiden Reagan dengan dramatis memperagakan keluwesan politiknya di bidang perdagangan luar negeri. Selama 4 1/2 bulan ia dengan teguh menolak tekanan kaum proteksionis dari Kongres. Tetapi dengan timbulnya defisit perdagangan yang mendekati US$ 150 milyar setahun untuk tahun ini, dan dengan ancaman Kongres, ia tukar persneling - mencari subsidi bagi barang ekspor Amerika, dan menurunkan nilai dolar untuk membuat barang impor lebih mahal dan barang ekspor lebih murah. Dalam wawancara dengan Leslie H. Gelb, koresponden bidang hankam itu, Presiden ternyata sangat bisa menguasai suasana. "Ketika itu kami duduk bersisian di dekat perapian menghadap kamera," tulis Leslie. "Ditanya mengapa ia selalu diremehkan sepanjang kehidupan politiknya, senyumnya langsung lenyap. Menolehkan kepalanya, ia menatapku tajam seolah-olah sedang mengeratkan tali pinggangnya untuk memulai pertarungan. 'Oleh siapa?' katanya." Sikap galak, alamiah, dan siap menghadapi suatu keadaan tertentu adalah suatu kenyataan dalam diri Reagan setiap ia merasa ditantang. Duga pendapat umum (poll) cukup menunjukkan bahwa apa yang sekarang dikerjakannya kembali sangat meyakinkan. "Boleh jadi," kata Reagan, "orang kadang-kadang meremehkan saya karena pekerjaan saya dulu aktor. Anda 'kan tahu, telah lewat satu generasi ketika para aktor tidak boleh dikuburkan di halaman gereja." Presiden berucap bahwa apa yang ingin dikatakannya: ia tidak akan goyah dalam tujuan yang ingin dicapai. "Anda harus memiliki suatu latar belakang sejarah untuk mengambil suatu kebijaksanaan yang sehat," katanya. Kemudian ia bercerita tentang upayanya melakukan penelitian sendiri untuk penulisan pidato pada masa awal kariernya. Dan tiba-tiba ia sampai pada penjelasan mengapa ia berhenti menjadi anggota Partai Demokrat Aliran Baru (New Deal), yakni ketika ia mulai meyakini bahwa "Pemerintah tumbuh di luar keinginan yang diperintah, dan itulah pemerintah yang telah berperan bagi musuh ekonomi kita - dan kebetulan, saya bukan intelektual, tapi saya lulusan ekonomi." Ketika ia diminta menjelaskan beberapa pernyataan dan tindakannya yang bertentangan, misalnya karena ia mengecam Perjanjian Terusan Panama ketika belum menjadi presiden, tapi setelah menjadi kepala negara tidak melakukan apa pun mengenai persoalan itu, sang presiden menjawab, "Well, itu telah berlalu," katanya. Ia kemudian melenceng bicara tentang Perjanjian Salt 11 1979, yang sudah ditandatangani tapi tidak diratifikasikan, sebagai "rusak berat" - ia melihat dua hal itu punya hubungan. "Tapi secara tak resmi saya memeriksanya kembali. Saya melihat Uni Soviet berkemampuan meningkatkan persenjataannya lebih cepat dari yang diizinkan oleh persetujuan itu, dan kita tidak." Bagaimana tentang utang nasional yang sangat menggelembung - yang melipat dua dalam masa lima tahun - di tengah-tengah janjinya mengurangi defisit? "Itu tidak begitu besar jika Anda bandingkan dengan persentase GNP," katanya enteng. Memang cuma itu pendapatnya. Itulah wawancara dengan seorang yang katanya memiliki gagasan jernih tentang apa yang ingin ia capai dan cara-cara melaksanakannya. Toh, menurut para teman dan pembantunya, Reagan bisa tampil menjadi pribadi yang bersegi banyak, yang sukar dipahami. Mereka memperoleh kesulitan menjelaskan kedunguan moral yang sesekali muncul. Misalnya tentang pernyataannya bahwa para serdadu Jerman Nazi yang dikuburkan di pemakaman Bitburg sama saja dengan para korban kamp-kamp konsentrasi. Menghadapi suatu pembuatan keputusan, ia biasanya berkonsultasi dengan para stafnya dan meminta pendapat mereka. Tetapi kadang-kadang ia mendadak menyimpang ke keputusannya sendiri yang seluruhnya baru, yang belum pernah terpikirkan. Ia bisa menjadi begitu berahasia sehingga para pembantunya tidak dapat meramalkan kompromi apa yang sedang ia jalankan: apakah itu, misalnya, pertemuan puncak di Jenewa dengan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev, November baru lalu, atau dengan para pemimpin Kongres tentang pengubahan pajak dan perdagangan. Dalam banyak hal, baik ataupun buruk, Ronald Reagan adalah presiden Amerika dari jenis yang lain. * * * "Sebuah kunci bagi sukses Presiden Reagan adalah: ia selalu diremehkan," kata Michael K. Deaver, pembantu Gubernur Reagan waktu masih di California yang kemudian menjadi Deputi Kepala Staf Kepresidenan pada masa jabatan pertama dan teman dekat Nancy Reagan. Itu sudah berulang kali diucapkan orang-orang yang pernah bekerja sama atau bekerja dengan Presiden, tapi itu katanya tidak pernah masuk ke dalam hatinya. Yang menjadi ukuran standar bagi kebanyakan akademisi dan komentator adalah sikap Presiden yang suka bermasa bodoh, dogmatis, tapi beruntung - sangat beruntung. Dan bahwa ia, bagai anak manis, naik dengan mulus dan menjadi master media massa. Tapi barangkali mereka mengabaikan delapan tahun sukses sebagai gubernur, empat tahun sebagai presiden, dan masa kepresidenan kedua setelah terpilih kembali lewat Pemilu 1984. Tidak seorang pun yang akan menjalani "masa kekuasaan" yang begitu mulus, diiringi nyanyian dukungan yang begitu merdu pula, melulu dengan keberuntungan. Waktu demi waktu dalam masa kepresidenannya Ronald Reagan telah mendemonstrasikan determinasi yang tak henti-hentinya untuk meluncuri jalan yang dipilih. Dalam prosesinya ia sempat menyakiti para pendukungnya, menggunakan argumen yang menyesatkan, membalikkan semua posisi dan pada saat bersamaan menolak melakukannya. Toh ia juga mampu membuat berbagai keputusan yang sulit dilakukan para pendahulunya di Gedung Putih. Itu memang bertolak dari dasar pemikiran yang berbeda. Richard Nixon dan Jimmy Carter, misalnya, sering bermain dengan perkara-perkara ringan. Presiden Nixon mundur dari Vietnam secara perlahan-lahan, bertahun-tahun, dan tak pernah merampungkannya. Presiden Reagan surut dari Libanon dalam satu gebrakan - bagaikan gerakan "gun fighter" yang memetik picu pistolnya dalam satu tarikan napas. Presiden Carter main tambal-sulam dalam membenahi ekonomi, sementara Reagan lebih suka bikin perubahan besar dan cepat. Presiden-presiden pendahulu memerlukan cukup banyak waktu untuk membaca kertas kerja posisi yang berpanjang-panjang, berunding dengan para ahli luar, menyimak perkembangan internasional. Presiden Reagan tak memerlukan waktu sebanyak itu: ia kurang minat pada baca-membaca. Menurut para legislator dan lainnya, yang mengenalnya dari dekat, Reagan secara umum tidak memiliki pengetahuan mendalam terhadap pokok-pokok soal yang didiskusikan. Partisipasinya dalam adu argumen sering membuatnya lelah. Kalau sudah begitu, biasanya sang presiden membaca keras-keras informasi dari para stafnya, yang ditulis untuknya dalam tiga sampai lima kartu indeks, dengan tekanan-tekanan seorang orator. Menurut seorang anggota Komisi Presiden untuk Urusan Kekuatan Strategis, "Ia tak pernah ambil bagian dalam pertemuan-pertemuan dan hanya mengikuti permasalahan dari apa yang diceritakan Bud McFarlane." McFarlane adalah penasihat hankamnya. "Ia tidak mengerti apa yang sedang kami rencanakan mengenai berbagai program strategis dan pengendalian persenjataan. Ia hanya tahu bahwa apa yang sedang kami rekomendasikan adalah bagaimana memperoleh rudal MX." Tapi apa pun yang diketahui dan yang tidak diketahui, Reagan, dengan gaya sedikit sok tahu mengambil alih usul kompromi Komisi dan berjuang melawan Kongres. Hasilnya: ia mendapat rudal itu. Kontroversi dan perdebatan sengit telah marak tahun ini berkenaan dengan ucapan dan tindakan Presiden tentang peristiwa Bitburg dan Afrika Selatan. Bagaimana mungkin seorang presiden bisa tak memiliki pertimbangan sama sekali dan begitu langka informasi? Selama rangkaian perlawatannya ke Eropa, Gedung Putih mengumumkan, Presiden akan mengunjungi pemakaman militer Jerman di Bitburg. Ketika belakangan ketahuan secara umum bahwa banyak anggota pasukan SS Nazi dikuburkan di sana, kehebohan pecah. Sejumlah pembantu yang terlibat langsung dalam peristiwa itu - sesungguhnya semua staf Presiden menganjurkan kunjungan ke sana ditunda saja. Bahkan Nancy Reagan setuju pada penundaan, kata seorang pembantu, "karena ia merasa situasi waktu itu tidak menguntungkan dan bisa memporakperandakan seluruh perjalanan Presiden ke Eropa." Komentar Presiden yang mempersamakan begitu saja kematian serdadu-serdadu Jerman yang nyatanyata memihak dengan korban bencana bagaikan menambah bensin ke nyala api yang sedang marak. Toh Presiden tak mau mundur. Seorang pembantu senior mengutipnya sebagai berkata kepada stafnya, "Saya tidak ingin Anda sekalian mengubah apa pun. Sejarah akan membuktikan apa yang saya lakukan itu hal yang benar." Ia pun pergi ke Eropa, untuk membuktikan kepada pemerintah Jerman Barat bahwa ia sekutu yang teguh, dan, menurut sejumlah pembantunya, ia meramalkan peristiwa itu akan segera dilupakan orang. Mengapa ia membuat pernyataan "korban Nazisme" yang menimbulkan tanggapan ramai itu? Beberapa pembantunya menduga bahwa bos mereka tidak berbicara di luar batok kepalanya. Dalam wawancara dengan Leslie H. Gelb di Gedung Oval, Reagan menegaskan, "Tidak pernah saya ingin mengatakan bahwa para korban (anggota pasukan Nazi yang tewas) sama dengan korban bencana." Toh nyatanya gambaran itulah yang timbul dari kata-kata yang ia ucapkan, ucapan yang dipakainya untuk mencari pembenaran bagi kunjungannya ke pekuburan Nazi Jerman itu. Pada bulan Agustus, Reagan menyatakan bahwa pemerintah Afrika Selatan "telah menghapuskan pemisahan (segregasi) yang pernah dipunyai Amerika Serikat." Tak ayal, pernyataan itu menimbulkan kegaduhan. Tetapi Presiden segera berbalik dan memberikan tanggapan tentang kata-katanya itu sebagai bagian dari pembelaan yang teguh terhadap kebijaksanaannya. Yaitu: cara terbaik untuk mempengaruhi Pretoria adalah dengan menghindari pengutukan umum terhadap pemerintah Afrika Selatan. Dan walaupun ia agak mundur dari ucapannya terdahulu, ia terkesan sebagai masih mendua. Pada kesempatan jumpa pers, ia mengaku tak bermaksud mengatakan apa yang telah diucapkannya, dan kemudian melanjutkan, "Saya tahu dari laporan, betapa telah meluasnya masalah akibat ucapan saya, dan saya menyesal secara gegabah telah memberikan kesan yang saya yakin kini telah terpupuskan sama sekali." Bukanlah untuk pertama kali, Presiden - setelah ditunjukkan oleh fakta bahwa ada yang keliru berkeras dan mengulangi kekeliruan yang sama. Reagan tidak dengan sendirinya bisa dipersalahkan. Tapi inilah presiden yang menolak menyebutkan nama-nama para simpatisan komunis di depan Komite Aktivitas Non-Amerika dari DPR AS pada 1950-an, tapi secara pribadi menyerahkan daftar nama mereka kepada FBI. Michael Deaver melihat bekas bosnya lewat berbagai cara yang berbeda: "Presiden dituduh punya berbagai kontradiksi dalam dirinya, sementara ia sendiri menolaknya lewat penolakan yang seolah-olah sangat diyakininya. Ia merasionalisasikan segala hal dalam pikirannya sendiri. Ketika tiba saatnya mengubah posisi, ia meyakinkan dirinya bahwa itu harus dilakukan dengan segera, sambil berpegangan teguh pada tujuannya." Ini dengan jelas diperagakan Presiden Reagan dalam keputusannya tentang Libanon dan defisit anggaran belanja negara. Ketika mengirimkan marinir ke Libanon, ia mengumumkan bahwa keberhasilan bangsa Libanon sangat penting bagi keamanan Amerika. Kongres setuju. Sewaktu ia menarik kembali marinir, setelah 241 orang Amerika terbunuh oleh bom teroris dan Libanon tetap dalam huru-hara, ia berteguh mengatakan bahwa misi ke Libanon telah mencapai sasaran. Seorang pejabat senior Pemerintah menggambarkan move Presiden begini, "Pernyataan tentang tindakan masuk ke Libanon untuk kepentingan Libanon dibuat untuk membenarkan aksi militer itu. Ia (Reagan) percaya tentang vitalnya Libanon, karena itulah yang tertera dalam kertas brifing. Ketika tiba waktunya menarik marinir, saya tidak berpendapat ia yakin bahwa tugas telah dilaksanakan seperti yang ia katakan di depan umum. Ia cuma menunjukkan muka yang terbaik dalam keadaan buruk." Pada ujung-ujungnya, Presiden Reagan memang berhasil memotong kerugian yang dideritanya, meski ia tahu hal itu dinilai oleh banyak orang sebagai justru memperbesar kekeliruan. Toh presiden yang lain tidak akan pernah berani menanggung risiko gawat seperti itu. Ronald Reagan memperagakan keberanian yang sama ketika datang waktunya membuat keputusan yang mengakibatkan berlipat duanya defisit Federal. Menurut pejabat senior Pemerintah, Presiden sadar bahwa bertambahnya defisit anggaran dapat menjurus ke kemerosotan perekonomian negara secara tajam. Ia juga sadar bahwa pemotongan pajak dan peningkatan pengeluaran militer - dua dari sejumlah sasaran yang paling ingin dicapainya - dapat mendorong Pemerintah lebih banyak membuat utang dan lebih memperburuk defisit. Tapi, seorang pejabat berkata, "Jika Reagan harus memilih antara pemajakan dan peminjaman untuk mengurangi defisit, ia yakin bahwa membikin utang lebih baik." Ia juga masih tetap percaya bahwa pemotongan pajak yang dilakukannya dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup yang pada akhirnya dapat menanggulangi defisit. Tapi kebanyakan ahli ekonomi tidak sependapat. Bahkan para penasihatnya sendiri ragu-ragu terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Amerika sekarang. Meskipun stafnya berpengaruh besar dalam banyak soal, Ronald Reagan berpikir seperti seorang penjudi ketika harus menghadapi permasalahan yang besar-besar. Ia percaya pada nalurinya, dan sebegitu jauh, sementara ini, nalurinya tidak sampai menjerumuskan Amerika. * * * "Salah satu kekuatan nyata Presiden Reagan adalah kompas batinnya," kata Menteri Keuangan James A. Baker yang sebelumnya menjadi kepala staf Gedung Putih. "Ia tidak hanya sangat percaya pada hal-hal tertentu yang mendadak, tapi memiliki keyakinan itu sudah lama." Barangkali tidak ada tolok bandingnya dalam kancah politik Amerika, Ronald Reagan adalah cermin gabungan kemajuan semua profesi abad ke-20 - penyiar radio, bintang film, pembawa acara Death Valley Days dari General Electric. Semua itu lambang kemajuan era komunikasi. Ia terus melangkah dengan mudah, tanpa kesakitan dan jerih payah, konon. Rasa yakin dan optimisme menyatu dalam seluruh pandangan hidupnya. Tak ada yang tidak mungkin bagi laki-laki yang lahir di bawah bintang keberuntungan itu. Dalam tahun-tahun awal jabatannya, Presiden gemar sekali berkata - seperti yang ia akui juga dalam wawancara - bahwa ia "pembaca yang rakus" dan "pengagum sejarah". Tapi bila ditanya, ia tak dapat menyebutkan buku sejarah apa saja yang sudah dibacanya dan sejarawan mana yang paling digemarinya. Tampaknya gagasan Presiden tentang dunia mengalir dari pengalaman dan pengamatan hidupnya, dari sejarah pribadi ketimbang dari kamar studi. Ia mengembangkan, tidak sebanyak filosofi yang berkaitan, suatu perangkat keyakinan yang tersimpan rapi di dalam benaknya. Dari Injil yang dulu dikutip ibunya muncul semacam paham fundamentalistis - seperti yang pernah diutarakannya. Reagan tumbuh dewasa dalam citarasa yang kuat tentang yang benar dan yang salah, dengan sebuah pandangan tentang dunia sebagai medan pergulatan antara yang baik dan yang buruk. "Tuan Reagan yakin pada penafsiran harfiah Kitab Injil," kata Michael Deaver. Keberuntungan turun dari ayahnya, seorang Demokrat New Deal. Sementara itu, dari pengalaman berangkat remaja di sebuah kota kecil di Illinois, muncul naluri kerakyatannya, termasuk nasionalisme dan antielitisme. Antielitisme belakangan tampil sebagai antiintelektualisme, dalam serangan terhadap pembagunan Northeast dan, akhirnya, dalam pidato-pidato kecaman terhadap para birokrat Washington. Tidak tampak di sana jejak rasisme populis dalam kehidupan pribadinya. Reagan tampil sebagai pembicara keras pada masa awal pembuatan undang-undang hak warga negara dan dengan konsisten ia menentang aksi para pendukung pembuatan undang-undang itu. Ketika memegang jabatan ketua Persatuan Aktor Layar Putih dari 1947 sampai 1952, ia melawan upaya ambil alih yang dilakukan kaum komunis terhadap organisasi itu. Ketika itu nasionalismenya mulai mencakup semangat antikomunisme yang berkobar-kobar. Itu hampir menjadi seluruh pandangan dunianya, terwujud dalam retorika anti-Sovietnya yang garang. Ia amat mencurigai setiap perundingan dengan orang Rusia, dan berkali-kali mengimbau penambahan kekuatan militer yang lebih besar. Unsur lain yang menjadi bagian dari setting keyakinan Ronald Reagan muncul ketika ia berkeliling ke seluruh negeri, berpidato untuk General Electric, dan ketika Nancy Reagan mulai menghadirkan para eksekutif perusahaan-perusahaan besar dalam kehidupan sosial mereka. Reagan lalu memilih Partai Republik. Ia berusaha mendamaikan pengabdian barunya kepada kapitalisme dengan paham kerakyatan, berkeras bahwa bila kendali pemerintahan diarahkan dengan baik, bisnis dapat berkembang pesat dan menyebarkan kemakmuran ke seluruh rakyat. Semua tercakup dalam pidato General Electricnya. Di sana ia bicara tentang pengubahan pajak, ibadat di sekolah, dan tidak ketinggalan bahaya berjinak-jinak dengan orang Rus. Di atas segala-galanya, ia menghendaki program radikal yang membebaskan rakyat dan bisnis dari beban-beban pemerintah. Ketika ia menjadi gubernur California pada 1967, gagasannya mulai terbentuk secara penuh. Ternyata, Michael Deaver hanya dapat mengingat dua contoh saat bosnya mengalami kesukaran mengambil suatu keputusan penting. Yaitu ketika Reagan harus menentukan sikap tentang aborsi, dan ia "belum pernah memikirkannya sebelumnya," tutur Deaver. "Maka, ia berbicara dengan para ahli hukum dan dokter, lalu menyimpulkan bahwa sebuah janin adalah seorang manusia. Dan sejak itu ia berpegang pada pandangan itu." Hukuman mati adalah contoh kedua. "Ia adalah gubernur pertama yang mengenakan hukuman mati dalam masa delapan atau sembilan tahun," kata Deaver. "Ia mengirimkan seorang pejabat ke Sacramento dan berunding selama beberapa jam pada 1967. Lalu memutuskan tetap melaksanakan eksekusi." Sejak hari-hari itu, menurut Deaver, "Ia jarang mengubah cara berpikirnya tentang suatu hal. Saya tak dapat memberikan contohnya." Dan pandangan itu dikumandangkan oleh Reagan sendiri, ketika ia ditanya apakah ia sudah mengubah sikapnya, atau sebagai presiden telah mempelajari sesuatu. Ia menjawab, "Saya masih melanjutkan yang sama seperti di California dulu." Yaitu "mengurangi menggelembungnya pemerintahan." * * * Para sahabat lama Ronald Reagan dan pembantunya percaya bahwa sekali menjadi gubernur, ia akan membuat perhitungan-perhitungan tertentu tentang hari depannya. Jika sudah menentukan gagasan-gagasan mantap, ia tidak akan mengakhirinya sampai hanya menjadi gubernur untuk satu masa jabatan atau cuma menjadi senator - walau ia tahu bahwa publik jarang memilih seorang ideolog untuk menduduki suatu posisi eksekutif, jangankan lagi untuk menempati kursi presiden. Hal yang pertama harus dilakukan adalah membentuk sebuah staf yang mampu tegak untuk kebenaran dan membungkuk kepada kebutuhan. Orang-orang sekelilingnya di California, dan terakhir di Washington, selalu terdiri dari baik ideolog (untuk menjamin kelanggengan penyempurnaan ideologi) maupun pragmatis konservatif (agar pekerjaan dapat dilaksanakan). Bagaimana jika kedua kelompok ini berselisih paham? Berkata Deaver, "Ia mengerti bahwa ia memerlukan para pelaksana dan teknisi yang dapat melakukan hal terbaik baginya. Bila terjadi konflik antara orang-orang di sekelilingnya, ia akan memihak kelompok pragmatis." Kantor Gubernur dan staf Gedung Putih pada kenyataannya menjadi mesin tawar-menawar - tidak berhasrat kompromi, tapi harus. Menurut bekas pejabat puncak Gedung Putih, jubir DPR Thomas P. O'Neill Jr., pada setiap kompromi, presiden selalu merasa mendapat 80% dari apa yang ia inginkan. Yang sesungguhnya, kata bekas pejabat tersebut lebih lanjut, ia menerima 40%. Dalam pada itu, sepanjang proses, presiden mengingkari bahwa ia seorang politikus, bahkan kepada stafnya. Berbeda jauh dengan Richard Nixon dan Lyndon Johnson yang selalu membual kepada para pembantunya tentang betapa mereka pintar dan suka berolok-olok. Selama wawancara, tanpa ditanya, Reagan bercerita tentang pidato yang ia berikan kepada stafnya setelah ia menjadi presiden, "Saya katakan kepada mereka bahwa satu hal yang saya tidak ingin dengar adalah pencabangan setiap soal politik. Saya hanya ingin mendengar perdebatan apa yang baik atau buruk bagi rakyat, karena pada detik Anda mulai berpikir tentang pemungutan suara dan hal-hal politik, itu mirip menonton permainan di lapak judi - Anda tak dapat mengetahui di mana kartu tertentu berada, tak peduli betapa jujur pun Anda." Presiden Reagan barangkali meyakini tiap kata yang ia keluarkan itu, tapi pada saat yang sama sejumlah pembantunya menilai hal itu sebagai sebagian dari teknik berpolitiknya yang dilakukan dengan sadar. "Suatu kali ia menceritakan pada saya bagaimana ia secara kebetulan terjun dalam dunia politik," kata seorang bekas pejabat senior. "Ia katakan, ia menceritakan kepada siapa saja, 'Demi Tuhan, apa yang kulakukan dalam bidang politik dan apa-apa yang kulakukan sebelumnya, jauh berbeda dari yang sekarang. Tapi kemudian saya merasa bahwa hal yang pokok dalam politik adalah berakting dan memainkan peranan, dan saya tahu bagaimana melakukannya. Memang pernah saya waswas, tapi kemudian tidak lagi.'" * * * Umumnya, kata bekas Senator Howard H. Baker Jr., "Presiden gampang membuat ramalan. Dan sesungguhnya semua teman dan para pembantunya sependapat bahwa, dengan beberapa pengecualian, jika Anda tahu posisi dasarnya, Anda akan tahu keputusan apa yang bakal ia buat. Ia luar biasa analitis dalam menguji coba pilihan terhadap filosofinya," kata seorang pembantu senior. Presiden menyusun pikirannya pada gambar besar. Detail-detailnya ia serahkan kepada para pembantu memberi mereka kekuasaan bertindak yang konon hal yang baru bagi presiden di zaman modern. Berkata seorang pembantu senior Gedung Putih, "Presiden sangat tak tertarik pada proses dan sudah lama saya tidak yakin apakah ia tahu apa yang ia kerjakan. Ia dengan senang hati membiarkan para penasihatnya datang dan menceritakan kepadanya soal-soal dan pilihan-pilihan, dan kemudian ia mengumbar beberapa anekdot." Ada beberapa peribahasa (sejumlah pembantunya menyebutnya sebagai tamsil-ibarat) yang tampaknya menjadi sentrum cara kerja pikir Presiden. Sering kali bukan logika argumen yang ia ingat, tetapi suasana lingkungan atau kisah yang menghubungkan soal yang ada dengan tata dasar prinsip-prinsip. Semua anekdot itu, kata stafnya, acap kali kata akhir dari suatu soal, dan dengan itu para anggota staf harus maju dan melaksanakan keinginan Bos. Pengalaman Presiden di Persatuan Aktor Layar Putih, misalnya, bisa saja muncul pada perundingan dengan orang Rusia, yang mengandung pesan: jangan percaya pada komunis. Atau bila para pembantunya bicara dengannya tentang defisit, ia acap mengingatkan bahwa pemotongan pajak yang dilakukan Presiden Kennedy dulu telah merangsang pertumbuhan ekonomi negeri, sehingga pesannya menjadi: tetap bertahan dari penaikan pajak. Dalam kenyataan, berbagai argumen logis tidak mampu menggoyahkan Presiden Reagan. Seperti yang dikatakan seorang bekas penasihatnya, "Jika saya katakan kepadanya bahwa sesuatu itu mungkin dan tidak mungkin, itu bisa tak berpengaruh apa-apa padanya, karena hidupnya sendiri sudah penuh dengan segala hal yang tak mungkin." Toh dengan segala pertimbangan, para pembantunya merasa bebas berdebat secara terbuka di depan Presiden, mematahkan tantangan langsung basis keyakinannya. Mereka bilang, ia seorang pendengar yang baik. Dalam sebagian besar pertemuan, Presiden duduk diam. Bila mengajukan pendapat, ia jarang menyertakan alasan-alasan yang mendukung. Yang paling sering: memberi petuah. Kadang-kadang Presiden berani mengamati posisi barunya - dengan sedikit saja masukan dari para pembantu atau bahkan tidak sama sekali. Misalnya berkenaan dengan gagasannya tentang Inisiatif Pertahanan Strategis. Sesudah suatu perbincangan dengan kepala staf dan sejumlah orang lainnya, ia menyatakan kepada para pembantunya: ia ingin mereka menyiapkan pidato dengan topik utama pertahanan rudal yang berorientasi ke ruang angkasa. Banyak anggota staf tidak sepakat dengan cakupan rencana itu, seperti juga sebagian besar ahli militer dan anggota Kongres. Tapi, akhirnya, mereka terpaksa menyerah kepada kemauannya yang keras. Hasilnya? Star Wars itulah. Cara Presiden mendapatkan informasi adalah faktor gawat dalam pengambilan keputusan yang dilakukannya. Menurut para pembantu, ia pertamatama mengandalkan memo stafnya - yang biasanya tanpa diiringi analisa yang terinci. Ia mengambil pengertian inti dari headline beberapa surat kabar, khususnya bahan-bahan yang mengandung anekdot dan posisi yang dikemukakan dalam editorial, dan biasanya ia tidak membaca berita-berita utama. Yang ia baca, lebih sering, artikel kawan-kawannya yang mengirimkan beberapa karangan ke sejumlah majalah, seperti dalam rubrik Peristiwa, Manusia, dan Komentar. Sebuah artikel dalam Komentar itu misalnya menyiratkan bahwa diskriminasi telah dihapuskan di Afrika Selatan. Dari sinilah agaknya lahir komentarnya yang kontroversial tentang apartheid di negeri itu. Anggota staf Presiden tidak pernah tahu informasi apa yang berdiam dalam ingatan Reagan dari hasil bacaannya, atau bagaimana ia menggunakannya. "Reagan tumbuh dan dewasa dalam kepompong intelektual, dan dari sana ia memungut informasi buruk untuk mendasari pernyataan-pernyataannya," kata seorang bekas pembantu Gedung Putih yang kini bertugas di instansi yang lain. "Orang lain akan bertanya siapa penulis artikel itu, bagaimana reputasinya, dan apa reaksi orang. Tapi Reagan akan maju dengan sepotong fakta atau pengamatan, tanpa melakukan berbagai proses yang rumit." Seorang anggota staf Gedung Putih menggambarkan tugasnya sehari-hari seperti ini, "Anda harus memperlakukannya seolah-olah Anda seorang sutradara dan dia seorang aktor, dan katakan kepadanya apa yang harus ia katakan dan juga apa yang mesti dilakukan tentang hal-hal yang benar." Ini menandakan kepasifan intelektualnya. Tentang masalah dalam negeri, staf Reagan biasanya mendapat keleluasaan menangani hal-hal pokok dan masalah-masalah khusus. Dalam masalah ekonomi, Presiden berperan lebih aktif - ia biasanya mengurangi anggaran, misalnya, menetapkan keputusan terhadap setiap mata persoalannya. Tetapi dalam banyak hal ia memberikan pandangan dan para pembantunya diharapkan menemukan cara-cara pelaksanaan keputusan sampai tuntas - melalui perundang-undangan atau peraturan pemerintahan. Berkenaan dengan masalah luar negeri hal yang kurang dikuasai dan diyakininya - stafnya biasanya menerima lebih banyak porsi kekuasaan. Dalam masalah ini acap terjadi konflik di antara para pembantu, sehingga lazimnya mereka cenderung mengambil suatu konsensus yang jarang meletakkan sebuah dasar baru. Di antara orang-orang yang mendorong Presiden mengambil peran lebih besar dalam masalah pengendalian senjata, kata para pembantu, tak lain istrinya, Nancy. Menurut Deaver, Nancy Reagan "adalah orang paling penting dalam pengambilan keputusannya. Tapi dalam soal-soal besar - seperti Bitburg, pajak, anggaran pertahanan - ia amat mandiri. Nancy berpikir lebih banyak tentang tempat Reagan dalam sejarah, daripada Presiden sendiri. Reagan tak pernah memikirkan hal itu sama sekali, kecuali berkata bahwa ia ingin agar rakyat menganggapnya telah melakukan segala-galanya dengan sebaik-baiknya." * * * "Kemampuan intelektual? Ini pertanyaan yang salah kaprah," kata seorang bekas penasihat ekonomi. "Pernyataan yang tepat adalah, apakah ia mendapat jawaban yang benar. Dalam pengalamanku, ia gagal untuk permasalahan yang mendalam dan muskil, tapi memperoleh banyak pilihan bagus." Beberapa pengecam melihat Presiden sebagai seorang yang berpikir sederhana. Agak sama, para pembantunya menilai sifatnya yang sederhana. Ia menyusutkan komplikasi menjadi lambang-lambang sederhana, gambaran tentang baik dan buruk, dan Amerika dan bukan-Amerika. Ini memungkinkan-nya mengurangi kerumitan persoalan yang membingungkan dan tak memiliki kepentingan bagi masyarakat umum, yang menempatkannya di tengah-tengah masyarakat umum itu sendiri. Perangkat pikir Presiden, dan caranya berpolitik, memberinya kemampuan besar membentuk kembali sikap bangsa ke arah peranan yang layak dalam bidang ekonomi dan perlunya pengeluaran di sektor militer yang besar. Ia juga telah memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang di guncang berbagai peristiwa di masa pemerintahan terdahulu. Nyatanya, dua aspek dari masa pemerintahan sebelumnya - inflasi dua digit dengan tingkat bunga yang tinggi, dan penyerbuan Soviet ke Afghanistan - mendorong Ronald Reagan cepat-cepat berusaha meraih kepercayaan seluruh negeri kepada dirinya. Dewasa ini, bagaimanapun, ia menghadapi seperangkat permasalahan baru, dengan terjadinya keguncangan ekonomi oleh anggaran negara yang besar dan defisit neraca perdagangan. Di samping itu, tentu, kemungkinan melesatnya pengeluaran baru sebagai akibat kebijaksanaannya yang ingin bersaing senjata dengan Moskow. Bagaimana cara ia menghadapinya? Jika penampilan masa lampau bisa memberi suatu petunjuk, Presiden tampaknya tidak akan menunggu sampai kegagalan memerangkapnya. Jika ekonomi mulai menurun tajam, ia akan mengambil cara pemecahan yang lain - barangkali masih dengan metode yang itu-itu juga, yang sudah sering dicemoohkan orang, seperti meningkatkan pendapatan dari pajak dan menurunkan pengeluaran di sektor militer. Ia mungkin akan menimpakan kesalahan pengambilan keputusan ke pihak lain. Pemikiran dan teknik pikir Reagan sungguh luar biasa untuk tugas-tugas yang lebih sederhana, dalam menempa "negara besar" itu, dan dalam tekad untuk terus-menerus mengganyang Soviet. Relatif, ini pekerjaan enteng - persoalan mengutak-atik kotak-kotak. Tapi, melihat ke depan, di sana menghadang gunung es permasalahan ekonomi yang berbahaya dan pertemuan puncak di Jenewa yang penuh intrik dengan pemimpin Rusia. Semuanya adalah batu penarung yang muskil, yang bisa menjadi medan uji coba bagi kemampuan pikirnya: mampukah ia menciptakan esei politik yang kreatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini