Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mempertegas Rambu-rambu Pembukaan Sekolah saat Kasus Covid-19 Kembali Melejit

Meningkatnya jumlah kasus Covid-19 akhir-akhir ini sehingga perlunya pengawasan ketat sekolah tatap muka yang telah dibuka awal Agustus lalu

31 Agustus 2020 | 14.57 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Logo Te.co Blank

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah membuka sekolah dengan pembelajaran tatap muka lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait tentang Panduan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran Baru dan Tahun Akademi Baru di Masa Pandemi Covid-19. Secara resmi pada Jumat 7 Agustus 2020, pemerintah mengizinkan sekolah di wilayah zona hijau dan kuning melakukan pembelajaran tatap muka. Nadiem saat itu beralasan bahwa pembelajaran jarak jauh memiliki sejumlah kendala dalam pelaksanaannya bahkan jika terjadi dalam waktu lama akan berbahaya bagi si anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Sekolah Menengah Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Mulyatsyah, mengatakan ada sejumlah hal yang harus dipenuhi terkait pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning. "Pertama, sebelum melakukan era kebiasaan baru tentu sosialisasi masif dilakukan," kata Muyatsyah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulyatsyah mengatakan, sosialisasi tidak hanya dilakukan Kemendikbud, tapi juga melibatkan satuan pendidikan, sekolah, dan guru-guru.

Kedua adalah prinsip edukasi. Mulyatsyah menilai edukasi mengenai adaptasi kebiasaan baru menjadi suatu yang penting agar anak-anak terhindar dari dampak negatif terhadap kesehatan mereka.

Selanjutnya adalah pemenuhan sarana dan prasarana. Kemendikbud, kata Mulyatsyah, kemungkinan akan melakukan relaksasi terhadap daftar periksa sekolah dalam memenuhi kelengkapan sarana dan prasarana adaptasi kebiasaan baru. Mulyatsyah juga berharap dinas pendidikan bisa melakukan validasi dan memastikan daftar periksa itu benar-benar apa adanya. Berdasarkan data Kemendikbud, sebanyak 53.886 sekolah berbagai jenjang telah menyelenggarakan pembelajaran tatap muka.

Kekhawatiran muncul setelah dalam tiga hari berturut-turut di akhir Agustus 2020 jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia menembus rekor tertinggi angka 3.000-an kasus. Pada Sabtu, 29 Agustus 2020, ada rekor tambahan kasus sebanyak 3.308 orang dalam sehari, sehingga total kasus di Indonesia mencapai 169.195 orang.

Sehingga, pemerintah berencana menggelar rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan menghadirkan Menteri Pendidikan dan Kebucayaan Nadiem Makarim, gubernur, bupati dan wali kota secara virtual terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri itu yang akan digelar Selasa 1 September 2020. Pemerintah kemungkinan akan memperketat pengawasan bagi sekolah yang melakukan belajar tatap muka. "Besok saya akan zoom meeting dengan Mendikbud dan semua kepala daerah," kata Mendagri Tito.

Ketakutan sekolah jadi klaster baru penularan Covid-19 bukan tanpa alasan. Berdasarkan hasil kajian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sejumlah sekolah tak siap menggelar pembelajaran tatap muka. "Ketidaksiapan itu terjadi karena pembiayaan penyiapan infrastruktur adaptasi kebiasaan baru hanya mengandalkan dana rutin, yaitu dana bantuan operasional sekolah (BOS). Padahal, dana BOS harus digunakan sekolah untuk memberikan paket kuota internet," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Dinas Pendidikan, Kamis, 27 Agustus 2020.

Retno mengatakan, KPAI melakukan pengawasan ke 30 sekolah jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK di sejumlah wilayah, di antaranya Kota Bandung, Kota Subang, Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Tangsel, Kabupaten Seluma (Bengkulu), Kota Mataram dan Kabupaten Bima (NTB), DKI Jakarta, dan Sumatera Selatan.

Dalam pengawasan sejak Juni 2020, KPAI menggunakan daftar periksa yang disusun sendiri, yaitu kesiapan infrastruktur seperti wastafel dan bilik disinfektan, protokol kesehatan atau SOP adapatasi budaya baru.

Retno mengatakan, dari 30 sekolah yang diawasi, yang memenuhi 10 daftar hanya 1 sekolah saja, yaitu SMKN 11 Kota Bandung. Sebanyak 80 persen dari 30 sekolah sudah menyiapkan dan memasang tanda petunjuk untuk kepentingan jaga jarak. Kemudian, hanya satu sekolah yang sudah membuat 15 protokol kesehatan adaptasi kebiasaan baru.

Selain itu, sebanyak 60 persen sekolah juga belum membetuk Tim Gugus Tugas Covid-19. Padahal, tim tersebut yang akan bertugas menyiapkan perencanaan penyiapan infrastruktur dan protokol adaptasi kebiasaan baru di satuan pendidikan.

KPAI pun menyarankan dinas-dinas pendidikan di berbagai daerah mulai memberikan panduan dan pendanaan untuk penyiapan buka sekolah. "Dana BOS menurut para Kepala Sekolah tidak cukup untuk membiayai penyiapan infrastruktur kenormalan baru," kata Retno.

Jika pemerintah daerah hendak membuka sekolah, Retno meminta agar dilakukan pengetesan PCR (swab), bukan rapid test, terhadap seluruh guru serta kepada siswa secara acak.

Pihak sekolah dan pemerintah daerah, kata Retno, juga harus melakukan edukasi adaptasi kebiasaan baru tersebut. Pembukaan sekolah harus memenuhi 5 (lima) siap, yaitu siap pemerintah daerahnya, siap satuan pendidikannya, siap gurunya, siap orangtuanya dan siap anaknya. "Jika belum siap, maka tunda dulu buka sekolah," ucap Retno.

Pakar pendidikan, Jimmy Philip Paat, turut mempertanyakan alasan pemerintah membuka kembali sekolah. Padahal, baru-baru ini, Mendikbud Nadiem Makarim memberikan subsidi kuota internet Rp 8,9 triliun untuk pembelajaran jarak jauh. "Sekarang mau tatap muka seperti biasa. Lalu apa gunanya yang Rp 8,9 triliun itu?" ujar Jimmy saat dihubungi Tempo, Senin, 31 Agustus 2020.

Menurut Jimmy, pemerintah seharusnya memastikan sekolah-sekolah yang sudah dibuka telah memenuhi syarat untuk menggelar tatap muka. Selain itu, sekolah juga harus memastikan bisa menjaga peserta didik, khususnya PAUD dan SD untuk mematuhi protokol kesehatan.

"Anak kecil itu bisa tidak terlihat gejala. Harus hati-hati. Tidak mudah buat anak-anak SD tidak bermain yang memungkinkan terjadi penularan Covid-19," katanya.

Adapun Epidemiolog UI, Pandu Riono, menyarankan agar Nadiem membuat kurikulum di era pandemi. Sebab, pembukaan sekolah tidak bisa dilakukan seperti dulu karena pandemi bisa berlangsung lebih dari 2 tahun.

Pandu mencontohkan, sekolah tatap muka dan jarak jauh bisa dikombinasikan. Khusus pembelajaran jarak jauh (PJJ), pemerintah dan satuan pendidikan bisa memanfaatkan teknologi yang ada jika peserta didik tidak mempunyai gawai. "Pakai radio komunikasi dan komunitas. Jadi gunakan semua media komunikasi yang ada," ujar Pandu.

Konsep belajar di era pandemi, kata Pandu, juga harus diubah. Misalnya, pembelajaran tatap muka tidak perlu tiap hari, tetapi bisa 2 kali sepekan selama 3 jam.

Selain itu, Pandu juga meminta Kemendikbud tidak lagi terpaku pada zona-zona penyebaran Covid-19. Yang terpenting, pemerintah dan satuan pendidikan bisa memastikan pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat, dan proses belajar mengajar bisa berlangsung dengan fleksibilitas tinggi. "Zona tidak usah dipakai. Tidak ada artinya, itu tidak akurat," katanya.

FRISKI RIANA

Friski Riana

Friski Riana

Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan kini bertugas di Desk Jeda. Ia sehari-hari melakukan peliputan yang berkaitan dengan tren gaya hidup, kesehatan, dan hobi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus