Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Agar Tempe Makin Mendunia

Masyarakat dari berbagai kalangan aktif mempromosikan tempe. Ada yang menginisiasi gerakan dan menghadirkan pelatihan membuat tempe hingga mendukung para petani kedelai lokal.

20 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesian Tempe Movement menjadi wadah memajukan potensi tempe.

  • Bahan baku tempe berasal dari kedelai Grobogan dan Bali.

  • Indonesia pernah swasembada kedelai pada 1990.

Menjadikan tempe diakui dunia sebagai penganan asal Indonesia merupakan cita-cita Wida Winarno bersama ayahnya, Florentinus Gregorius Winarno, dan putranya, Amadeus Driando Ahnan-Winarno. Berawal dari rencana penyelenggaraan konferensi internasional tentang tempe pada pertengahan 2014, keluarga dari tiga generasi ini menginisiasi gerakan Indonesian Tempe Movement.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka melihat tempe sebagai sesuatu yang unik, seksi, dan mengagumkan. “Sementara itu, orang-orang melihat tempe sekadar makanan, bukan makanan yang keren dan berkelas,” kata Wida kepada Tempo, Selasa, 15 Maret 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerakan ini pun menjadi wadah bagi masyarakat berbagai kalangan untuk memajukan potensi tempe. Wida dan keluarganya, yang berlatar belakang profesi di bidang teknologi pangan, juga menggali sejarah tempe dan informasi melalui jurnal-jurnal ilmiah.

Pendiri Indonesia Tempe Movement, Winarno, Wida Winarno, dan Amadeus Driando Ahnan Winarno. Dokumentasi Pribadi.

Sering membahas tempe, Wida mengaku pernah ditantang membuat penganan berfermentasi tersebut. “Orang bertanya-tanya, bisa enggak sih Bu Wida bikin tempe. Saya bilang, bisalah. Tempe pertama yang saya buat dari melinjo,” ujarnya. 

Selain melinjo, Wida pernah mencoba membuat tempe dari biji saga, petai, petai cina, biji nangka, biji keluih, biji durian, hingga mi instan. Berhasil bikin tempe sendiri membuat Wida makin percaya diri membagikan ilmunya itu. Ia kini aktif menggelar workshop membuat tempe di berbagai daerah. 

Pada masa pandemi ini, alumnus Institut Pertanian Bogor itu pernah mengadakan pelatihan di Ambon sampai empat kali. Ia diundang pemerintah setempat untuk mengajarkan masyarakat cara membuat tempe dari kacang kedelai lokal. “Jadi hampir tidak pernah berhenti kelas-kelas tempe. Selalu ada saja,” katanya.

Tempe berbahan petai buatan Wida Winarno. Dokumentasi Pribadi.

Tujuh tahun sejak organisasinya berdiri, Wida mulai melihat ada perubahan image pada tempe. Menurut dia, orang-orang kini mulai melihat tempe sebagai makanan yang keren. Terlebih di media sosial, Wida melihat banyak orang mulai menampilkan kreativitasnya dalam membuat tempe menjadi lebih menarik serta memanfaatkan biji-bijian lokal.

Tempe Movement juga mengambil peran dalam mendukung petani kedelai dan mempromosikan kedelai lokal. Dalam tiap workshop, Wida biasanya menyarankan pesertanya menggunakan kedelai lokal. Meski harga kedelainya lebih mahal, ia meminta keikhlasan para peserta workshop untuk mendukung petani kedelai.

Benny Santoso. Dokumentasi Pribadi

Dukungan terhadap petani kedelai juga dilakoni pengusaha tempe di Bali, Benny Santoso. Pemuda asal Solo ini merintis usaha artisan tempe, IniTempe, sejak 2016. Semua bahan baku produknya berasal dari kedelai lokal.

Usahanya membutuhkan 200 kilogram kedelai dalam sebulan. Ia membeli kedelai varietas Grobogan asal Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, dan dari petani kedelai di Bali. Menurut Benny, kualitas kedelai lokal justru lebih baik daripada kedelai impor. “Ukurannya besar-besar malahan. Lebih gurih dan wangi,” kata dia.

Tak hanya dari segi rasa, Benny menilai kedelai lokal juga lebih sehat karena masih alami. Berbeda dengan kedelai impor yang merupakan rekayasa genetika. Karena itu, produk tempe buatan Benny pun lebih banyak dipasarkan di healthy store. Tempe buatannya juga dilirik para wisatawan mancanegara sebagai oleh-oleh.

Memang, untuk mendapatkan bahan baku kedelai lokal tidak mudah. Ia membutuhkan beberapa waktu untuk meyakinkan para petani agar mau menanam dan menjual kedelai langsung tanpa tengkulak. Pemuda berusia 26 tahun itu berani membayar mahal kedelai lokal asalkan kualitasnya terjaga. “Jadi, mereka semangat menanam karena ada demand-nya.”  

Tempe Spirulina buatan Benny Santoso. Dokumentasi Pribadi.

Produk IniTempe punya keunikan. Sesuai dengan akronim IniTempe, yaitu Inovate New Idea, Benny berinovasi membuat tempe menjadi berbagai varian, seperti kue kering, keripik, dan cokelat. Ide awalnya justru muncul dari tugas akhir kuliahnya di Sekolah Tinggi Pariwisata Bali yang membahas tempe pada 2015. Setelah lulus, ia meneruskan proyek tersebut dan menjadikannya sebagai ladang usaha.

Lewat produknya itu, Benny ingin orang Indonesia menjadi bangga dengan tempe sebagai makanan khas Indonesia. “Tidak cuma Korea ada kimci, Jepang ada sushi, Italia ada piza, tapi Indonesia punya tempe. Jadi kita pengin orang Indonesia harus bangga,” ucapnya.

Benny juga bercita-cita mendirikan pusat pembelajaran edukasi tempe di Bali. Dengan demikian, orang-orang dari mana pun yang ingin melihat proses pembuatan tempe bisa belajar di Indonesia. “Jangan sampai nanti mau belajar tempe datang ke Amerika dan Jepang. Kita sebagai negara produsen tempe, ya malulah, masa kita enggak bisa mengedukasi tempe di negara kita sendiri.”

Tempe Black Sesame buatan Benny Santoso. Dokumentasi Pribadi.

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengatakan daya saing merupakan akar utama kedelai lokal tidak bisa mengungguli kedelai impor. Padahal Indonesia pernah swasembada kedelai di era Orde Baru pada 1990-an. Selain luas lahan yang memungkinkan ditanami kedelai, pemerintah saat itu memproteksi para petani.

Saat itu, impor kedelai dibatasi dan hanya boleh dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Pemerintah juga memastikan petani kedelai untung karena harga beli kedelai lokal ditentukan 1,5 kali harga gabah. Namun, sejak krisis moneter pada 1997-1998 melanda, terjadi liberalisasi, termasuk pasar kedelai. “Diserahkan ke mekanisme pasar, sama dengan CPO,” kata Khudori.

Di sisi lain, luas lahan tanam kedelai semakin sempit. Pada 1990-an, luas tanam kedelai sekitar 1,7 juta hektare, kini tinggal 300-400 ribu hektare. Petani kedelai saat ini, kata Khudori, juga berpotensi merugi karena kapan saja bisa diserbu kedelai impor yang harganya lebih murah. Karena itu, Khudori menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan yang memastikan petani kedelai dijamin untung.

FRISKI RIANA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus