Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menaikkan tarif dasar listrik untuk lima golongan pelanggan non-subsidi mulai 1 Juli 2022. Kenaikan itu berlaku bagi pelanggan mampu dengan daya 3.500-5.550 VA, 6.66 VA, serta golongan pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sejumlah ekonom menilai kebijakan tersebut akan berdampak terhadap kondisi makro ekonomi. Peneliti dari for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpendapat kenaikan tarif listrik bakal mengerek laju inflasi walau terbatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Tapi terbatas mengingat yang terdampak tidak cukup signifikan. Dampaknya seperti kenaikan harga Pertamax yang ada inflasi, namun terbatas," kata Nailul saat dihubungi Selasa, 14 Juni 2022.
Kendati begitu, di berujar, yang menjadi perhatiannya adalah adanya kenaikan inflasi yang disebabkan oleh psikologis konsumen. "Para pelaku usaha mungkin akan menaikkan harga karena isu kenaikan tarif listrik," kata dia.
Sama halnya dengan Nailul, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan tarif listrik akan berdampak ke inflasi, meski kecil. Sebab, tarif listrik untuk 1.300 VA, 900 VA, dan 450 VA tidak mengalami perubahan.
Meski dampaknya tidak signifikan, kenaikan itu bisa mengirim sinyal psikologis kepada konsumen kelas menengah atas. Konsumen kelas menengah atas bakal melihat bahwa kenaikan tarif komponen non-subsidi tidak akan berhenti pada listrik saja, tapi juga barang-barang kebutuhan lainnya.
"Terutama dari administered priced atau harga yang diatur oleh pemerintah. Ini ke depan bisa jadi BBM, LPG yang non-subsidi, harganya akan jauh lebih mahal," kata Bhima saat dihubungi.
Walhasil, kondisi ini membuat kelas menengah atas lebih banyak berpikir ulang untuk belanja di tengah adanya pelonggaran pemberlakuan pembatasan kehgiatan masyarkat (PPKM). Karena itu, dia memperkirakan, konsumsi rumah tangga bakal terhambat oleh adanya sinyal kenaikan harga.
"Jadi mungkin portfolio keuangannya akan diatur ulang. Ini menunjukkan bahwa tidak bisa pasca-pandemi ini langsung berbelanja banyak. Mungkin lebih banyak lebih berhemat atau menyisihkan sebagian dana itu di perbankan," kata dia.
Akibatnya, bila masyarakat lebih banyak menyimpan dana di bank, dana pihak ketiga (DPK) perbankan masih bakal gemuk. Likuiditas perbankan belum akan menyusut sampai akhir 2022.
Bhima pun mengusulkan pemerintah memberikan jeda untuk kenaikan tarif dasar, baik listrik maupun komponen lain, untuk masa mendatang. Kenaikan sebaiknya dilakukan secara bertahap agar syok psikologi pasar terhadap peningkatan tarif dapat ditekan.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan penyesuaian tarif tenaga listrik (tariff adjustment) triwulan III tahun 2022 atau periode Juli-September 2022. Penyesuaian tarif ini berlaku untuk golongan pelanggan rumah tangga berdaya mulai 3.500 VA ke atas (R2 dan R3) dan golongan pemerintah (P1, P2, dan P3).
Pelanggan rumah tangga R2 dengan daya 3.500 VA hingga 5.500 VA dan R3 dengan daya 6.600 VA ke atas tarifnya disesuaikan dari Rp 1.444,70 per kWh menjadi Rp 1.699,53 per kWh. Kenaikan rekening rata-rata sebesar Rp 111.000 per bulan untuk pelanggan R2 dan Rp 346.000 per bulan untuk pelanggan R3.
Sedangkan pelanggan pemerintah P1 dengan daya 6.600 VA hingga 200 kVA dan P3 tarifnya disesuaikan dari Rp 1.444,70 per kWh menjadi Rp 1.699,53 per kWh. Kenaikan rekening rata-rata sebesar Rp 978.000 per bulan untuk pelanggan P1 dan Rp 271.000 per bulan untuk pelanggan P3.
Pelanggan pemerintah P2 dengan daya di atas 200 kVA tarifnya disesuaikan dari Rp 1.114,74 per kWh menjadi Rp 1.522,88 per kWh, dengan kenaikan rekening rata-rata sebesar Rp 38,5 juta per bulan. "Golongan pelanggan rumah tangga di bawah 3.500 VA, bisnis, dan Industri tarifnya tetap," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan ESDM Rida Mulyana dalam konferensi pers pada Senin, 13 Juni 2022.
Dia mengatakan pelanggan yang terdampak penyesuaian tarif jumlahnya sekitar 2,5 juta atau 3 persen dari total pelanggan PT PLN (Persero). Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 juncto Nomor 03 Tahun 2020, tariff adjusment ditetapkan setiap tiga bulan dengan mengacu pada perubahan empat asumsi makro, yaitu kurs, harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP), inflasi, dan harga patokan batu bara (HPB).
Rida menjelaskan keputusan menaikkan tarif listrik tak terlepas dari harga minyak mentah dunia yang tinggi, sehingga meningkatkan beban produksi listrik. Adapun selama ini, biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik sebesar 33 persen didominasi oleh biaya bahan bakar. Komponen biaya ini terbesar kedua setelah biaya pembelian tenaga listrik dari swasta sekitar 36 persen sehingga perubahan empat indikator asumsi makro ekonomi tersebut sangat berpengaruh terhadap BPP.
"Pada akhirnya, hal tersebut juga berdampak pada perhitungan tariff adjustment," ujarnya.
Rida mengklaim kebijakan menaikkan tarif listrik itu hanya berdampak terhadap inflasi sebesar 0,019 persen. "Kami sudah hitung dampaknya terhadap inflasi hanya 0,019 persen, jadi hampir tidak terasa," ujarnya.
Menurut dia, kebijakan menaikkan tarif listrik ini berkontribusi menghemat kompensasi sebesar Rp 3,1 triliun atau 4,7 persen dari total keseluruhan kompensasi yang pemerintah kucurkan kepada PT PLN (Persero).
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan setiap kenaikan US$ 1 dari harga minyak mentah dunia berdampak terhadap biaya pokok produksi secara keseluruhan hingga Rp 500 miliar. "Asumsi APBN di awal tahun ini hanya 63 dolar AS per barel dari harga minyak mentah Indonesia (ICP) saat ini yang sudah mendekati hampir 100 dolar AS per barel. Jadi ada peningkatan luar biasa, tentu saja biaya pokok produksi juga meningkat," kata Darmawan.
Sebagai penyeimbang, Darmawan mengatakan sampai saat ini PLN belum menaikkan tarif listrik untuk pelanggan golongan bisnis dan industri. Tarif pelanggan golongan tersebut dipertahankan karena berfungsi sebagai pendorong, penggerak, dan fondasi ekonomi Indonesia.
"Tidak ada perubahan bagi tarif listrik untuk industri dan bisnis dalam skala daya apapun yang terpasang. Ini adalah bentuk kepedulian pemerintah agar ekonomi nasional dalam hal ini ditopang oleh bisnis dan industri tetap terus berjalan dengan sangat kokoh," kata Darmawan.
Selain mendorong pemulihan ekonomi nasional, keputusan tidak menaikkan tarif listrik pelanggan golongan bisnis dan industri menjadi salah satu strategi pemerintah untuk menjaga level inflasi. Pemerintah berupaya menjaga stabilisasi inflasi agar tetap rendah.
Baca: Prediksi Penerimaan Perpajakan 2022 Naik 15,3 Persen, Ini Alasan Kemenkeu
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini