Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN lalu jadwal Hary Tanoe-soedibjo bertambah padat. Bos Grup Bimantara itu sibuk ke-luar-masuk sejumlah kantor re-daksi surat kabar nasional di Ja-karta. Agendanya tunggal: men-jelaskan kisruh penjualan sertifikat deposito Bank Unibank kepada PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), pada 1999 silam.
Persoalan yang kini diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi ini memang me-nyeret namanya. Makin gawat pula setelah, dalam laporan Abdul Malik Jan, salah seorang investor CMNP, ke KPK pada pertengahan 2004 lalu, disebutkan bahwa transaksi yang diperantarai PT Bhakti Investama milik Hary itu berbau korupsi. Kian meriah se-telah Eggi Sudjana melaporkan kasus serupa, bulan lalu.
Hary merasa kasus yang mulai ditelisik KPK selama tiga pekan terakhir ini terus memojokkan dirinya. Kegiatan bisnisnya ter-ganggu. ”Ternyata diam saya selama ini tidak menguntungkan,” katanya saat bertandang ke kantor Tempo, Senin pekan lalu. ”Itu sebabnya saya sekarang bicara.”
Kasus ini ramai diribu-tkan karena, akibat transaksi itu, negara diduga mengalami sejumlah kerugian. Gara-gara-nya, ne-gotiable certificate of de-posits (NCD) senilai US$ 28 juta, yang jatuh tempo pada 2002 itu, hingga kini tak bisa dicairkan. Sebabnya, Unibank telah ditutup sejak Oktober 2001 dan tak kunjung jelas siapa pemilik bank yang harus bertanggung jawab.
Surat utang itu pun ternyata melanggar sejumlah aturan Bank Indonesia: ber-nominal dolar, bunganya di atas bunga penjaminan BI, dan jangka waktunya tiga tahun—ketentuan BI maksimum dua tahun. Dalam suratnya ke CMNP, pada 30 Januari 2003, BI juga menyebutkan NCD itu tak tercatat dalam laporan simpanan berjangka bulanan Unibank untuk posisi Januari 2001.
Itu sebabnya, Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang mengambil alih kewajiban Unibank, tak bisa mencairkannya karena sertifikat itu tak masuk skema penjaminan pemerintah. Tinggallah CMNP menanggung getahnya. Per-usahaan tol ini tak kunjung mampu melunasi utang dolarnya sehingga selama bertahun-tahun tak dapat membagi di-viden ke para pemegang sahamnya, termasuk dua perusahaan negara: PT Jasa Marga dan PT Krakatau Steel.
Kini, negara pun terancam kewajiban harus membayar US$ 28 juta ke CMNP setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan CMNP terhadap BPPN pada 28 Juli 2004. Kep-utusan akhir soal ini masih me-nu-n-g-gu fatwa dari Mahka-mah Agung (Tempo, 13 Februa-ri 2006).
Untuk menyelidiki ka-sus ini, KPK telah memeriksa tiga mantan komisaris CMNP: Shadik Wahono, Jusuf Hamka, dan Djojo Subagdja, serta mantan direktur Teddy Kharsadi. KPK juga mulai memperluas penyelidik-an. Menurut pejabat BI yang enggan disebut namanya, bank sentral telah bertemu KPK, Kamis pekan lalu. Topik pem-bicaraan seputar hasil pemeriksaan BI atas NCD Unibank.
KPK juga telah memanggil bekas Wakil Direktur Utama Unibank, Buyung W.Y. ”Sebagai direksi, mereka harus bertanggung jawab,” kata Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, kepada Setri Yasra dari Tempo. Kasus ini pun kabarnya bakal jadi pintu masuk untuk menyeret pengendali Unibank, Sukanto Tanoto, yang masih menunggak tagihan macet wesel kredit ekspor ke BI senilai US$ 230 juta.
Hary mengakui Bhakti memperantarai penjualan NCD Unibank ke CMNP. Dalam transaksi itu, Bhakti pun memperantarai penjualan obligasi CMNP II senilai Rp 189 miliar dan surat utang MTN Bank CIC Rp 153,5 miliar kepada Drosophila Enterprise Pte. Ltd (Singapura), yang juga miliknya.
Transaksi bisnis ini tercantum dalam surat bertanggal 12 Mei 1999, yang ditujukan Hary kepada Tito Sulistio selaku Managing Director CMNP. Dari transaksi itu, CMNP menerima NCD Unibank yang baru diterbitkan senilai US$ 28 juta, sedangkan Bhakti menyetorkan dana US$ 17,5 juta ke Unibank. Dalam laporan tahunan Unibank 1999, NCD itu pun tercatat. ”Jadi, tidak benar kalau NCD itu bodong,” ujarnya.
Ia menyatakan, Bhakti hanya bertindak sebagai broker, dan sudah ada surat pernyataan siap bertanggung jawab (letter of undertaking) yang dibuat dua di-reksi Unibank: Bungsu W.Y. dan Sugi-an-to Tjahyana, saat NCD itu diterbitkan.
Karena itu, kalau kemudian timbul masalah, pihak Unibank-lah yang harus bertanggung jawab. ”J-a-ngan kami yang dipersa-lahkan, dong,” katanya.
Pernyataan Hary berbeda dengan isi laporan kajian keuangan AAC Consulting pada 7 Desember 2000. Di situ dinya-takan, NCD itu berisiko tinggi tak bisa dicairkan, karena itu harus diverifikasi ulang.
Kantor hukum Maqdir & Mulyadi, da-lam suratnya ke CMNP pada Feb-ruari 2003, bahkan merekomendasikan CMNP melakukan upaya hukum. Selain direksi Unibank, Bhakti dan Drosophila termasuk dalam daftar yang bisa di-mintai pertanggungjawaban.
Peringatan AAJ mengacu kepada kondisi gawat keuangan Unibank, yang masuk pengawasan khusus BI. Tiga bulan sebelum NCD itu diterbitkan, BI masih memasukkan Unibank dalam kelompok ”B” dan ikut dalam prog-ram rekapitalisasi.
Pernyataan BI itu tertuang dalam surat rahasia Direksi BI pada 9 Februari 1999, yang menyatakan rasio kecukupan modal (CAR) Unibank minus 14,15 per-sen, sehingga b-utuh suntikan mo-dal Rp 307 miliar. Unibank memang kembali masuk kate-gori ”A” setelah ada jaminan suntikan modal dari pemegang saham pada Maret 1999. Tapi realisasinya baru terjadi pada Agustus.
Tito Sulistio mengatakan, pertimbang-an CMNP memilih NCD Unibank disebabkan saat itu bank tersebut satu-satunya yang dinyatakan sehat oleh BI. ”Heran kalau komisaris tidak tahu soal ini,” katanya kepada Wahyu Muryadi dari Tempo di Bandung, pertengahan pekan lalu.
Hary juga mengaku tak tahu-menahu NCD itu ternyata bermasalah. Yang jelas, katanya, sudah ada letter of undertaking dari direksi Unibank. ”Kalau saya tahu, masa saya bayar cash?” kata-nya. Soal pendapat Maqdir dan AAJ, Hary tak sepakat. ”Saat membuat opini itu, mereka tidak pernah berkonsultasi dengan kami,” ujarnya.
Pakar hukum pasar modal, Indra Sa-fitri, menguatkan pendapat Hary. Posisi Bhakti dalam transaksi itu sebatas penasihat investasi. Karena itu, tanggung jawabnya hanya pada mekanisme transaksi dan proses pembentukan harga. ”Yang bertanggung jawab atas keabsahan adalah issuer (Unibank),” katanya.
Pendapat sebaliknya diungkapkan Adler Haymans Manurung. Menurut peng-amat pasar modal ini, Bhakti b-ahkan bisa dijerat Undang-Undang Hukum Pi-dana jika ada kecurangan dalam memfasilitasi transaksi ini. ”Ini ada dalam KUHP pasal 55,” ujarnya.
Maqdir pun menegaskan, Bhakti pasti mengetahui kondisi sesungguhnya NCD itu. ”Arranger (Bhakti) mestinya tahu kondisi obyektif barang yang mereka fasilitasi,” katanya kepada Tempo.
Menurut sumber Tempo, CMNP se-sung-guhnya juga menderita kerugian dari nilai transaksi pembelian NCD Unibank. Be-sarnya kerugian mencapai Rp 155,9 mi-liar, seperti tercatat dalam laporan keuangan 1999. Ini disebabkan adanya per-bedaan nilai wajar NCD dengan nilai buku surat berharga yang dijual CMNP.
Kerugian itu pun muncul dalam perhitungan AAJ Associates, meski dalam jumlah yang lebih kecil. Menurut perhitungan AAJ, nilai pasar NCD yang dihitung dengan bunga 6 persen per tahun, saat ditransaksikan hanya Rp 186,3 mi-liar. Sedangkan nilai pasar obligasi dan MTN CIC yang diserahkan CMNP ke Drosophila sekitar Rp 250 miliar. Jadi, ada kerugian Rp 63,7 miliar yang dide-rita CMNP.
Hary menolak perhitungan AAJ dan Drosophila. Ia pun membantah mera-up untung atas transaksi itu. Menurut perhitungannya, nilai pasar obligasi CMNP hanya sekitar Rp 94,5 miliar, sedangkan nilai pasar MTN CIC sebesar Rp 44,8 mi-liar. Jadi, total surat berharga yang diserahkan CMNP ke Drosophi-la mencapai Rp 139,3 miliar. Di sisi lain, n-ilai transaksi NCD Unibank mencapai US$ 17,5 juta atau sekitar Rp 139,8 mi-liar (kurs Rp 8.000 per US$ 1). ”Artinya kurang-lebih sama,” katanya.
Sumber Tempo di CMNP membisikkan, kalaupun pendapat Hary itu benar, sesungguhnya CMNP masih menderita kerugian pada transaksi yang dilakukan sebelumnya.
Menurut dia, dua pekan sebelum transaksi NCD itu, CMNP juga melakukan transaksi penukaran sejumlah surat berharga miliknya senilai Rp 153,5 mi-li-ar dengan MTN Bank CIC senilai yang sama. ”Bhakti juga yang berperan se-bagai fasilitator,” katanya.
Dari hasil audit AAJ Associates, di-nyatakan bahwa harga wajar sejumlah obligasi yang dijual CMNP itu senilai Rp 122 miliar. Sedangkan nilai pasar MTN CIC berjangka waktu empat tahun dan berbunga nol persen tersebut, kata sumber itu, hanya Rp 61,7 miliar. ”Jadi, CMNP sudah rugi hampir Rp 60 miliar,” ujarnya.
Tito membantah semua transaksi itu merugikan CMNP. ”Transaksi itu clear dari sisi mana pun,” katanya. Agar tak te-rus berdebat, kata sumber tadi, lebih baik KPK menyelidiki langsung persoal-an ini. Jangan sampai aset-aset yang ditransaksikan ini, ”Seolah-olah sama-sama jambu, tapi yang satu jambu air satunya lagi jambu klutuk.”
Yura Syahrul, Heri Susanto, Metta Dharmasaputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo