Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH lebih dari ti-ga tahun dirongrong ka-sus sertifikat depos-i-to Unibank, Hary Tanoe-soedibjo akhirnya angkat bi-cara. Berkunjung ke ka-ntor Tempo, Senin pekan lalu, ham-pir empat jam ia bertutur panjang-lebar soal kasus yang kini diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi itu. ”Terus terang, saya teraniaya,” kata pemilik PT Bhakti Investama itu.
Ia mati-matian menampik ikut bertanggung jawab atas transaksi pembelian negotiable certificate of deposit (NCD) senilai US$ 28 juta oleh PT Citra Marga Nusa-phala Persada, yang disinya-lir telah merugikan negara. Ia bahkan menengarai ada-nya grand scenario di balik ribut-ribut ini untuk mengge-rogoti berbagai asetnya di Bi-mantara, yang kini dipimpin-nya.
Apa tanggapan Anda atas pengaduan kasus NCD?
Laporan-laporan yang di-sampaikan Abdul Malik Jan dan Eggi Sudjana adalah kum-pulan tulisan, analisis, rang-kuman koran, dan grafik yang dibuat sendiri. Bukan berdasarkan fakta dan bu-k-tibukti. Kalau seperti itu, semua orang juga bisa bikin.
Bagaimana sesungguhnya transaksi terjadi?
Pada 12 Mei 1999, CMNP menjual zero coupon medium term notes Bank CIC yang jatuh tempo pada 2003 senilai Rp 153,5 miliar, dan obligasi CMNP II Rp 189 miliar, kepada Drosophila. Bha-kti In-vestama brokernya. Alat ba-yarnya adalah zero coupon NCD berjangka waktu tiga tahun yang diterbitkan Unibank, senilai US$ 28 juta.
Benarkah Bhakti dan Drosophila terafiliasi?
Betul. Sama-sama saya pu-nya. Tapi, apakah tidak boleh? Keduanya tidak mela-kukan transaksi terafiliasi. Dro-sophila hanya mengguna-kan jasa Bhakti sebagai broker.
Kapan NCD diserahkan ke CMNP?
Eksekusinya 10 hari kerja, jatuh pada 27 Mei 1999. NCD diterbitkan Unibank US$ 10 juta pada 25 Mei, dan US$ 18 juta pada 26 Mei. Unibank menerima dana tunai dari Bhakti US$ 17,5 juta. Harga-nya didiskon karena NCD itu zero coupon. Jadi, jelas bukan NCD bodong, karena Unibank pun menerima tu-nai dari Bhakti.
Apa motivasi CMNP membeli NCD Unibank?
Dalam laporan tahunan 1999, tercatat CMNP punya kewajiban valas besar sekali, untuk pelunasan eur-obond yang jatuh tempo 2002. Karena itu, mereka perlu hed-ging (lindung nilai) sehingga mau menerima NCD dolar Uni-bank senilai US$ 28 juta. Saat NCD jatuh tempo pada 2002, dana pencairannya bisa dibayarkan untuk pelunasan utang. Masalah timbul karena Unibank dibekukan.
Masalahnya, NCD tak bisa dicairkan karena menyalahi aturan BI...
NCD itu bukan bodong. Se-bab, diterbitkan resmi oleh bank, ditandatangani oleh pe-jabat bank, dan bank menerima pembayaran tu-nai. Bodong dan default itu lain. Bodong berarti palsu, sedangkan default tak terbayar. Dengan pembekuan Unibank, NCD itu default.
Bhakti, sebagai perant-a-ra, tak tahu NCD itu ber-ma-salah?
Mana kami tahu? Yang jelas, sudah ada letter of undertaking (surat siap bertang-gung jawab) dari direksi Uni-bank. Kalau saya tahu NCD tak sesuai dengan peraturan BI, masa saya bayar cash ke Unibank?
Jadi, Bhakti kecolongan?
(Mengangkat bahu) NCD itu tercatat di laporan keuang-an Unibank 1999. Juga ada bukti pembayaran premi penjaminan oleh Unibank kepada BPPN. Unibank pun berkirim surat ke auditor CMNP, kantor akuntan Prasetyo Ut-omo. Saya heran mengapa saya yang dikejar, seakan-akan saya yang nilep.
Kecurigaan muncul karena Hidajat Tjandradjaja (man-tan Direktur Raja Garuda Mas, perusahaan afiliasi Unibank) dan Tito Sulistio (mantan Direktur CMNP) kini bergabung di Bimantara....
Tito baru tahun lalu berga-bung dengan saya. Apa-kah re-levan dihubung-hubu-n-g-kan? Sedangkan Hidajat baru masuk Bimantara pada 2001, saat saya masuk. Tahun 1999, dengan Pak Sukanto Tanoto pun saya tidak kenal.
Sebagai perantara, bukan-kah Bhakti harus ikut bertanggung jawab?
Tidak. Kalau ada perusa-ha-an menjual saham ke publik, lalu kolaps tiga tahun kemudian, apakah penjamin emisi-nya diuber-uber? Sebagai bank, seharusnya Unibank tahu apa yang harus dilakukan. Tanggung jawabnya bukan di kami, dong.
Tapi, kantor hukum Maqdir & Mulyadi menyatakan Bhakti bisa dimintai pertanggungjawaban. AAJ Consulting pun menyebutkan NCD berisiko tinggi....
Itu tidak betul. Baik Maqdir maupun AAJ, ketika mem-buat opini itu, tidak pernah berkonsultasi dengan kami. Mereka membuat analisis secara sepihak.
Kabarnya, pernah ada tawaran dari Anda untuk menukar NCD dengan aset Bhakti...
Itu dipelesetkan. Pembica-ra-an itu memang pernah dilakukan antara saya dan Robby Sumampouw (pemilik saham CMNP). Hadir juga Shadik Wahono dan Herman Gani (keduanya mantan komisaris CMNP). Saat itu terpikir, kalau soal NCD ini masuk pengadilan, tidak menguntungkan CMNP. Harga sahamnya akan terpe-nga-ruh. Karena itu, muncul pemikiran bagaimana kalau NCD dijual dulu dan CMNP membeli suatu aset. Nanti, kalau sudah ter-collect, CMNP punya hak untuk me-nukarkan kembali cash-nya de-ngan aset itu. Ini baru omong-omong, bukan di ra-pat direksi dan komisaris.
Metta Dharmasaputra, Heri Susanto
Jejak Kelam Unibank
13 Desember 1967 Unibank milik Sukanto Tanoto berdiri dengan nama Bank Permata Sari.
9 Februari 1999 BI memasukkan Unibank dalam kelompok B. Rasio kecukupan modalnya (CAR) minus 14,5 persen, dan bank ini diikutsertakan dalam program rekapitalisasi. Untuk mencapai CAR 4 persen, butuh tambahan modal Rp 307 miliar.
12 Mei 1999 PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) diperantarai Bhakti Investama membeli NCD Unibank US$ 28 juta. Sebagai pembayaran, CMNP menyerahkan obligasi Rp 189 miliar dan surat utang Bank CIC Rp 153 miliar ke Drosophila Enterprise (Singapura), perusahaan afiliasi Bhakti. Unibank menerima dana dari Bhakti US$ 17,5 juta.
16 Agustus 1999 RUPS setuju penerbitan saham baru (rights issue). Modal dasar Unibank meningkat dari Rp 200 miliar menjadi Rp 410 miliar. BI kembali memasukkan Unibank dalam kelompok A.
September 1999 BI melarang Sukanto menjadi pemegang saham pengendali Unibank. Kepemilikan saham bos Raja Garuda Mas ini (termasuk lewat PT Persada Upaya Sakti) beralih ke tiga perusahaan di Cayman Island.
Maret 2000 BI memeriksa Unibank. Hasilnya, NCD Unibank tak diakui karena melanggar aturan BI: suku bunganya di atas bunga penjaminan, bertenor lebih dari dua tahun, dan dalam mata uang dolar. Unibank juga menghadapi problem tagihan wesel ekspor yang macet senilai US$ 230 juta (Rp 2,7 triliun) ke PT Prima Energi, anak perusahaan Raja Garuda Mas. Transaksi wesel ekspor itu dibuat dengan East Asia Bank Ltd dan Far East Oriental Bank Ltd di Cook Island pada Juli 1997, yang belakangan diduga fiktif.
November 2000 Unibank masuk pengawasan khusus BI. Bank sentral tak mengakui penyertaan saham Unibank (99,9 persen) di PT Prima Energi sebagai bentuk penyelesaian tagihan wesel ekspor macet. Akibatnya, dana pencadangan Unibank melonjak, CAR-nya langsung minus. Unibank pun dinyatakan melanggar batas kucuran kredit (BMPK) ke kelompok sendiri.
21 Agustus 2001 Pemegang saham dipecah-pecah di bawah 5 persen kepada 20 pihak. Di BEJ, 2,47 miliar saham (73 persen) Unibank senilai Rp 61,8 miliar ditransaksikan lewat PT Unisecurindo Abadi, juga milik Sukanto.
29 Oktober 2001 BI membekukan Unibank dan menyerahkannya ke BPPN. CAR minus 200 persen, rasio kredit bermasalah 48,1 persen, pelanggaran BMPK 51 persen, kerugian Rp 2,9 triliun. Sukanto dicekal, tapi sudah lari ke luar negeri.
31 Oktober 2001 Sukanto dalam suratnya ke BPPN dan BI menyatakan dirinya pemegang saham pengendali Unibank. PT Persada Upaya Sakti juga dinyatakannya sebagai pemegang saham pengendali. Komite Kebijakan Sektor Keuangan meminta Sukanto membayar US$ 11,5 juta, plus penyerahan aset jaminan.
22 November 2002 BPPN menyatakan NCD Unibank menyalahi perundang-undangan. Karena itu, tidak masuk skema penjaminan pemerintah, sehingga badan itu tak bisa memenuhi permintaan CMNP untuk mencairkannya.
30 Januari 2003 Surat rahasia BI ke CMNP menyatakan NCD tak tercatat dalam laporan simpanan berjangka bulanan Unibank untuk posisi Januari 2001.
29 Juli 2004 Pemegang saham CMNP, Abdul Malik Jan, melaporkan dugaan korupsi dalam transaksi NCD Unibank ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Februari 2006 KPK mulai memeriksa kasus NCD Unibank.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo